Selasa, 15 November 2011

Pembelaan atas Cita-cita yang kalah... (IDoLC pengantar)

Kawans,
Posting berikut adalah pengantar dari buku In Defense of Lost Causes (Verso, 2008), buku pertama dari ’trilogi’ karya Komunis Zizek, IDoLC, First as Tragedy Then as Farce, dan ditutup dengan Living in the End Times (lantas dilengkapi dengan mengedit dan menulis satu artikel di buku keroyokan The Idea of Communism).
Ada banyak hal yang, bagi saya, sangat menarik dari buku ini; pertama, Zizek untuk kali pertama dengan sistematis menjelaskan tentang gagasan Komunisme apa yang selama ini dia anut; kemudian, Zizek juga secara sistematis menggugat perkembangan pemikiran postmodern dan poststrukturalis yang telah mengebiri subyek; berikutnya Zizek juga memulihkan konsepsi totalitarianisme dan teror populis sebagai sesuatu yang tidak serta-merta horor dan kekerasan; dan ditutup dengan sebuah strategi yang cukup sistematis, tentang apa yang harus dilakukan oleh subyek emansipatoris untuk memulihkan Cita-cita yang kalah, yaitu cita-cita Komunis.
Sedangkan dalam hal yang trivial, buku ini juga memicu banyak kontroversi dengan gambar sampul yang ‘mengundang’ memori horor dari teror populis akibat Revolusi Prancis, yaitu sebuah gambar Guillotine, dan memiliki sentuhan yang sangat personal, yaitu baris persembahan bagi ‘fellow traveller’ [rekan pengelana] Alain Badiou:
Zizek dan Badiou dalam sebuah ceramah bersama
Suatu ketika, Alain Badiou duduk diantara peserta di dalam sebuah ruangan dimana saya sedang memberikan ceramah, ketika ponsel-nya (yang membuat saya semakin malu, ponsel itu adalah punya saya yang saya pinjamkan ke dia) tiba-tiba berbunyi dengan nyaring. Bukannya mematikan ponsel itu, dia dengan sopan meminta saya untuk bicara lebih pelan, supaya dia bisa mendengar suara penelepon itu dengan lebih jelas...Kalau ini bukan bentuk pertemanan sejati, berarti saya tidak tahu apa itu pertemanan. Maka, buku ini saya dedikasikan untuk Alain Badiou.
 

Minggu, 13 November 2011

Manifesto Subyek Cartesian - TS (pengantar)

Sesosok Hantu Tengah Membayangi Dunia Akademis Barat..., yaitu hantu subyek Cartesian. Semua kelompok akademis telah membentuk aliansi suci untuk mengusir hantu ini. Kelompok Obskurantis New Age dengan kalangan dekonstruksionis postmodern; kalangan teoritisi komunikasi Habermasian dengan pendukung pemikiran Being Heideggerian; para ilmuwan sains kognitif dengan kalangan Ekologis Radikal; kalangan (post)Marxist kritis dengan kaum feminis. Dimana ada orientasi akademis yang tidak mengalami dituduh oleh lawannya sebagai masih belum sepenuhnya meninggalkan warisan Cartesian? Dan mana ada kelompok yang tidak melontarkan tuduhan mendukung subyektivitas Cartesian terhadap lawannya yang mengkritik secara lebih ‘radikal, maupun lawannya yang reaksioner?

Kamerads,
Familier dengan tata kalimat diatas? Ya, mengambil gaya bahasa Manifesto Komunis, kalimat itu adalah kalimat pembuka dalam buku The Ticklish Subject (Verso, 1999), buku Zizek yang, bagi saya, merupakan titik balik posisi politik Zizek, dari pemikir Kiri jadul dan Idealisme Jerman yang medhok, ‘pengusung’ cultural studies dengan ketajamannya memakai konsepsi Lacanian untuk meneropong budaya populer, menjadi seorang pemikir yang radikal dan emoh dengan berbagai macam tabu intelektual (termasuk politik totalitarian!) Tidak tanggung-tanggung, Zizek dengan manifesto ‘Pemulihan Cartesian’ ini menantang semua orang sekampung, yaitu hampir semua aliran pemikiran yang bertajuk ‘pemikiran kritis’, sekaligus menegaskan pemisahan dan pemihakannya dengan sejumlah pemikir radikal lainnya.
Ernesto Laclau (yang bisa dibilang telah berjasa memberi Zizek tiket untuk penerbitan pertamanya dalam bahasa Inggris), juga Jacques Ranciere dan Etienne Balibar (dua orang pemikir neo-Marxist ternama), juga Alain Badiou (sejawat sesama santri psikoanalisa Milnerian) dan tidak ketinggalan, Judith Butler (pengusung subyek ‘post-seksual’ dan ‘nabi’nya multikulturalisme, hence cultural studies), disikatnya tanpa ampun. Sebuah posisi yang sangat beresiko, memang, karena para pemikir ini seharusnya bisa menjadi para sekutu alaminya diranah pemikir Kiri (dan kecuali Alain Badiou, akhirnya Zizek memang ‘berpisah jalan’ dengan sejumlah pemikir yang digasak Zizek disini).
Belakangan, pada tahun 2000, terbit buku berjudul, Contingency, Hegemony, Universality, yang juga ditulis bersama dengan Judith Butler (pemikir yang dalam buku ini juga disikat Zizek dalam hal posisi post-strukturalisnya) sebagai sebuah buku yang menampilkan perdebatan terbuka antar ketiga pemikir ini, dan secara berseloroh oleh Zizek disebut sebagai sebuah karya orgy. Perpisahan ini baru bisa ‘dirujukkan’ kembali pada tahun 2010 setelah kesemua pemikir diatas bersama Zizek secara keroyokan menulis buku The Idea of Communism.

Kamis, 10 November 2011

The Parallax View - Pengantar


Kamerads,
Posting ini adalah pengantar dari salah satu buku yang, menurutku, kayaknya adalah salah satu buku terbaik Zizek (dan Zizek sendiri pernah bilang klo buku ini adalah salah satu buku yang dia paling suka nulisnya, karena full theory, alias buerat), yaitu The ParallaxView, Terbitan MIT Press, 2006. Buku ini banyak mengupas penjelasan filosofis dari sejumlah fenomena penting hari ini yang dibagi dalam tiga tema utama, yaitu; problema ontologis masyarakat modern, perkembangan sains terbaru, dan masalah kebuntuan politik global.
Bagian pengantar ini berisi penjelasan konseptual tentang apa yang dimaksud dengan paralaks, yaitu kira2, sebuah cara memandang dua buah fenomena berbeda, yang sebenarnya mungkin dengan cara pandang biasa kita akan kesulitan menemukan titik temunya, tapi kalau kita lihat dengan cara paralaks ini, ternyata saling terkait erat.
Zizek kemudian memakai berbagai contoh dari bagaimana cara pandang paralaks ini bekerja, dimulai dengan berita di media tentang dua kejadian yang tampaknya sama sekali tidak berkaitan, yaitu tentang pemakaian pertama seni modern sebagai bagian dari alat penyiksaan dan kabar tentang kejadian yang sebenarnya dari kematian Walter Benjamin, tokoh Marxist di sekitar 1940an, sampai dengan, dan bukan Zizek namanya kalau tidak memakai contoh yang saru, menjlentrehkan tentang berbagai tafsir atas tindakan seksual, yang dibahas habis di 3 bab penghujung pengantar ini.
Dan karena saya juga, mengklaim diri, sebagai Zizekian par excellence, tentu saja bagian ini adalah yang saya highlight dengan satu kutipan panjang:
...‘progres’ dialektisnya harus melalui serangkaian variasi terkait dengan relasi antara wajah, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya, dan cara pemakaian masing-masing; organ tetap sebagai phallus, tapi bukaan/lubang [opening] yang akan dimasuki (dipenetrasi) berubah (anus, mulut). Lantas, melalui semacam ‘negasi dari negasi’, tidak hanya obyek yang harus dipenetrasi saja yang berubah, tapi totalitas dari orang yang menjadi pasangan juga beralih menjadi kebalikannya (homoseksualitas). Dengan perkembangan yang lebih lanjut, tujuan seks itu sendiri bukan lagi orgasme (fetisisme). Ngobek [fist-fucking] melengkapi rangkaian ini dengan sebuah sintesis yang mustahil dari tangan (organ dari kegiatan instrumental, untuk bekerja keras) dan vagina (organ penghasil sikap pasif ‘spontan’). Tangan (fokus dari kerja yang terencana, tangan sebagai bagian organ tubuh kita yang paling terkontrol dan terlatih) menggantikan phallus (wujud par excellence dari organ tubuh yang diluar kendali pikiran kita, karena ereksi bisa terjadi datang dan pergi diluar kehendak kita. Salah satu guyonan tentu saja, benda apa yang paling ringan? Penis, karena dia bisa kita angkat hanya dengan pikiran)
...dalam masturbasi maskulin, vagina, organ pasif paripurna, digantikan oleh tangan, organ aktif paripurna yang mempasifkan phallus itu sendiri.
Namun, ada kesimpulan yang kemudian ditarik oleh Zizek, yang membuat saya langsung lemes dan tidak lagi merasa percaya diri untuk bisa menjadi seorang Zizekian yang taat, karena Zizek lantas bilang:
bagi seorang filsuf sejati ada lebih banyak hal lain yang lebih menarik daripada seks.
Diamput, Ampun Slavojjjj....

Rabu, 09 November 2011

Ceramah Zizek di StMarks

Kawans,  
Masih seputar gerakan protes global, posting Zizek kali ini adalah transkrip dari ceramah di toko buku St Marks, sebuah toko buku independen di kota New York. Yang menarik dari ceramah kali ini, Zizek membedah reaksi, baik dari proponen maupun skeptis, atas gerakan Occupy melalui kacamata psikoanalisa: khususnya konsepsi Melankoli, Pelarangan [Prohibitions] dan Perkabungan [Mourning] Freudian, dan konsep Lacanian yaitu; obyek hasrat [object of desire] atau sesuatu yang kita hasrati/inginkan dan obyek penyebab hasrat [object cause of desire] atau sesuatu dalam obyek itu yang membuat kita menginginkannya/menghasratinya.
Penjabaran tentang obyek hasrat dan obyek penyebab hasrat ini sebenarnya sangat mumpuni untuk menerangkan berbagai persoalan sehari-hari yang kita hadapi sebagai individu, maupun persoalan yang berdimensi sosial lebih luas. Dalam berbagai kesempatan (ceramah maupun buku, misalnya Looking Awry, How to Read Lacan), Zizek sudah banyak mengupas tentang konsep Lacanian ini, dengan contoh2 memakai budaya populer (film, novel dan sebagainya) serta kadang contoh dari pengalaman roman pribadi dia sendiri yang kadang saru, tapi sangat mudah dicerna. Tapi sayangnya, di ceramah kali ini dia hanya memakai contoh sentimen cinta tanah air ketika kita harus berimigrasi ke negara lain (yang mungkin lebih makmur).
Sementara terkait dengan gerakan Occupy, Zizek memblejeti dengan panjang lebar kritik anti-Occupy yang disampaikan oleh Anne Applebaum. Selain itu, Zizek tetap setia dengan seruannya bahwa dalam gerakan ini, kita tidak boleh, disatu sisi terjebak dalam seruan pragmatis (Oh, naikkan pajak orang kaya, perbesar subsidi pendidikan) dan berharap sistem akan baik-baik saja; tapi disisi lain juga merasa nostalgis dan melankolis:
...ketakutan terbesar saya adalah bahwa gerakan ini pelan-pelan akan menguap dan lantas apa? 10 tahun lagi, anda akan ngumpul dengan teman2, ngebir, dan ‘Ya ampun, asyik banget memang saat itu, tapi sekarang saya harus kembali ke pekerjaan saya sebagai bankir.’
Tapi yang paling menarik bagi saya dalam ceramah ini adalah penekanan Zizek, dan ini sangat khas pandangan Kiri jadul, yang, dalam konteks eksponen gerakan di Indonesia hari ini, masih sangat relevan, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya, atas perlunya Kerja, Kerja, Kerja. Karena dengan telah berhasilnya gerakan ini membuka sebuah ruang kosong [vacuum], dan sudah mematahkan tabu bahwa sistem ini tidak bisa dikritik, tugas berikunya adalah memikirkan dengan serius, bagaimana kita mengisi ruang kosong itu, bagaimana memaknai ulang kerjasama antara intelektual dan rakyat, untuk menghasilkan sistem yang, tidak hanya bisa menggantikan sistem kapitalistik yang ada sekarang, tapi juga tidak dibayangi katastropis sistem abad 20. Dan untuk itu, diperlukan sebuah, memakai konsepsi Kristen, bekerja dengan cinta [work of love], yang memang lambat, penuh kesabaran dan perlu kerja keras.

PS: Thx bung Utche P. Felagonna yang sudah ngasih tahu transkrip ceramah ini.

Kamis, 03 November 2011

Laporan dari Hollywood, Medan Perang Ideologi (LitET bag 2)


Kawans,
kali ini aku mau nampilin bagian Interlude I dari buku Living in the End Times (LitET), yang oleh Zizek diberi judul Hollywood Today: Report from Ideological Battlefield.

Disini Zizek membedah sejumlah film, dari mulai film klasik seperti film karya John Frankenheimer, Seconds, sampai film kontemporer seperti sekuel Batman terakhir yang digarap dengan apik oleh Christopher Nolan (terutama karakter Joker yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger, dan sangat pantas diganjar Oscar, sekalipun sedihnya, post-mortum), Dark Knight, bahkan film yang oleh sebagian kita dianggap sebagai sekedar film kartun anak-anak Hollywood, Kung fu Panda, guna membedah apa motif ideologi dibalik-nya.

Dimulai dari film berlatar kisah spionase di seputar peristiwa sejarah Perang Dunia II, berjudul Enigma, dimana dalam usaha untuk memecahkan kode sandi rahasia Jerman, si tokoh, Jericho, yang didasarkan pada sosok historis betulan, Alan Touring, terjebak dalam dua rahasia besar; yang pertama, tentu saja mesin sandi enigma itu sendiri, dan yang kedua adalah 'enigma’ terbesar dalam sejarah umat manusia (yang bahkan bapak Psikoanalisa, Sigmund Freud pernah menyampaikan satu teka-teki (atau misteri) terbesar yang pernah ada yaitu what woman want? (cewek itu maunya apa sih?)) yaitu wanita.

Dan disini Zizek menempatkan bahwa misteri yang lebih besar dan tak-terselesaikan adalah (surprise...surprise...), wanita. "Betapapun kompleks sebuah kode militer, mereka masih bisa dipecahkan – enigma yang sejati yang tidak akan pernah bisa dipecahkan adalah Wanita.“ (jadi bagi kalian para cowok pencinta, jangan minder kalo gak paham sebenarnya apa sih yang dimau oleh cewek kalian!!!).

Selanjutnya, .... ah, baca ndiri deh. Klo kawans mau nulis ringkasan dari isi bagian ini, i’ll be more than happy to post it here, kalau mau ngirim ke aku tentunya... Oh ya, satu lagi, interlude ini juga aku potong jadi dua bagian, biar gak terlalu panjang bacanya.


Rabu, 02 November 2011

Kapitalisme Kultural (Atau, Kenapa Starbucks Sucks!) (FaTTaF bag 2)

Kawans,
Di bagian tentang 'Spirit Baru' Kapitalisme dari buku First as Tragedy Then as Farce ini, Zizek membeber tentang pola baru organisasi kapitalisme dan konsumsi. Dalam perkembangan sejarahnya, kapitalisme beberapa kali melakukan perubahan besar dalam dirinya sendiri. Dalam hal pengorganisasian sumberdaya, Boltanski and Chiapello dalam bukunya The New Spirit of Capitalism menyebut adanya tiga tahapan “spirit” kapitalisme: pertama spirit kewirausahaan, berlangsung sampai Depresi Besar 1930an; kedua mengidealkan bukan pengusaha, tetapi direktur bergaji dari perusahaan besar; dan ketiga model organisasi berbasis-jaringan, dimana pekerjaan diorganisir dalam bentuk tim atau proyek, bahkan dengan memakai retorika Kiri yaitu manajemen mandiri pekerja.
Sementara di level konsumsi, spirit yang baru adalah apa yang disebut “kapitalisme kultural”: kita umumnya membeli sebuah komoditi tidak lagi karena masalah fungsi atau status simbolik; kita membeli untuk menikmati pengalaman karena membelinya, kita mengkonsumsi barang untuk membuat hidup kita menjadi lebih menyenangkan dan berarti. 
Memakai contoh iklan pemasaran Starbuck, Zizek menelanjangi bagaimana rasa 'feel good' ini dibangun kepada konsumen agar kita tidak merasa 'berdosa' telah menikmati Cappucino yang mahal itu, karena kan sebagian dari harga itu dipakai untuk membantu anak-anak korban kelaparan, mendukung proyek ekologi, bla...bla...bla... Kira-kira persis sama dengan logika yang coba dibangun oleh Aqua [ingat, produksi MNC Danone] yang memasarkan produk mereka dengan 'iming-iming' sebagian dari harga yang kita bayar akan dipakai untuk menyediakan sumber air bagi sejumlah daerah di Indonesia Bagian Timur (ingat iklan, sumber air sudekat...)
Atau, dan ini lebih sinting, kapitalisme memakai simbol-simbol revolusioner Kiri untuk mendukung pemasaran produk mereka. Zizek mencontohkan, misalnya, di Australia, ada perusahaan eskrim yang memproduksi eskrim dengan merk "Cherry Guevara,” dan dalam promosinya dikatakan bahwa “pengalaman menikmati” es krim ini sebagai: “Perjuangan revolusioner dari buah ceri, kandas ketika mereka terjebak diantara dua lapisan coklat. Semoga memori mereka terasa di mulut anda!"
Tapi konsep Zizek yang bagi saya paling menarik dari bagian ini adalah ketika dia menjelaskan tentang ledakan ketidakpuasan populis. 
"...Populisme pada akhirnya selalu ditopang oleh keputusasaan dari orang kebanyakan, dengan ungkapan “Saya tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi aku sudah muak dengan semua itu! Ini tidak bisa berlanjut! Ini harus dihentikan!” Ledakan ketidaksabaran ini berisi penolakan untuk mengerti atau terlibat dengan kompleksitas dari situasi, dan memunculkan tuntutan bahwa harus ada yang bertanggungjawab atas kekacauan itu – karena itulah perlu adanya simbol sosok dibelakang layar." 
Sebuah perasaan muak kolektif atas ketidaknyamanan dan berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh sistem yang terjadi, dan pada saat yang sama, menolak untuk memahami kerumitan masalah dan tidak mau tahu siapa yang sebenarnya, dan siapa yang seharusnya, bertanggungjawab atas kondisi ini. Penjelasan teknis, sok-santun, dan bertele-tele dari penguasa dan otoritas diskursif tidak lagi cukup. Muncul sikap penolakan, ‘...pokoknya...’, dan seringkali berujung pada tuntutan atas perubahan sistem. Inilah kira-kira yang melandasi revolusi ‘Arab Spring’, dan seharusnya dijadikan dasar bagi strategi taktis bagi gerakan #Occupy...
  

Selasa, 01 November 2011

Zizek dan Bokep (bag 2)

Pelajaran yang bisa kita ambil dari pornografi, karena itu, lebih mendasar daripada kesan awalnya: ini terkait dengan cara dimana jouissance terbelah antara yang Simbolis dan yang Real. Di satu sisi, jouissance adalah kernel, ’privat’ yang menolak dibeber kepada publik (lihat saja betapa malunya kita ketika cara enjoyment kita yang paling intim, rahasia pribadi, dsb, dibeber kepada publik); namun di sisi lain, jouissance hanya berarti ketika dia diakui oleh Liyan besar: dia di-dirinya sendiri cenderung untuk memenuhi dorongan ini (dari bentuk nyombong secara terbuka sampai pengakuan kepada sahabat dekat). Perpecahan antara kedua ekstrim ini tidak bisa diatasi: antara Di-dirinya yang berupa ‘kenikmatan privat’ yang menghindar dari tatapan publik, dan Bagi-dirinya sebagai seks yang sepenuhnya tereksternalkan, sebuah laku seks yang dilakukan demi tatapan publik – selalu ada ‘yang hilang’ dari yang pertama, sementara yang kedua selalu dirasakan sebagai hal yang ‘palsu’. Rujukan inheren terhadap Liyan yang menjelaskan tentang ‘tidak ada Don Giovanni tanpa Leporello’ (Don Giovanni jelas menganggap keberhasilannya menaklukkan Leporello lebih tinggi daripada kenikmatan yang dihasilkan oleh penaklukan itu sendiri) adalah tema dari guyonan jalanan tentang seorang petani miskin yang, setelah mengalami kapal kandas, terbangun di sebuah pulau terpencil dengan Cindy Crawford. Setelah mereka bercinta, ceweknya tanya, apakah si petani sudah puas; si petani bilang, iya, tapi tetap saja dia minta satu hal lagi yang tidak penting agar kepuasannya benar-benar lengkap – apakah si cewek mau berdandan kayak sahabat si petani, memakai celana, memasang kumis palsu di wajahnya? Menanggapi kekagetan si cewek dan kecurigaannya bahwa si petani sebenarnya diam-diam adalah seorang cabul, dia menenangkan si cewek bahwa maksudnya bukan itu, dan dia sebentar lagi juga akan paham... Nah, setelah permintaannya dituruti si cewek, si petani mendekatinya, menyikut pinggangnya dan bilang, dengan nada jumawa dan kesombongan khas pria: “Tahu ndak aku barusan ngapain? Aku barusan bercinta sama Cindy Crawford)’. Pihak Ketiga, yang selalu hadir sebagai saksi, menggantikan ideal hedonisme – dengan kata lain, dia memperkenalkan momen refleksivitas atas dasar dimana kenikmatan privat yang polos itu tidak akan pernah terjadi: seks pada dasarnya, selalu minimal adalah laku ‘eksibisionis’, dia tergantung pada tatapan Liyan.