Selasa, 01 November 2011

Zizek dan Bokep (bag 2)

Pelajaran yang bisa kita ambil dari pornografi, karena itu, lebih mendasar daripada kesan awalnya: ini terkait dengan cara dimana jouissance terbelah antara yang Simbolis dan yang Real. Di satu sisi, jouissance adalah kernel, ’privat’ yang menolak dibeber kepada publik (lihat saja betapa malunya kita ketika cara enjoyment kita yang paling intim, rahasia pribadi, dsb, dibeber kepada publik); namun di sisi lain, jouissance hanya berarti ketika dia diakui oleh Liyan besar: dia di-dirinya sendiri cenderung untuk memenuhi dorongan ini (dari bentuk nyombong secara terbuka sampai pengakuan kepada sahabat dekat). Perpecahan antara kedua ekstrim ini tidak bisa diatasi: antara Di-dirinya yang berupa ‘kenikmatan privat’ yang menghindar dari tatapan publik, dan Bagi-dirinya sebagai seks yang sepenuhnya tereksternalkan, sebuah laku seks yang dilakukan demi tatapan publik – selalu ada ‘yang hilang’ dari yang pertama, sementara yang kedua selalu dirasakan sebagai hal yang ‘palsu’. Rujukan inheren terhadap Liyan yang menjelaskan tentang ‘tidak ada Don Giovanni tanpa Leporello’ (Don Giovanni jelas menganggap keberhasilannya menaklukkan Leporello lebih tinggi daripada kenikmatan yang dihasilkan oleh penaklukan itu sendiri) adalah tema dari guyonan jalanan tentang seorang petani miskin yang, setelah mengalami kapal kandas, terbangun di sebuah pulau terpencil dengan Cindy Crawford. Setelah mereka bercinta, ceweknya tanya, apakah si petani sudah puas; si petani bilang, iya, tapi tetap saja dia minta satu hal lagi yang tidak penting agar kepuasannya benar-benar lengkap – apakah si cewek mau berdandan kayak sahabat si petani, memakai celana, memasang kumis palsu di wajahnya? Menanggapi kekagetan si cewek dan kecurigaannya bahwa si petani sebenarnya diam-diam adalah seorang cabul, dia menenangkan si cewek bahwa maksudnya bukan itu, dan dia sebentar lagi juga akan paham... Nah, setelah permintaannya dituruti si cewek, si petani mendekatinya, menyikut pinggangnya dan bilang, dengan nada jumawa dan kesombongan khas pria: “Tahu ndak aku barusan ngapain? Aku barusan bercinta sama Cindy Crawford)’. Pihak Ketiga, yang selalu hadir sebagai saksi, menggantikan ideal hedonisme – dengan kata lain, dia memperkenalkan momen refleksivitas atas dasar dimana kenikmatan privat yang polos itu tidak akan pernah terjadi: seks pada dasarnya, selalu minimal adalah laku ‘eksibisionis’, dia tergantung pada tatapan Liyan.

Tarik menarik antara yang simbolis dan yang real ini paling baik dicontohkan oleh dampak paradoksikal dari upaya yang ‘santun secara politik’ terkenal dalam bentuk memformalkan aturan permainan seksual; sebelum menuju ke tahapan selanjutnya, si pria perlu secara eksplisit meminta ijin pada si wanita (‘Boleh gak kubuka bajumu?’ dsb). Ada dua masalah dengan hal ini. Pertama, seperti halnya yang kerap dikatakan psikolog seks, bahkan sebelum pasangan secara eksplisit menyatakan niatnya untuk tidur bareng, semuanya harus sudah diputuskan di level innuendo [angan-angan], bahasa tubuh, dan pandangan mata, sehingga formulasi eksplisit dari aturan itu dengan sendirinya adalah hal yang superflous [berlebihan]. Karena itulah, bukannya memperjelas situasi, prosedur untuk mengawali setiap tahapan dengan secara eksplisit meminta ijin semacam itu membawa sebuah momen ambiguitas radikal; itu menghadapkan subyek dengan abyss dari hasrat Liyan (‘Ngapain juga dia pake nanya? Kan tanda-tandanya sudah jelas?’). Terkait dengan ambiguitas ini, penyampaian eksplisit dari aturan ini membuka sebuah ruang agresivitas baru – untuk jenis tindakan yang lebih memalukan bagi pasangan, bayangkan seorang pria yang, setelah menanyai pasangan wanitanya ‘Boleh gak kubuka bajumu?’ dan beneran melakukannya, lantas dilanjutkan dengan tanya ‘Boleh gak sekarang kupakaiin lagi bajumu?’ – sebuah sikap penolakan yang kejam setelah ‘melihat barangnya’, yang ditutupi sebagai kesopanan... Lagi, yang terjadi disini adalah struktur perjumpaan yang gagal yang merupakan penyusun dari ranah simbolis: apakah pesannya (ijin untuk berbuat lebih jauh) implisit, dan karenanya selalu rentan terjadi kesalahpahaman, atau justru upaya untuk menyampaikan pesannya itu secara eksplisit, akan membuatnya menjadi ambigu secara radikal.
Cara lain untuk menjelaskannya adalah dengan bilang bahwa dalam utopia pornografis, kesatuan dari pengalaman-diri ragawi secara ajaib menjadi lebur, sehingga penonton memahami tubuh-tubuh para aktor tidak sebagai totalitas yang utuh, tapis emacam obyek parsial yang secara aneh digabungkan – ini mulutnya, itu payudaranya, disana anus, sebelahnya mulut vagina... Dampak dari pengambilan gambar close-up dan posisi tubuh yang malang melintang dari para aktor kemudian merampas keutuhan tubuh mereka: sedikit seperti tubuh dari badut sirkus dimana si badut itu sendiri melihatnya sebagai organ parsial yang gagal dia kendalikan sepenuhnya, sehingga sebagian dari anggota tubuhnya bisa hidup sendiri-sendiri semaunya (ingat bagaimana pertunjukan standar dimana si badut mencoba mengangkat lengannya, tapi si lengan seolah punya keinginan sendiri dan menggantung lunglai). Perubahan dari tubuh menjadi banyak obyek parsial yang ter-desubyektifkan ini menjadi paripurna ketika, misalnya, si wanita di atas ranjang dengan dua pria, dan melakukan felatio (oral seks) kepada salah satu pria, tidak dengan cara standar, aktif mengulum penisnya, tapi dengan posisi sedemikian rupa sehingga dia telentang di ranjang, dan menjulurkan kepalanya ke tepian ranjang – ketika si pria melakukan penetrasi, mulutnya berada di atas matanya, wajahnya terjungkir balik, dan dampaknya adalah perubahan yang aneh dari wajah manusia, sisi subyektivitasnya, menjadi semacam mesin penyedot yang impersonal yang tengah dipompa oleh penis pria. Sementara si pria satunya, memainkan vaginanya, yang juga diangkat lebih tinggi dari kepalanya, dan karena itu berubah menjadi pusat jouissance yang otonom, tidak dikendalikan oleh kepala. Karenanya tubuh si wanita dirubah menjadi ragam ‘organ tanpa tubuh’, mesin jouissance, sementara dua pria yang mengerjain juga menjadi ter-desubyektiviskan, ter-instrumenkan, direduksi menjadi sekedar pekerja yang melayani berbagai obyek yang parsial...[1]
Komikalitas, tentu saja, bisa bergeser menjadi kesaruan kapanpun, secepat perilaku cabul itu mengandung pendekatan ‘instrumental’ atas seksualitas – dengan kata lain, melakukan ‘itu’ dari sebuah jarak eksternal, sebagai sebuah tugas yang dipaksakan dari luar, tidak sekedar ‘demi hal itu’. Mungkin bukti paripurna dari bagaimana kesaruan niscaya beralih menjadi komikal bisa didapati dari episode terakhir di kisah Everything You Always Wanted to Know About Sex, karya Woody Allen, yang menanggapi pertanyaan ‘Apa yang berlangsung dalam tubuh ketika berlangsung adegan seksual?’: bagian dalam tubuh ditampilkan sebagai sebuah perusahaan yang kompleks: di bagian kepala, si manajer mengamati realitas diluar melalui sebuah periskop, layaknya di kapal selam, lantas meneriakkan instruksi melalui megafon kepada tubuh bagian bawah, semuanya mengingatkan penonton akan sebuah pabrik dimasa Sosialisme Stalinis: ketika seorang manajer menyampaikan perintah ‘Ereksi 45 derajat!’, pekerja di bawah sana mulai mendorong pipa besar untuk mengalirkan darah ke arah penis, sambil menyanyikan lagu perjuangan untuk membakar semangat; ketika target ereksi tidak tercapai dan terjadi chaos, polisi rahasia mendapati adanya sabotase (seorang pendeta reaksioner dari Departemen Moralitas menghalangi proses ini, karena persenggamaan yang hendak dilakukan ternyata tidak dengan istri sah). After si penyabotase ditangkap, dan dengan upaya baru dari para pekerja, target produksi 45 persen segera bisa dicapai...
Salah satu kesan eksplisit awal dari adegan seksual dalam film Hollywood, adegan rayuan dalam film Billy Wilder, Some Like it Hot, mencampurkan komedi dengan kecabulan. Di sebuah kapal pesiar, Marlyn Monroe merayu Tony Curtis (seorang pemusik malang yang berpura-pura menjadi seorang jutawan impoten), sementara pada saat yang sama, di sebuah klab malam di kota, si milioner asli yang merupakan pemilik asli dari kapal pesiar itu, mencoba merayu Jack Lemmon (sahabat Tony Curtis, berdandan ala seorang gadis) dengan memakai tarian tango yang bergairah... Disini berlangsung ritual rayuan ‘normal’ ganda: pihak wanitalah yang memainkan peranan aktif, sementara si pria yang secara aktif merayu wanita sebenarnya merayu pria lain yang berdandan ala wanita.
Kesaruan juga menjadi ciri yang terus muncul dalam kegiatan seksual dalam film-film Hitchcock. Ingat adegan terkenal dari Vertigo, dimana Judy (Kim Novak) akhirnya menemui Scottie (James Stewart), berdandan seperti Madelaine yang dikira sudah meninggal. Ciri saru pertama disini adalah dimensi necropilias dari adegan ini: Scottie pengen meniduri wanita yang sudah meninggal; Judy menarik hatinya sebagai penjelmaan dari Madelaine yang sudah meninggal. Selain itu, arah dari proses rayuan itu sendiri juga dibalik: bukannya melepas dandanan wanita yang dicintainya, Scottie justru mendandaninya. Cara Scottie menatap dengan gelisah, dan pada saat yang sama, malu-malu, ke arah koridor dari mana Judy yang sudah berdandan akan datang, menunjukkan sosok seorang kekasih yang gelisah karena menunggu wanita yang dicintainya keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang. Setelah Judy kembali, Scottie tampak jelas kelihatan kecewa karena dia tidak merapikan rambutnya; dalam obrolan dengan Truffaut, Hitchcock sendiri menunjukkan bahwa ekonomi libidinal dari kekecewaan ini persis sesuai dengan seorang kekasih yang kecewa ketika si gadis keluar dari kamar mandi tidak benar-benar telanjang, tapi masih pake celana dalam. Sehingga, tidak heran jika sajian film pertama Hitchcock yang mengetengahkan adegan seksual secara langsung (dalam film Frenzy) terjadi bersamaan dengan adegan pembunuhan: pembunuh berdasi mencekik korbannya tepat ketika berlangsung adegan pemerkosaan – konfrontasi langsung dengan pendapat Truffaut bahwa Hitchcock mengambil gambar adegan seksual seolah itu adalah sebuah pembunuhan, dan pembunuhan seolah itu adalah sebuah adegan seksual...
Disini kita bisa melihat bagaimana kesaruan dimasukkan kedalam tindak penyensoran itu sendiri; justru penggantian dari yang ‘pantas’ oleh obyek atau aktivitas suplementer (dari melepas-dandanan menjadi berdandan, dari hidup menjadi mati, dari bersetubuh menjadi pembunuhan...) yang berlangsung dibawah tekanan sensor – dengan kata lain, guna menghindari pengambaran langsung dari adegan seks – justru makin memperburuk, menjadikan tambahan dimensi cabul terhadap adegan itu. Versi lain dari paradoks ini berlangsung dalam neurosis obsesional, dimana ‘larangan atas hal yang erotis (dalam sensor) adalah selalu pada saat yang bersamaan, dan terlepas dari diri mereka sendiri, erotisasi dari larangan itu’:[2] dorongan ritual neurotik yang menegaskan sikap defensif melawan hasrat (erotis) yang diingkari/dipendam, dengan sendirinya menjadikannya sangat tererotisasi, seolah dibuktikan oleh fakta bahwa hal itu menghadirkan kepuasan yang intens.
Karena semua kebuntuan yang parah ini, Hollywood lebih menyukai versi ketiga, yaitu pathos ‘romantis’, yang bermaksud untuk mengaburkan kebuntuan ini dengan menampilkan ekstasi seksual melalui metafora, musik latar, dan sebagainya – disini bahaya yang selalu mengintai adalah, tentu saja, bahwa segala sesuatunya bisa tiba-tiba saja berubah menjadi kekonyolan. Untuk itu, kita cuma perlu mengingat adegan seksual antara Sarah Miles dan kekasih gelapnya, seorang perwira Inggris, dalam film karya David Lean, Ryan Daughter; penggambaran adegan seksual di tengah hutan, dengan suara air terjun dianggap menunjukkan gairah mereka yang terpendam, hari ini mau tidak mau membuat kita menerimanya sebagai sebuah klise yang bric-a-brac. Disini yang tidak kalah pentingnya adalah latar suara yang menjengkelkan, karena perannya sangat ambigius: dengan menekankan ekstasi dari laku seksual, pengecualiannya dari realitas harian yang prosais, suara latar (atau musik yang bergairah) ini, dalam hal tertentu ‘men-derealis’ adegan ini; suara itu membawakan kita beban opresif dari kehadirannya yang masif. Eksperimen mental sederhana cukup untuk memperjelas hal ini: coba kita bayangkan, di tengah penggambaran yang konyol dari sebuah adegan seksual, tiba-tiba saja musiknya berhenti, sehingga yang tersisa adalah laku yang tergesa dan cepat, kesunyian yang menyakitkan itu sesekali disela oleh rintihan dan lenguhan, memaksa kita untuk menghadapi langsung kehadiran dari adegan seksual. Pendeknya, paradoks dari adegan dari Ryan Daughter adalah bahwa suara air terjun itu sendiri, yang dengan kehadirannya yang masif, berfungsi sebagai tabir fantasmis yang mengaburkan yang Real dari tindakan seksual.
Penggambaran yang ekstatis dari adegan seksual ini bisa didapati dalam logika ‘produksi pasangan’, yang momen puncaknya kita temui dalam film besutan Warren Beaty, Reds. Reds memadukan Revolusi Oktober, event historis yang paling traumatis bagi Hollywood, kedalam ranah Hollywood dengan menampilkannya sebagai latar metaforis bagi adegan seksual antara dua tokoh utama dalam film itu, John Reed (yang diperankan oleh Beatty sendiri) dan kekasihnya (Diane Keaton). Dalam film, Revolusi Oktober berlangsung sesaat setelah terjadi krisis dalam hubungan mereka; dengan memberikan orasi yang menggelora di depan massa yang bersemangat, Beatty menarik tatapan Keaton; keduanya bertukar pandang penuh gairah, dan teriakan massa berfungsi sebagai metafora dari pulihnya lagi ledakan gairah antar pasangan kekasih. Adegan yang krusial dan mistis dari Revolusi (demonstrasi di jalanan, penyerbuan Istana Musim Dingin) berselang-seling dengan penggambaran dari persetubuhan si pasangan, dengan latar massa yang menyanyikan ‘internasionale’. Adegan massa ini berfungsi sebagai metafora vulgar dari adegan seksual: ketika massa mendekati dan mengerubungi tramway phalis, bukankah ini merupakan metafora dari Keaton yang, dalam adegan seks itu, memainkan peranan aktif – mengangkangi Beatty? Sehingga, di akhir adegan, lahirlah pasangan yang berbahagia, bahkan dilengkapi dengan pohon Natal – bahkan Lenin sendiri, ketika bicara kepada deputinya di aula, ditampilkan sebagai sosok Ayah yang menjamin kesuksesan dari hubungan seksual itu... Disini kita mendapati tepat kebalikan dari Realisme Sosialis Soviet, dimana sepasang kekasih itu menjalankan percintaan mereka sebagai sebuah kontribusi terhadap perjuangan untuk mencapai Sosialisme, bersumpah untuk mengorbankan semua kenikmatan privat mereka demi keberhasilan Revolusi, dan menenggelamkan diri mereka di tengah massa. Sebaliknya di film Reds, revolusi itu sendiri tampak sebagai sebuah metafora bagi keberhasilan hubungan seksual.
Tentu saja poinnya adalah bahwa nyanyian ‘Internasional’ di film Reds memainkan peranan yang persis serupa dengan suara air terjun dalam film Ryan Daughter; peran tabir fantasmis yang memungkinkan kita menopang yang Real dari laku seksual. Situasi standar dimana, apapun yang mereka lakukan, kita sebenarnya ‘tengah memikirkan itu’ – tentang seksualitas sebagai rujukan universal tersembunyi dari setiap kegiatan – disini dibalik: seks-nya sendiri yang, agar membuatnya bisa diterima, harus ditopang oleh tabir ‘aseksual’ dari Revolusi Oktober (bukannya pepatah lama ‘Tutup matamu dan pikirkan Inggris!’, disini kita menemui ‘Tutup matamu dan pikirkan Revolusi Oktober!’). Logikanya disini serupa dengan suku asli Amerika yang anggotanya menyadari bahwa semua mimpi memiliki makna seksual terselubung – semua, kecuali mimpi seksual itu sendiri; disini, tepatnya, kita perlu mencari makna lain. (Dalam diari rahasianya yang baru-baru ini ditemukan, Wittgenstein melaporkan bahwa sambil masturbasi di medan laga selama Perang Dunia I, dia memikirkan tentang soal matematika...) Dan poin pentingnya disini adalah itu juga berlangsung dalam realitas, dengan apa-yang disebut ‘seks yang nyata’: itu juga memerlukan tabir fantasmis tertentu – seperti yang sudah kita lihat,[3] kontak apapun dengan liyan yang ‘real’, berdarah-daging, setiap kepuasan seksual yang kita dapati ketika menyentuh manusia lain, bukanlah sesuatu yang jelas, tapi sesuatu yang secara inheren traumatis, dan hanya bisa ditopang sepanjang liyan ini masuk dalam bingkai-fantasi subyek.
Lantas, apa yang terjadi ketika tabir ini lenyap? Adegan itu akan berubah menjadi sesuatu yang kacau – bahkan mengerikan. Contoh yang ekselen bisa kita temui dalam film Alan Parker, Angel Heart; Mickey Rourke dan seorang gadis remaja Creole yang cantik bercinta dengan bergairah diatas ranjang reot di ruangan yang acak-acakan; di sepanjang dinding dan melalui lubang di atap, air menetes ke dalam ember yang ditaruh untuk menampungnya, karena diluar sedang hujan sangat deras. Tiba-tiba saja, tetes air hujan berganti menjadi merah, airnya menjadi darah yang menetes ke tubuh pasangan itu, dan persenggamaan mereka menjadi semakin liar, dan berubah menjadi, secara harfiah, saling membunuh, ketika Rourke yang berdarah-darah mulai mencekik si gadis... Yang lebih menarik daripada penjelasan ‘psikologis’ dari adegan ini (Rourke memainkan kepribadian ganda yang tidak menyadari bahwa dia telah membunuh si gadis), adalah dampaknya yang murni visual; penontot tidak memandang darah yang secara betahap menggenangi ruangan itu tidak sekedar bagian dari adegan; darah itu, lebih, berperan sebagai sebuah noda, yang secara bertahap mengelap pinggiran bingkai lewat mana penonton melihat realitas di layar.
Sehingga aspek yang benar-benar traumatis dari adegan ini bukan fragmen memori kenangan dari ritual pembunuhan ketika, bertahun-tahun sebelumnya, si aktor berganti identitas, tapi noda itu sendiri, mediator-pihak ketiga yang hadir diantar dua lapis, lapisan saat ini (adegan seksual) dan masa lalu (pembunuhan ritual). Bukan nodanya yang mengungkit masa lalu yang traumatis; lebih pada, memori atas masa lalu itulah yang berfungsi sebagai tabir yang mengaburkan kehadiran menggangu dari nodanya. Sehingga noda ini menafikan posisi penonton yang, dari tempat yang jauh, mengawasi dan menerima event ini, dan entah bagaimana menariknya, secara langsung melibatkannya kedalam apa yang terjadi di layar, seolah sesuatu muncul dalam realitas buatan ini yang ‘terlalu kuat’ dan mengancam akan menembus keluar layar. Memparafrase ungkapan Derrida, kita bisa bilang bahwa noda darah disini berfungsi sebagai bagian dari adegan (yang digambarkan) yang membingkai bingkai itu sendiri. Tak perlu lagi ditambahkan bahwa karenanya kita mendekati huruf besar J misterius yang ada di tengah skema Lacan: noda darah yang membesar ini mengumumkan sebuah abyss dari jouissance mematikan yang mengancam akan menenggelamkan kita, menarik kita kedalam sebuah malam psikotis dimana kita dibombardir dari segala sisi oleh enjoyment yang eksesif dan tak tertahankan. Sehingga adegan seksual disini diterima sebagai sesuatu yang buruk, sebagai sesuatu yang mengganggu dan menafikan bingkai realitas. Dengan kata lain, yang terjadi disini adalah disintegrasi dari penopang fantasmis dari keterkaitan kita dengan realitas.
Namun, ada sesuatu yang bahkan lebih buruk daripada sekedar ditelan oleh yang Real pre-ontologis dari adegan seksual yang tidak ditopang oleh tabir fantasmis: tepat kebalikannya, konfrontasi dengan tabir fantasmis yang dirampas dari adegan itu. Seperti sudah kita lihat, inilah yang berlangsung dalam salah satu adegan yang paling mengenaskan dan menyayat dari film David Lynch, Wild at Heart. Dalam sebuah kamar hotel yang terpencil, Willem Dafoe (Bobby Peru) memperlakukan Laura Dern secara kasar: si pria menekan dan meremas si wanita, menyerbu ruang keintimannya dan berulang kali berkata kasar dan mengancam ‘Bilang Setubuhi aku!’ – dengan kata lain, memaksakan pada si wanita sebuah kata yang akan menandakan persetujuannya untuk melakukan laku seksual. Adegan yang mengganggu dan buruk ini berlangsung terus menerus, dan ketika, akhirnya, Laura yang kecapekan, hampir tidak terdengar, menggumamkan ‘Setubuhi aku!’, Bobby Peru tiba-tiba saja mundur, tersenyum manis dan ramah, dan dengan gembira berkata: ‘Trims, hari ini aku gak ada waktu: lain kali dengan senang hati aku mau...!’
Yang mengganggu dari adegan ini, tentu saja, terletak pada fakta bahwa kejutan dari penolakan Bobby Peru atas persetujuan paksa Dern memberi si pria sentuhan akhir; penolakannya yang mengejutkan adalah kenikmatan tertinggi dan, dengan cara tertentu, lebih memalukan si gadis dibandingkan seandainya dia diperkosa. Si pria telah mendapatkan apa yang sebenarnya dia inginkan: bukan laku seksual itu sendiri, namun sekedar persetujuannya untuk melakukan, pemaluan simbolis atas dirinya. Yang terjadi disini adalah perkosaan dalam fantasi yang menolak realisasinya dalam realitas, dan karenanya lebih memalukan bagi si korban – fantasinya dipaksa, dirangsang keluar, dan kemudian diabaikan, dibuang kearah si korban. Dengan kata lain; jelas bahwa Laura Dern tidak sekedar muak dengan paksaan brutal Bobby Peru kedalam ruang intimnya; tepat sebelum si gadis bilang ‘Setubuhi aku!’, kamera mengambil fokus gambar tangan kanannya, yang pelan-pelan membuka – perlambang bahwa dia telah menyerah, bukti bahwa dia sudah terangsang fantasinya. Disini poinnya adalah untuk membaca adegan ini dengan cara Levi-Straussian, sebagai pembalikan dari adegan rayuan standar (dimana pendekatan yang lemah lembut diikuti oleh laku seksual yang brutal, setelah si wanita, target dari upaya si perayu, akhirnya bilang ‘Ya!’). Atau – dengan kata lain – penolakan ramah Bobby Peru terhadap keterpaksaan Dern bilang ‘Ya!’ berhutang dampak traumatisnya kepada fakta bahwa itu telah membuka kepada publik struktur paradoksikal dari gestur kosong sebagai hal yang menyusun ranah simbolis:[4] setelah secara brutal memaksa si gadis untuk setuju berhubungan badan, Bobby Peru memperlakukan ‘Ya!’ ini sebagai gestur kosong yang perlu ditolak dengan halus, dan karena itu secara brutal menghadapkan si gadis dengan kondisi fantasmis yang ada dalam dirinya sendiri.
Bagaimana bisa sosok yang jelek dan mengganggu seperti Bobby Peru bisa membangkitkan fantasi Laura Dern? Disini kita kembali kepada motif kejelekan: Bobby Peru sebenarnya jelek dan mengganggu sepanjang dia menjadi perwujudan dari vitalitas phalis yang non-kastratis dengan semua kekuatannya – sekujur tubuhnya mengingatkan kita akan phalus raksasa, dengan kepalanya sebagai kepala penis...[5] Bahkan momen finalnya menjadi saksi dari semacam energi dasar yang mengabaikan ancaman kematian: setelah perampokan bank berujung kacau, Bobby Peru menembak kepalanya sendiri tidak dengan sikap putus asa, tapi dengan ketawa gembira... Sehingga Bobby Peru disini masuk dalam daftar sosok penjahat legendaris yang suka memuaskan dirinya sendiri, yang paling terkenal (sekalipun kurang menarik dan lebih formulais dibandingkan Bobby Peru) muncul dalam karya Lynch, yaitu tokoh Frank (Dennis Hopper) dalam film Blue Velvet. Kita bisa berpikir lebih jauh disini dan melihat sosok sebagai perwujudan terakhir dari sosok legendaris dimana film-film Orson Welles berfokus:
Bobby Peru secara fisik memang mengerikan, tapi apakah dia secara moral juga sama mengerikannya? Jawabannya iya dan tidak. Ya, sebab dia bersalah melakukan kejahatan membela diri; tidak, sebab dari sudut moral yang lebih tinggi, dia, setidaknya dalam hal tertentu, lebih dari Sailor yang jujur dan adil, yang akan selalu kekurangan aspek hidup tertentu yang saya sebut Shakespearean. Sosok-sosok yang luar biasa ini seharusnya tidak dihakimi oleh sekedar hukum normal. Mereka sekaligus lebih kuat dan lebih lemah daripada liyan... begitu lebih kuat sebab mereka secara langsung bersentuhan dengan aspek alami dari segala sesuatu, atau mungkin bisa dibilang, dengan Tuhan.
Dalam deskripsi Andre Bazin yang terkenal tentang tokoh Quinlan dalam film karya Welles, Touch of Evil,[6] saya sekedar mengganti namanya, dan deskripsinya tampak begitu sesuai...
Cara lain menjelaskan dampak tak terkira dari adegan dari Wild at Heart ini adalah untuk berfokus pada pembalikan dasar dari pembedaan standar dari peran dalam proses rayuan heteroseksual.[7] Kita disini bisa mengambil titik tolak penekanan terhadap mulut Dafoe yang terlalu lebar dengan bibirnya yang tebal dan basah, air liur menetes dimana-mana, dikacaukan sedemikian rupa, dengan gigi yang hitam dan berantakan – tidakkah ini mengingatkan kita dengan gambaran vagina dentata, ditampilkan secara vulgar, seolah pembukaan vagina itu sendiri tengah memprovokasi Dern untuk berkata ‘Setubuhi aku!’. Rujukan yang jelas terhadap wajah Dafoe yang rusak sebagai wajah klise ‘bajingan’ [cuntface, wajahmu kayak kelentit] -menunjukkan fakta bahwa dibalik adegan yang jelas dari seorang pria yang secara agresif memaksa wanita, skenario fantasmis lain sedang berlangsung; bahwa seorang pemuda, lugu dan pirang dirayu, dan kemudian ditolak oleh wanita vulgar yang ketuaan; di lapis ini, peran seksualnya terbalik, dan Dafoe-lah yang sebenarnya digoda dan diprovokasi oleh si wanita. Sekali lagi, apa yang begitu menggangu dari sosok Bobby Peru adalah ambiguitas seksual paripurna-nya, yang berselang-seling antara daya phalis yang mentah dan non-kastrasi dengan vagina yang mengancam, dua faset dari substansi-hidup pra-simbolis. Sehingga adegan ini seharusnya dibaca sebagai pembalikan dari motif Romantis standar ‘kematian dan perawan’; yang kita dapati disini adalah ‘kehidupan dan perawan’.[8]
Lantas, bagaimana kita bisa memahami ‘Trims, gak usah!’ dari Bobby Peru, salah satu sikap etis terhebat dalam film kontemporer? Mungkin cara yang patut untuk melakukannya adalah dengan membandingkan setting dari adegan dari Wild at Heart ini dengan adegan terkenal lain dari kehidupan nyata, dengan apa yang mungkin merupakan ritual rasis yang paling memalukan dari AS bagian Selatan jadul: sekelompok geng kulit putih mengepung seorang Afro-Amerika dan memaksanya untuk memulai menghina mereka. Sementara si orang Afro-Amerika dipegangi oleh anggota geng lainnya, seorang bajingan kulit putih berteriak padanya: ‘Ayo, ludahi aku! Bilang aku bajingan!’, dan sebagainya, guna memaksanya masuk dalam ‘situasi‘ dimana dia layak dipukuli atau dikeroyok secara brutal – seolah si rasis kulit putih itu ingin secara retroaktif mereka ulang konteks dialogis yang tepat bagi tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Disini kita mendapati kesaruan dari kata-kata yang menusuk dalam bentuknya yang paling murni: dengan pura-pura mengejek tatanan ‘normal’, kita memaksa si korban untuk sukarela menghina saya – untuk mengambil posisi diskursif sebagai pihak yang terhina dan karena itu mengabsahkan kekerasan yang kita lakukan.
Mudah untuk memahami analogi kejadian ini dengan adegan dari Wild at Heart; maksud dari ritual rasis yang menggangu ini tidak sekedar bahwa para bajingan kulit puti ini memaksakan makna terkenal dari sosok Kepaman-Saman yang rendah hati dari si Afro-Amerika untuk terpaksa menghina mereka – kedua pihak sadar benar bahwa si Afro-Amerika yang terkepung ini memang memiliki fantasi agresif atas si penindas kulit putihnya, bahwa dia memang menganggap mereka bajingan (yang sebenarnya pantas saja, mengingat perlakuan brutal yang dia dan rasnya terima), dan tekanan dari mereka ini berfungsi untuk membangkitkan fantasi ini, sehingga ketika si Afro-Amerika ini akhirnya meludahi si berandal kulit putih atau meneriakkan ‘Kalian bajingan!’, dia sebenarnya sudah kehilangan pertahanannya, daya survival-nya, dan menampilkan hasratnya yang sebenarnya, berapapun harganya... persis seperti Laura Dern dalam Wild at Heart yang, dalam berkata ‘Setubuhi aku!’, mendapatkan tidak hanya tekanan eksternal, tapi juga kernel fantasmis dari jouissance-nya. Singkatnya, si Afro-Amerika yang malang itu akhirnya dipukuli (mungkin sampai tewas) akibat hasratnya.
Namun, ada perbedaan penting antara kedua adegan. Setelah memaksa persetujuan dari Laura Dern, Bobby Peru tidak melanjutkan dengan tindakan itu sendiri; sebaliknya, dia menganggap persetujuannya sebagai laku yang benar-benar spontan, dan dengan ramah menolaknya. Sebaliknya, para rasis itu melecehkan si Afro-Amerika, setelah memaksa dia bilang ‘Kalian bajingan!’, memakainya sebagai alasan absah untuk benar-benar memukuli dia dan bahkan mengeroyoknya. Dengan kata lain, jika Bobbyt Peru bertindak seperti rasis Ku Klux Klan, dia akan begitu saja memperkosa Laura setelah memaksa dia untuk setuju; dan sebaliknya, jika para rasis KKK itu hendak bertindak seperti Bobby Peru, dia akan mengikuti teriakan ‘Kalian bajingan!’ itu dengan sekedar bilang, ‘Ya, mungkin kami memang bajingan!’ dan membiarkan dia... Atau – dengan kata lain – dalam adegan Wild at Heart, kita perlu memperhatikan cara Lynch membalik prosedur standar dari rayuan pria, dimana proses yang lembut dari kata-kata gombal diikuti oleh tindakan paksaan fisik penetrasi seksual, begitu dia mendapat persetujuan; dalam karya Lynch, kekerasan itu sepenuhnya diganti oleh proses rayuan verbal itu sendiri, yang berfungsi sebagai ejekan mengerikan dari rayuan gombal ‘yang sepantasnya’, sementara laku seksual itu sendiri gagal untuk diwujudkan.
Sehingga dampak traumatis dari kedua adegan ini bergantung pada gap antara ranah simbolis harian dari subyek dan penopan fantasmisnya. Mari kita pahami gap ini memaki fenomena lain yang sama mengganggunya. Ketika perhatian kita tertarik pada fakta bahwa wanita memang kerap membayangkan dia diperlakukan dengan brutal dan diperkosa, jawaban standarnya kalau tidak bahwa ini sekedar fantasi pria atas wanita, ya bahwa wanita itu sendiri melakukannya sepanjang mereka telah ‘menginternalkan’ dorongan libidinal patdan mendukung viktimisasi dirinya – pandangan yang mendasari hal ini adalah bahwa momen kita menyadari fakta akan hayalan pemerkosaan ini, kita membuka pintu bagi perilaku chauvinis-pria tentang bagaimana, ketika diperkosa, wanita hanya sekedar mendapatkan apa yang diam-diam mereka dambakan; keterkejutan dan ketakutan mereka sekedar mengekspresikan fakta bahwa mereka tidak cukup jujur mengakui hal ini. Terhadap pandangan semacam ini, kita seharusnya menjawab bahwa (beberapa) wanita mungkin memang benar-benar menghayalkan dirinya diperkosa, tapi fakta ini tidak hanya tidak bisa mengabsahkan tindak perkosaan – hal ini justru membuat perkosaan itu lebih menyakitkan.
Kita ambil contoh dua wanita – yang pertama jenis wanita aktif, asertif dan liberal; yang lain diam-diam menghayalkan diperlakukan dengan brutal, bahkan diperkosa, oleh pasangannya. Poin krusialnya disini adalah, jika keduanya diperkosa, pemerkosaan itu akan lebih traumatis bagi si wanita kedua, justru karena fakta bahwa itu akan mewujudkan dalam realitas sosial ‘eksternal’ isi dari ‘hayalannya’ – mengapa? (Mungkin cara lain yang lebih baik untuk menjelaskan hal ini adalah sekali lagi memparafrase kalimat terkenal Stalin: mustahil untuk bilang mana dari kedua pemerkosaan itu yang lebih buruk – keduanya buruk; dengan kata lain, perkosaan dengan paksaan, tentu saja dalam hal tertentu paling buruk, sebab itu sudah melecehkan kepribadian kita; disisi lain, fakta bahwa perkosaan itu mungkin dilakukan sejalan dengan hasrat rahasia kita akan membuatnya bahkan lebih buruk...).[9] Ada gap yang selamanya memisahkan kernel fantasmis subyek dari sekedar cara yang lebih ‘superfisial’ dari identifikasi simbolis dan/atau imajinernya – tidak akan pernah mungkin kita mendapatkan (dalam artian integrasi simbolis) kernel fantasmis keberadaan kita; ketika kita mendekatinya terlalu bersemangat, terlalu dekat dengannya, yang terjadi adalah aphanisis dari subyek: subyek kehilangan konsistensi simbolisnya, dia tercerai berai. Dan mungkin aktualisasi paksa dari kernel fantasmis dari keberadaan kita dalam realitas sosial itu sendiri adalah yang terburuk, jenis kekerasan yang paling memalukan, kekerasan yang menafikan basis dari identitas kita (dari citra-diri kita).[10]
Cara lain untuk menjelaskan poin yang sama dari perkosaan – tentang bagaimana si wanita memfantasikan tentang diperlakukan secara brutal tidak mungkin membenarkan perkosaan itu – adalah dengan berfokus pada asimetri radikal antara sadisme dan masokisme.[11] Seperti yang ditekankan oleh Deleuze, guyonan konyol tentang seorang masokis yang meminta si sadis untuk memukulinya dengan kejam, si sadis menjawab dengan senyum sinis; ‘Tidak akan...’, benar-benar tidak memahami poinnya: hubungan antara sadisme dan masokisme bukan hubungan komplementer; dengan kata lain, si sadis dan si masokis jelas tidak membentuk pasangan ideal; hubungan mereka jelas bukan hubungan dimana masing-masing pasangan saling mendapat apa yang mereka inginkan (dimana kesakitan si masokis secara langsung memuaskan si sadis, dan sebaliknya). (Sepanjang masokisme biasanya dipahami sebagai feminin dan sadisme sebagai maskulin, keyakinan bahwa sikap saling melengkapi ini juga cara lain untuk memahami ilusi bahwa ada hubungan seksual). Asimetrinya terletak pada fakta bahwa masokisme tidak sekedar perilaku dan tindakan masokis itu sendiri; ini melibatkan sebuah mise-en-scene disengaja dengan posisi spesifik yang harus ditempati oleh pelaku (misalnya, Domintrix), sebuah posisi yang tidak mungkin sekedar posisi seorang sadis, tapi posisi yang jauh lebih ambigius dari Master yang diperhamba yang, secara kontraktual, menjalankan perintah dari pasangan masokisnya. Mutatis Mutandis, yang sama juga berlaku bagi si sadis, yang inginkorbannya menempati posisi khusus yang jelas bukan subyek yang, sebagai bagian dari kesepakatan, menerima rasa sakit dan menikmatinya – adalah bagian dari kenikmatan sadis bahwa korbannya terpana oleh kengerian dari apa yang tengah berlangsung. Atau – dengan kata lain – pertanyaan pentingnya adalah; yang mana, yang persisnya, merupakan dimensi dari identitasnya yang si korban ingin menerima rasa sakit dan permaluan melalui ritual masokis ini?
Seperti ditekankan Deleuze, dimensi ini berkaitan dengan identifikasi paternal: yang diinginkan si masokis untuk dipermalukan dan disakiti adalah sosok internal dari otoritas (paternal) – bukan Nama-si-Ayah, tapi sosok ayah yang dipermalukan yang memalukan si subyek. Lewat ritual masokis, ‘ayah dalam diriku sendiri’ inilah yang saya coba untuk permalukan. Namun, ini jelas bukan apa yang dimaui oleh si sadis dalam diri korbannya; yang dia inginkan adalah justru tepat kebalikannya: harga diri simbolis ‘yang mulia’ dari subyek. Disini kita bisa melihat dalam artian apa logika laki-laki dimana seorang wanita yang benar-benar diperkosa mendapati fantasinya bisa terwujud adalah hal yang salah; bahkan jika dia benar-benar membayangkan diperkosa, dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dalam pemerkosaan, sebab fantasi masokisnya tidak terwujud.
Karenanya, empat mode dalam menampilkan adegan seksual di film (jarak yang kompulsif dalam The Meaning of Life, tabir fantasmis dalam Ryan’s Daughter dan Reds, noda yang menafikan realitas dalam Angel Heart; manipulasi fantasi secara langsung dalam Wild at Heart) berperan seperti versi lain dari jamban (Jerman, Prancis dan Amerika) yang dibahas di halaman 3-4 diatas; dalam kedua kasus, masalahnya adalah bagaimana kita menempatkan diri dalam ekses (tai, seks). Karena inilah, mudah untuk membayangkan bujur sangkar Greimasian semiotika untuk menjelaskan keempat pola ini: The Meaning of Life dan Reds menampilkan dua pola yang bertentangan dalam menjaga jarak (isolasi-netralisasi kompulsif, dengan kata lain penundaan dari investasi libidinal, versus tabir fantasmis); dalam Angel Heart, kita mendapati tindak seksual dengan semua kengerian yang timbul, setelah penopan fantasmisnya dirampas, sementara dalam Wild at Heart, kita mendapati fantasi yang dirampas tindakannya. Paradoks yang paling krusialnya adalah bahwa kita paling mendekati yang Real dalam Wild at Heart, dimana adegan itu-sendiri tidak terjadi; ketiadaan dari adegan itu dalam kenyataannya mengadapkan kita dengan yang Real dari subyek, dengan kernel terintim dari jouissance-nya.


[1] Sepanjang dorongan terkait dengan hasrat seperti halnya obyek dari subyek, desubyektivisasi ini melibatkan peralihan dari hasrat menjadi dorongan: hasrat diarahkan pada subyek, pada void yang merupakan inti dari subyektivitas liyan; sementara dorongan tidak memperhatikan si subyek seutuhnya, hanya obyek parsial yang berputar disekilingnya (anus, sepatu...)
[2] Judith Butler, ‘The Force of Fantasy’, Differences 2: 2, 1990, p.111
[3] Lihat bab 2 diatas
[4] Lihat bab 1 diatas
[5] Lihat Michel Chion, David Lynch, London: British Film Institute, 1995
[6] Lihat Andre Bazin, Orson Welles: A Critical View, New York: Harper & Row, 1979, p.74)
[7] Saya berhutang untuk bagian ini kepada sebuah obrolan dengan Roman de la Campa, Stony Brook
[8] Fitur penting lainnya adalah dibesar-besarkannya secara teatrikal dalam pelecehan Dafoe terhadap Dern: adegan ini meliputi tatapan ketiga untuk siapa adegan itu dilakukan, seperti teriakan liar dan kasar yang dilakukan Dennis Hopper ketika dia secara brutal melecehkan Isabella Rossellini dalam adegan terkenal dari Blue Velvet – aksi teatrikal Hopper yang konyol juga jelas diarahkan pada pengamat di dalam kloset, pengganti yang jelas dari penonton. Penolakan akhir yang ramah dari Peru terhadap kalimat Dern ‘Setubuhi aku!’ tidak akan bisa dipahami tanpa rujukan terhadap tatapan ketiga ini, dan keseluruhan adegan itu begitu menggelisahkan bagi penonton justru karena dia diwajibkan untuk menempati ruang dari tatapan pihak ketiga -  karena posisinya sebagai saksi secara langsung diimbuhkan di dalam adegan: penolakan terakhir itu berperan sebagai sebuah ‘banyolan bodoh’ yang memicu ketawa aneh di diri penonton (bukan di Dern), melepaskan energi yang dihemat penonton yang tengah disiapkan menghadapi adegan persetubuhan yang seharusnya mengikuti seruan Dern ‘Setubuhi aku!’. Dengan kata lain, adegan ini begitu menggelisahkan bukan karena kita merasa malu atas permaluan yang dialami Dern, tapi karena kita tertangkap basah dalam ekspektasi fantasmis kita sendiri.
[9]  Tentu saja dalam uji coba mental ini, kita telah secara radikal menyederhanakan mekanismenya: relasi antara jenis perilaku intersubyektif, publik tertentu dan penopang fantasmisnya tidak pernah terjadi secara langsung; dengan kata lain kita dengan mudah bisa membayangkan seorang wanita yang agresif dan asetif dalam hubungannyta dengan si pria diam-diam membayangkan tengah diperlakukan dengan brutal; terlebih lagi kita  bisa dengan mudah membayangkan seorang wanita yang tengah berhayal tengah menyerah guna mengaburkan fantasi yang lebih fundamental yang sifatnya jauh lebih agresif... Kesimpulan yang bisa diambil adalah bawa dalam kontaknya dengan manusia lainnya, kita tidak akan pernah bisa yakin kapan dan dengan cara apa kita bisa menyentuh dan mengganggu fantasi pasangan kita.
[10] Cara lain untuk menjelaskan maksud ini adalah menarik perhatian kepada fakta penting bahwa pria yang beneran memperkosa tidak membayangkan tengah memperkosa si wanita – sebaliknya, mereka membayangkan tengah berlaku lembut, menemukan pasangan cinta; perkosaan, lebih, adalah sebuah passage a l’acte yang kejam yang muncul dari ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pasangan semacam itu di kehidupan nyata...
[11] Lihat Gilles Deleuze, Coldness and Cruelty, New York: Zone Books, 1989. Saya berhutang atas bagian ini kepada Renata Salecl, New York.

1 komentar: