Masih seputar gerakan protes global, posting Zizek kali ini adalah transkrip dari ceramah di toko buku St Marks, sebuah toko buku independen di kota New York. Yang menarik dari ceramah kali ini, Zizek membedah reaksi, baik dari proponen maupun skeptis, atas gerakan Occupy melalui kacamata psikoanalisa: khususnya konsepsi Melankoli, Pelarangan [Prohibitions] dan Perkabungan [Mourning] Freudian, dan konsep Lacanian yaitu; obyek hasrat [object of desire] atau sesuatu yang kita hasrati/inginkan dan obyek penyebab hasrat [object cause of desire] atau sesuatu dalam obyek itu yang membuat kita menginginkannya/menghasratinya.
Penjabaran tentang obyek hasrat dan obyek penyebab hasrat ini sebenarnya sangat mumpuni untuk menerangkan berbagai persoalan sehari-hari yang kita hadapi sebagai individu, maupun persoalan yang berdimensi sosial lebih luas. Dalam berbagai kesempatan (ceramah maupun buku, misalnya Looking Awry, How to Read Lacan), Zizek sudah banyak mengupas tentang konsep Lacanian ini, dengan contoh2 memakai budaya populer (film, novel dan sebagainya) serta kadang contoh dari pengalaman roman pribadi dia sendiri yang kadang saru, tapi sangat mudah dicerna. Tapi sayangnya, di ceramah kali ini dia hanya memakai contoh sentimen cinta tanah air ketika kita harus berimigrasi ke negara lain (yang mungkin lebih makmur).
Sementara terkait dengan gerakan Occupy, Zizek memblejeti dengan panjang lebar kritik anti-Occupy yang disampaikan oleh Anne Applebaum. Selain itu, Zizek tetap setia dengan seruannya bahwa dalam gerakan ini, kita tidak boleh, disatu sisi terjebak dalam seruan pragmatis (Oh, naikkan pajak orang kaya, perbesar subsidi pendidikan) dan berharap sistem akan baik-baik saja; tapi disisi lain juga merasa nostalgis dan melankolis:
...ketakutan terbesar saya adalah bahwa gerakan ini pelan-pelan akan menguap dan lantas apa? 10 tahun lagi, anda akan ngumpul dengan teman2, ngebir, dan ‘Ya ampun, asyik banget memang saat itu, tapi sekarang saya harus kembali ke pekerjaan saya sebagai bankir.’
Tapi yang paling menarik bagi saya dalam ceramah ini adalah penekanan Zizek, dan ini sangat khas pandangan Kiri jadul, yang, dalam konteks eksponen gerakan di Indonesia hari ini, masih sangat relevan, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya, atas perlunya Kerja, Kerja, Kerja. Karena dengan telah berhasilnya gerakan ini membuka sebuah ruang kosong [vacuum], dan sudah mematahkan tabu bahwa sistem ini tidak bisa dikritik, tugas berikunya adalah memikirkan dengan serius, bagaimana kita mengisi ruang kosong itu, bagaimana memaknai ulang kerjasama antara intelektual dan rakyat, untuk menghasilkan sistem yang, tidak hanya bisa menggantikan sistem kapitalistik yang ada sekarang, tapi juga tidak dibayangi katastropis sistem abad 20. Dan untuk itu, diperlukan sebuah, memakai konsepsi Kristen, bekerja dengan cinta [work of love], yang memang lambat, penuh kesabaran dan perlu kerja keras.
PS: Thx bung Utche P. Felagonna yang sudah ngasih tahu transkrip ceramah ini.
Saya akan mulai dengan semacam pengamatan historis. Mungkin ada yang tahu, bagaimana sejumlah orang, dan bagi saya orang-orang ini ngawur semua, mulai merayakan event di Wall Street sebagai semacam sebuah bentuk karnaval sosial yang baru: begitu mengasyikkan, disana kita bisa temui semacam organisasi horisontal, tidak ada teror, kita semua bebas, egalitarian, semua orang bisa ngomongin apapun yang mereka mau, dan sebagainya. Seolah ini adalah semacam kembalinya pengalaman karnaval kolektif. Dan kecenderungan ini, lebih daripada disini, sudah muncul, seperti yang sudah anda duga, di daerah Pesisir Barat AS. Beberapa hari yang lalu di Stanford, mereka ngomong ke saya bahwa – minggu sebelumnya, sekitar 9 hari yang lalu – di pusat kota San Fransisco, seorang pria tengah bicara atas nama para pelaku gerakan Occupy, sesuatu yang bunyinya kira-kira begini, “Mereka tanya, apa program dari gerakan ini. Kayaknya mereka gak paham. Kami tidak punya sebuah program. Kami disini cuman untuk bersenang-senang, menikmati pengalaman kolektif yang mengasyikkan,” dan sebagainya dan seterusnya. Dan poin itulah yang ingin saya persoalkan disini. Bagaimana? Begini, saya akan mulai dengan poin yang mungkin mengejutkan: hubungan antara melankoli [melancholy] dan larangan [prohibition]. Maksud saya begini: subyek modern secara paradigmatis adalah bersifat melankolis dan hal yang membuat dia melankolis, obyeknya yang hilang, adalah persis pengalaman karnaval kolektif dan transgresif itu. Misalnya, ada buku yang cukup menarik yang terbit di tahun 2007 karya Barbara Ehrenreich, Dancing in the Streets [Berjoget di jalanan], dimana argumennya adalah bahwa dengan adanya modernitas, bukan pencerahan [renaissance], yang hilang persisnya adalah pengalaman karnaval kolektif ini: kita tidak lagi berdansa di jalanan, kesenangan telah menjadi sebuah hal yang privat, dan seterusnya dan sebagainya.
Yang ingin saya persoalkan disini adalah inti masalah kausalitas implisitnya, yaitu: pertama sesuatu itu dilarang, atau tidak bisa diraih – pengalaman kolektif berjoget di jalanan, apapun – dan kemudian kita menjadi melankolis. Tapi yang terjadi menurut saya adalah kebalikannya. Menurut saya bahwa melankoli muncul duluan dan larangan adalah sebuah cara untuk menghindari kebuntuan dari melankoli.
(Melankoli dan Perkabungan)
Disini kita perlu berhati-hari terkait dengan bagaimana struktur dari melankoli. Pembacaan yang biasanya, secara Judith Butler, adalah bahwa orang yang melankolis adalah lebih radikal, lebih loyal dibanding mereka yang melalui proses perkabungan [mourning]. Poinnya adalah bahwa dalam perkabungan Freudian, ini berarti menerima hilangnya obyek. Perkabungan ini menyimbolkan kehilangan ini dan kita kemudian beralih ke obyek yang nyata. Lantas kenapa? Seorang melankolis tidak mampu meninggalkan obyeknya, dia tetap setia kepada obyek yang hilang itu. Mereka yang kenal dengan karya Judith dalam masalah gender pasti ingat pandangannya. Semacam rehabilitasi etis yang rumit terhadap homoseksualitas baik gay maupun lesbian. Poinnya adalah bahwa obyek pertama dari orientasi libidinal kita adalah orang tua yang berkelamin sama dengan kita.
Kenapa? Harga yang harus dibayar dalam proses menjadi heteroseksual normal adalah bahwa kita mengidentikkan diri dengan obyek yang hilang, dan inilah kenapa kita menjadi subyek yang normatif, seperti seorang wanita mengidentikkan diri terhadap femininitas ibu, seorang putra terhadap maskulinitas ayahnya. Dan inilah kenapa, kita menerima kehilangan ini karena kita sendiri mengidentikkan diri dengan obyek yang hilang ini dan karena itu kita lantas bisa menjadi normal (secara orientasi seksual). Judith membahas ini dengan detil dibukunya, yang menurut saya mungkin adalah buku terbaik di antara karya2nya, The Psychic Life of Power. Dan kemudian menurutnya bahwa gay adalah disini sedikit terlalu etis. Mereka tidak bisa menerima kehilangan itu, dari obyek primordial itu.
Nah, disinilah saya melihat banyak persoalan. Pertama adalah, anda tahu bahwa teori dasar Butler mengenai gender adalah bahwa gender itu bukanlah sesuatu yang alami [natural], identitas gender kita dikonstruksi melalui praktek performatif, direka-ulang, dan sebagainya dan seterusnya. Pertanyaan naif pertama saya adalah: jika ini memang benar, lantas bagaimana seorang anak mengidentikkan diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sebelum berlangsungnya identifikasi performatif apapun? Ini seolah si anak entah bagaimana sebelumnya sudah mengalami perbedaan seksual, dari ayah, ibu... okay, ini mungkin masalah yang berbeda.
Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa saya ingin mempersoalkan konsep dasar dari melankoli. Menurut saya, yang bisa membantu adalah kalau kita kembali ke Freud yang jadul, yang hari ini mempunyai signifikansi politik. Yaitu jika kita membaca secara seksama karya Freud Mourning and Melancholy, dia justru menyatakan sesuatu yang hampir persis kebalikannya. Maksud Freud bukan bahwa subyek melankolis lebih setia terhadap obyek – sama sekali bukan. Dia bilang sesuatu yang menarik: dia bilang bahwa melankoli adalah sesuatu seperti perkabungan di muka. Seorang melankolis memperlakukan obyek orientasi libidinalnya layaknya sebagai obyek yang hilang, padahal obyek itu masih ada.
Dan saya bisa tunjukkan – maksud saya ada contoh yang menarik. Misalnya, dari literatur: pasangan Countess Olenska dan Newland dalam karya Edith Wharton The Age of Innocence. Kenapa hubungan pasangan itu pada dasarnya melankolis Freudian? Sebab, dengan cara yang menarik, hal itu bisa menjelaskan paradoks dari melankoli; meskipun pasangan itu masih tetap tinggal bersama, mereka memperlakukan satu sama lain seolah sudah berpisah, maksudnya, bayangan bahwa nantinya mereka akan kehilangan satu sama lain itu sudah ada disini, sekarang, sebagai bagian dari hubungan mereka. Lantas, bagaimana perkabungan di depan ini – perkabungan akan obyek yang masih ada disini – berlangsung? Disini kita sampai pada perbedaan penting yang digagas oleh Lacan antara obyek hasrat [object of desire] – obyek yang kita inginkan – dan obyek penyebab hasrat [object cause of desire] – apa yang membuat kita menginginkan sebuah obyek.
Saya kira, disini kita sudah bisa mengambil kesimpulan: maksud Lacan adalah bahwa apa yang terjadi dalam melankoli bukan kita kehilangan obyeknya; obyeknya masih ada, tapi hasrat kita akan obyek itu sudah hilang; kita kehilangan obyek penyebab hasrat. Semuanya masih ada, hanya saja kita sudah kehilangan hasrat terhadap obyek itu. Jadi, obyek sebenarnya yang hilang dalam melankoli adalah hasrat ini, dan saya kira ini bisa pas menjelaskan sebuah paradoks yang subtle, karena kita sedang ada di AS, negara yang kerap dianggap sebagai sebuah titik berkumpul [melting pot], dari berbagai identitas Eropa – atau Afrika, Asia, apapun – yang telah hilang. Misalnya anda memutuskan pergi ke AS dan sedih karena meninggalkan tanah air anda yang sebelumnya. Sebenarnaya apa yang membuat anda bersedih? Menurut saya, bukan dalam artian, ‘Ya ampun, aku tidak akan pernah lagi melihat negeriku sendiri’; tapi sesuatu yang lebih menarik, saya kira. Yaitu bahwa anda diam-diam menyadari bahwa setelah 10, 20 tahun tinggal di AS, nantinya anda akan tidak lagi merindukan negeri anda. Anda akan kehilangan hasrat atas negeri anda itu. Dan inilah horor yang sebenarnya.
Lagi, menurut saya, melankoli terjadi bukan ketika kita kehilangan obyek, tapi justru ketika obyek itu masih ada, tapi kita kehilangan hasrat atas obyek itu. Inilah kenapa subyek cogito filosofis modern adalah subyek yang sangat melankolis. Semuanya masih ada, tapi kita tidak lagi menginginkannya. Dan karena itu saya berpendapat bahwa inilah enigma dari modernitas. Bukannya semacam etika protestan yang melarang entah apa. Tapi bahwa kita sudah kehilangan hasrat, dan larangan kemudian muncul – persisnya sebuah upaya sekunder yang sia-sia untuk mengembalikan lagi hasrat itu. Seperti trik St. Paul, dimana jika kita kehilangan sesuatu, lantas kita melarangnya, maka lantas mungkin kita akan bisa menginginkan obyek itu kembali. Jadi saya kira inilah bagaimana kita seharusnya memahami kehilangan dari bentuk pra-modern enjoyment kolektif ini. Bukannya karena hal itu dilarang, tapi karena itu memang sudah hilang, sejak sebelum itu terjadi.
Lantas kenapa ini penting? Sebab saya kira kita perlu memperlakukan perilaku nostalgis dan hippies terhadap gerakan Wall Street ini, persis sebagai sebuah contoh dari melankoli yang palsu, dan keliru ini; seolah-olah kita akabn bisa mendapatkan kembali perasaan kolektif ini. Saya kira, persis karena alasan inilah maka ini adalah melankoli yang palsu.
Kenapa? Ijinkan saya sedikit mengkritik reaksi tertentu terhadap Wall Street. Simbol dari Wall Street adalah patung kebo [bull] yang terbuat dari logam, pas ada di tengah2. Dan saya kira, bagi sejumlah orang, meskipun gak terlalu banyak, saya pernah baca entah dimana, mereka memakai perumpamaan ini dengan utak-atik kata yang nakal, yaitu taik-kebo [bullshit]. Dan bukankah emang kita dapat taik-nya kebo, kan?
(Tanggapan Zizek terhadap Anne Applebaum)
Nah, sementara reaksi standar Wall Street sendiri terhadap gerakan OWS sudah bisa diduga, sebuah omong kosong vulgar, saya ingin menarik perhatian anda kepada reaksi yang lebih cerdas, namun pada saat yang sama justru lebih menyedihkan; penolakan kritis terhadap Wall Street’; sebuah penolakan yang sangat liberal dan canggih; yang dilakukan beberapa hari yang lalu oleh Anne Applebaum, seorang wanita yang menulis buku soal Gulag dan sebagainya. Lagi, dia memakai argumen yang sangat canggih. Dia bahkan, dengan cara yang hambar dan hampir meyakinkan, dia mengingatkan akan film Monty Phyton, The Life of Brian, dimana Brian, sosok Kristus baru, berseru kepada massa, ‘Kalian adalah pribadi yang bebas!’ dan kemudian massa membalas, berteriak bersama, ‘Ya kami adalah individu yang bebas!; mengklaim bahwa pengulangan yang saya lakukan ini mengingatkannya akan adegan itu.
Okay, tapi saya kira, reaksinya terhadap hal ini, dan disini saya akan bacakan dua paragraf panjang; menurutku itu layak dikutip. Ini adalah ideologi dalam bentuknya yang paling murni, justru karena cara mereka membuat argumennya tampak meyakinkan. Jadi sekali lagi, landasan bagi kesimpulan Applebaum adalah bahwa jenis protes seperti OWS di seluruh dunia adalah:
...serupa dalam hal kurangnya fokus, dalam sifatnya yang membingungkan, dan paling penting, dalam penolakannya untuk terlibat dalam lembaga demokratis yang ada. Di New York, para pendemo berseru, “Ya inilah demokrasi,” tapi sebenarnya, demokrasi tidak seperti itu. Itu adalah bentuk kebebasan berbicara. Demokrasi terlihat jauh lebih membosankan. Demokrasi perlu kelembagaan, pemilu, partai politik, aturan, hukum, yudisial, dan banyak kegiatan yang tidak-glamor dan menghabiskan banyak waktu...
Dan, dia melanjutkan:
Dalam artian tertentu, bisa dipahami kenapa gerakan Occupy Internasional gagal menghasilkan suatu usulan legislasi yang berbobot: baik sumber dari krisis ekonomi global maupun solusinya terletak, secara definisi, diluar kompetensi dari politisi lokal dan nasional...
Munculnya gerakan protes internasional tanpa sebuah program yang koheren, karena itu, bukan sebuah kebetulan; ini mencerminkan krisis yang lebih mendalam, krisis tanpa solusi yang jelas. Demokrasi didasarkan pada supremasi hukum. Demokrasi hanya bekerja didalam batasan yang jelas dan diantara rakyat yang dirinya sendiri merasa bagian dari bangsa yang sama. Sebuah ‘komunitas global’ tidak bisa sebuah demokrasi nasional. Dan sebuah demokrasi nasional tidak bisa menarik dukungan dari perusahaan penanaman modal berkekayaan miliaran-dolar, yang berkantor pusat di berbagai wilayah bebas pajak [tax haven] dan karyawannya tersebar diseluruh dunia.
Berbeda dengan rakyat Mesir di Lapangan Tahrir, yang para pendemo di New York secara terbuka (dan secara konyol) sering menyamakan diri, kita punya lembaga demokratis di Barat. Sistem ini disusun untuk mencerminkan, setidaknya secara umum, hasrat bagi perubahan politik di sebuah negara tertentu. Tapi sistem ini tidak bisa memenuhi tuntutan atas keinginan global bagi perubahan politik, tidak juga mereka bisa mengontrol hal-hal diluar wilayah perbatasan teritorial mereka. Sekalipun saya masih percaya terhadap globalisasi ekonomi dan manfaat spiritual – disamping juga perbatasan yang terbuka, kebebasan untuk berpindah dan berusaha – globalisasi jelas telah mulai menafikan legitimasi dari demokrasi Barat.
Para aktivis ‘global’, jika mereka ceroboh, akan mempercepat kehancuran ini. Para pendemo di London berseru, ‘Kita perlu sebuah proses!’ Nah, mereka sudah punya proses: namanya sistem politik Inggris. Dan kalau mereka tidak mau belajar cara menjalankan sistem itu, mereka justru akan memperlemahnya.
Pendapat seperti ini, bagi saya, berarti penulisnya pantas dikirim ke Gulag. Kenapa? Saya jelaskan. Pertama, yang perlu kita catat, lihat bagaimana Applebaum mereduksi protes di Lapangan Tahrir sekedar sebagai seruan untuk membentuk demokrasi gaya-Barat. Seolah, mereka menginginkan apa yang kita punya disini. Kalau kita berpandangan seperti itu, tentu saja menjadi konyol jika kita membandingkan protes di Wall Street dengan event di Mesir. Bagaimana mungkin para pendemo disini menuntut sesuatu yang sudah kita punyai? Dengan kata lain, kelembagaan demokratis? Yang hilang dari pendapat ini – dan karena itu kenapa saya menentangnya – adalah kekecewaan umum terhadap sistem kapitalis global yang jelas-jelas mempunyai wujud yang berbeda-beda disana sini. Karena itu, saya pikir dia tidak paham apa yang terjadi.
Meskipun berbeda, protes disini, di Eropa bagian Selatan, di Mesir, dimanapun; yang menyatukan mereka adalah justru bukan politik dalam artian sempit, yaitu, misalnya menuntut demokrasi yang lebih luas, atau apapun. Mereka justru menandai semacam kekecewaan global yang dirasakan bersama terhadap sistem yang kapitalistik. Dan sekarang saya sampai ke poin penting: bagian yang paling mengejutkan dari argumentasi Applebaum, gap yang sangat aneh dari pemaparannya, terjadi di akhir dari kutipan yang saya bacakan barusan. Setelah mengakui bahwa konsekuensi ekonomi yang kacau dari penanganan keuangan kapitalis global terjadi akibat karakter internasional mereka sudah berada diluar kendali mekanisme demokratis, tidak ketinggalan dia memperjelas poin ini: yang terjadi di level kapital internasional begitu saja keluar dari kendali mekanisme2 demokratis. Dan dari sini dia menarik sebuah kesimpulan. Disini, kita bisa sependapat dengan dia, saya kutip lagi: ‘Globalisasi’ – maksudnya globalisasi kapitalis – ‘jelas mulai menafikan legitimasi demokrasi Barat’.
Karena sekali lagi, yang tengah terjadi disini telah keluar dari kendali dari, setidaknya, proses demokrasi yang normal. Okay, sejauh ini kita sependapat dengan dia karena memang persis masalah inilah yang coba diangkat oleh para pendemo Occupy, bahwa kapitalisme global telah menafikan potensi demokrasi. Tapi, bukannya lantas dilanjutkan dengan satu-satunya kesimpulan logis yang lebih jauh, bahwa kita harus mulai berpikir untuk mengembangkan demokrasi melebihi forum politik multi partai-negara, yang jelas-jelas menimbulkan konsekuensi merusak terhadap kehidupan ekonomi; bukannya kesimpulan itu, Applebaum tiba-tiba secara aneh berbelok dan dia justru ganti menyalahkan para pendemo sendiri, yang justru telah mengangkat persoalan ini.
Paragraf terakhir dari tulisannya perlu dikutip lagi. Dengarkan.
“Para aktivis ‘global’, jika mereka ceroboh, akan mempercepat kehancuran ini. Para pendemo di London berseru, ‘Kita perlu sebuah proses!’ Nah, mereka sudah punya proses: namanya sistem politik Inggris. Dan kalau mereka tidak mau belajar cara menjalankan sistem itu, mereka justru akan memperlemahnya.”
Jadi, logika yang dia pakai disini, karena ekonomi global telah berada diluar jangkauan politik demokratis, upaya apapun untuk memperluas demokrasi hanya akan mempercepat penurunan demokrasi. Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Ingat, katanya, kita harus terlibat dalam sistem politik yang ada. Tapi tunggu dulu. Di paragraf diatas, dia bilang bahwa justru sistem ini tidak bisa berfungsi. Jadi, kesimpulan dia sungguh aneh. Inti dari kesimpulannya adalah ndak ada yang bisa kita lakukan. Kita sudah punya demokrasi. Kalau kita meyakininya, maka kita harus menerima bahwa gerakan kapital global, dan sebagainya, berada diluar jangkauan sistem ini. Kalau kita hendak mengupayakan sesuatu yang lebih, maka demokrasi tidak lagi bisa berfungsi. Namun disinilah, saya kira, kita perlu memakai logika ini sampai ke titik akhirnya, bahkan dalam bentuk anti-kapitalisme.
Hari ini kita tidak kekurangan sentimen anti-kapitalisme. Bahkan kita tengah menyaksikan luapan kritik atas kapitalisme. Buku2, koran2, di liputan yang in-depth, laporan di TV. Maksud saya, kita bahkan tidak bisa membuka koran tanpa membaca tentang, misalnya: perusahaan anu mencemarkan lingkungan; para bankir koruptor terus menerima bonus gila2an meskipun bank mereka ditalangi oleh dana publik; pabrik anu memakai buruh anak-anak dibawah umur, dan sebagainya.
Namun, ada yang unik dari banjir kritik terhadap kapitalisme ini. Apa yang, kayak jadi aturan, tidak boleh diungkit dari berbagai kritik ini adalah bingkai politik liberal, demokratis dari ekses sistem ini. Tujuan eksplisit atau implisitnya adalah untuk mendemokratiskan kapitalisme. Yang saya maksudkan disini bukan untuk berpikir secara mendalam tentang demokrasi kita, tapi sekedar memperluas konsep standar sikap politik, politik partai, demokrasi perwakilan menjadi demokrasi yang lebih intervensionis. Memperluas kontrol demokratis atas ekonomi melalui tekanan media massa, penyidikan di parlemen, hukum yang lebih tegas, penyelidikan kepolisian yang lebih jujur, dan sebagainya. Tapi tidak pernah mempersoalkan framework kelembagaan demokratis itu sendiri. Framework ini tetap diperlakukan layaknya sesuatu yang sakral, bahkan oleh gerakan yang paling radikal sekalipun, yang saya sebut, anti-kapitalisme etis – Gerakan Seattle, Porto Allegre, dan sebagainya. Menurut saya, moralisme mereka, sama halnya dengan para bankir yang tamak, perusahaan yang tidak-jujur itu, adalah pertanda dari kekurangan mereka.
Disinilah pendapat kunci Marx tetap valid hari ini, bahkan saya kira, lebih relevan dari sebelumnya. Bagi Marx, dan ini bagi saya adalah pelajaran sejati dari protes Wall Street, persoalan kebebasan seharusnya tidak sekedar diletakkan dalam bingkai ranah politik: Apakah sebuah negara punya pemilu yang bebas? Apakah hakimnya independen? Apakah pers bebas dari tekanan tersembunyi? Apakah hak asasi manusia dihormati? Dan pertanyaan2 serupa, yang diterapkan oleh Barat ketika mereka mau melakukan penilaian atas kualitas politik sebuah negara.
Kunci dari kebebasan yang aktual justru terletak dalam hal yang apolitis, dalam apa yang tampaknya apolitis, yaitu jaringan relasi sosial, dari pasar sampai keluarga. Dimana perubahan yang diperlukan jika kita ingin perbaikan yang nyata bukanlah reformasi politik, namun perubahan dalam relasi sosial apolitis dalam hubungan produksi.
Karena itu, Anne Applebaum mungkin benar. Kita memang tidak bisa memilih dalam pemilu untuk menetapkan siapa yang memiliki apa, tentang relasi kerja di pabrik, dan sebagainya. Semua ini tergantung pada proses diluar ranah politik. Dan adalah ilusi untuk mengharapkan kita bisa secara efektif merubah segala sesuatu dengan sekedar memperluas demokrasi parlementer kita guna mencakup ranah ini, misalnya, dengan mengorganisir bank2 demokratis dibawah kepemilikan rakyat. Perubahan radikal dalam domain ini seharusnya dilakukan diluar ranah hak hukum. Prosedur demokrasi semacam itu, tentu saja, bisa memainkan peran yang sangat positif. Tidak peduli seberapa radikal sikap anti-kapitalisme mereka, solusi yang mereka inginkan terletak dalam menerapkan mekanisme demokrasi perwakilan. Tapi, sekali lagi, disini Applebaum benar, kapitalisme memang berada diluar kendali politik; ranah ekonomi dan sebagainya.
Hanya dalam artian ini, dan disini jangan salah memahami apa yang saya maksud, menurut saya Alain Badiou tepat ketika dia berpendapat bahwa hari ini – ini terdengar mengerikan – nama dari musuh kita, tulisnya, bukanlah kapitalisme, imperium, eksploitasi atau semacamnya, nama dari musuh kita hari ini adalah demokrasi. Nah, mungkin anda akan bilang, “hahaha, kena kau, dasar totalitarian!’. No no no, sama sekali bukan itu. Saya kira, apa yang mau dikatakan Badiou adalah bahwa keterikatan kita yang terlalu buta terhadap mekanisme partai, demokrasi formal telah mencegah kita mendekati masalah yang sebenarnya. Jadi, sekali lagi, saya kira apa yang dipahami Applebaum sebagai fakta adalah, “Tidak ada yang bisa kita lakukan, itu saja’. Inilah yang persis saya kira sebagai titik awal dari ketidak-puasan mendalam yang lantas meledak dalam semua sentimen anti- protes Wall Street ini.
Bahwa mereka merasa bahwa kita sudah panya sebentuk sistem multi-partai, dan jelas-jelas kita tengah menjadi saksi dari sebuah fenomena yang berbahaya, bahkan katastropis, dalam bidang ekonomi, sementara jelas-jelas jenis sistem demokrasi yang ada, apa yang berlaku saat ini, tidak bisa mengatasinya: karena dia mengandung persis dualitas yang dengan menarik ditekankan oleh Applebaum ini, yaitu dualitas antara ranah politik dimana kita semua merasa bebas namun kita harus menaati aturan, prosedur demokrasi yang benar; dan ranah ekonomi dimana kepemilikan pribadi ditanggalkan. Sehingga gamblang bahwa tugas mendesak hari ini adalah justru untuk mencari cara mengatur atau mengontrol – saya benci dengan istilah kontrol – ranah ekonomi ini, tentunya tanpa kita harus kembali ke model dan praktek totalitarian abad 20.
Jadi saya kira yang dikeluhkan oleh Applebaum, “oh, protes2 ini tidak dirumuskan dengan jelas, mereka tidak tahu apa yang mereka sendiri inginkan.’ Disini kita perlu sejenak kembali ke psikoanalisa. Ini adalah dialog tipikal antara suami patriarkis dan istri yang histeris. Si istri mengeluh, tentu saja dengan cara yang gak jelas, dan tanggapan standar chauvinis lelaki biasanya adalah, ‘ngomong yang jelas, maunya apa?’ Tentu saja ini adalah bentuk penindasan yang paling murni. Ini berarti ‘Kalau ndak menyampaikan dengan jelas, ya diam!’
(Perlunya mempertahankan Ruang Kosong yang dibuka oleh Protes Wall Street)
Bill Clinton dengan manis menyampaikan sebuah tanggapan yang simpatik terhadap pemrotes Wall Street – yang inilah kenapa saya kira Bill Clinton sedang menerapkan strategi memiting [clinching]; tahu kan memiting itu apa, anda mengunci musuh anda kan? Kayak, oke, kita memang perlu ngomong, tapi tunjukkan, bilang, beri kami usulan yang kongkret, kalian maunya apa? Ya, jawaban sederhana saya adalah bahwa – dan Bill Clinton tanpa sadar sudah menyatakannya, “karena tuntutan kalian telah membuka sebuah Ruang Kosong [vacuum], dan kalau kalian tidak segera membawa usulan kongkret untuk mengisi ruang kosong ini, entah siapa nanti yang akan mengisinya?”
Tapi dititik ini, saya kira, justru kita harus mempertahankan ruang ini ke semua arah yang mungkin. Kita tidak perlu dialog dengan mereka yang berkuasa. Kita perlu dialog kritis dengan diri kita sendiri. Kita perlu waktu untuk berpikir. Kita praktis tidak tahu apa-apa. Dan tidak seorangpun yang tahu. Disatu sisi, kita perlu menolak gagasan pseudo-Maois – karena bahkan Mao sendiri tidak pernah sebodoh itu – murahan, “Belajar, belajarlah dari rakyat, Rakyat tahu.’ Tidak, mereka tidak tahu. Apakah kami kaum intelektual tahu? Kami juga tidak tahu. Maksudku, siapapun intelektual yang bilang, ‘Okay, sekarang orang pada bingung, tapi aku punya rencana yang ampuh dan siap dijalankan,’ pasti mereka cuma nggombal. Kita tidak tahu sekarang kita tengah berada dimana.
Tapi saya kira ruang terbuka ini adalah justru apa yang bagus dari gerakan protes ini. Ini berarti bahwa sebuah ruang kosong tertentu telah membuka ketidak-puasan mendasar terhadap sistem ini. Ruang kosong ini sama saja dengan ruang terbuka untuk berpikir, akan kebebasan baru dan sebagainya. Kita tidak perlu tergesa-gesa mengisi ruang kosong ini. Karena satu-satunya cara untuk mengisinya adalah kalau tidak dengan pemikiran utopian bodoh – kita perlu mendirikan Partai Leninis kembali, bla..bla..bla..’, atau dengan pendekatan pragmatis: ‘naikkan pajak orang kaya sebesar 2%, atau semacamnya’. Okay, tentu saja saya tidak menentang yang kedua, tapi ya ampun, ini bukan solusi, paham kan maksud saya?
Sistem ini tengah mengalami krisis, dan hal yang terpenting adalah justru terbukanya ruang kosong ini. Dan kalau sejumlah orang mengalami ini sebagai sebuah teror, sesuatu yang mengandung kekerasan, ‘Nah kan, mereka bahkan tidak mau bicara dengan kita’, justru itu intinya, saya suka dimensi bengal ini, maksudku, ‘Kalian ingin berdialog dengan kami, gak usah deh!’. Di titik inilah, tanpa dialog, kita bisa terus membuka situasinya.
Lantas, siapa yang tahu? Kalau baik intelektual maupun yang disebut rakyat biasa sama-sama tidak tahu. Yang akan saya lakukan disini adalah mengusulkan sebuah solusi. Bukan, bukan sebuah solusi dalam artian tawaran program, tapi sebuah metafora. Ada sebuah buku, yang saya sarankan anda membelinya, oleh seorang penulis Soviet favorit saya – yang tentu saja seorang pembangkang dan bukunya tidak banyak beredar, dan ada dibelakang sana, di meja New York Public Library – saya membelinya beberapa minggu yang lalu, di sebuah toko buku diskon. Buku itu ditulis oleh Andrei Platonov, seorang penulis Rusia yang luar biasa, yang diberi penutup oleh John Berger, seorang penulis progresif Eropa yang ternama. Merujuk ke semua bentuk protes ini, sekalipun dia merujuk kepada protes yang dulu-dulu, tapi menurut saya analisisnya sangat mengena. Berikut yang ditulisnya, saya kutip: Multitude [massa, barisan, rakyat] – ini yang saya tidak suka, harus disensor, kedengarannya (Antonio) Negri banget:
Multitude memiliki jawaban atas pertanyaan yang belum diajukan, dan mereka memiliki kapasitas untuk hidup di luar tembok.
Pertanyaannya belum diajukan sebab untuk itu akan perlu kata2 dan konsep2 yang kedengarannya benar, dan yang saat ini dipakai untuk menamai event yang sekarang tak lagi bermakna: demokrasi, kebebasan, produktivitas, dsb.
Dengan konsep baru, pertanyaannya akan segera diajukan, karena sejarah justru meliputi proses mempertanyakan semacam itu. Segera? Dalam satu generasi.
(Rakyat Biasa)
Yang saya sukai dari gagasan ini adalah bahwa itu membalik relasi yang biasanya antara punggawa [avantgarde] intelektual dan rakyat biasa; ‘rakyat biasa itu bodoh, kita tidak.’ Menurut pandangan ini ‘Kami tidak tahu yang kami inginkan. Kami bertanya pada intelektual, dan dia akan menjawab’. Disini, kalau kita perhatikan, justru kebalikannya. Ini persis seperti dalam penanganan psikoanalitis. Rakyat biasa punya jawabannya, bahkan, mereka sendirilah jawabannya. Seperti sebuah symptom [gejala negatif]. Yang tidak mereka ketahui adalah atas pertanyaan yang mana bahwa ternyata mereka adalah jawabannya. Mungkin inilah yang kita intelektual ketahui.
Maksudku, kita disini perlu merujuk kepada poin menarik oleh Claude Levi-Strauss, terkait dengan larangan inses. Dimana dia bilang, tidak, pelarangan inses bukan sebuah enigma dalam artian kita tidak tahu apa itu sebenarnya. Dia bilang, pelarangan inses adalah sebuah jawaban, tapi kita tahu atas pertanyaan yang mana dia sebagai jawaban. Dan saya kira inilah bagaimana, kalau kita melihat gerakan protes dengan cara ini, saya kira kita intelektual tidak menggurui [patronizing] para pendemo di lapangan yang non-intelektual. Kita seharusnya – cara menggurui yang paling buruk adalah dengan mendukung mereka sebagai ‘oh, kebajikan dari rakyat biasa, seperti Mao di akhir 1950an di China, yang memerintahkan, ‘Pergilah, dan belajar dari para petani,’ dan semacamnya. Maksudku, begitu seorang pemimpin bilang seperti itu, ini selalu berarti, ‘belajarlah dari rakyat, tapi kami di komite pusat partai lebih tahu apa yang diinginkan rakyat’. Jadi, jangan menggurui rakyat.
(99% yang sejati)
Mulailah mengajukan pertanyaan kritis, seperti Udi Aloni, yang mungkin entah ada dimana tengah menohok saya dari belakang, saya kira, dia telah menarik perhatian saya terhadap istilah 99% ini. Kita adalah 99%, kalian musuh adalah 1%. Maksudnya bukan hanya berapa banyak rakyat Amerika yang benar-benar mengakui para pemrotes ini sebagai bagian dari 99%. Yang lebih menarik bagi saya adalah, Siapa sajakah para 99% ini? Bukan hanya di Wall Street. Apakah para pemrotes Wall Street? Mungkin saja iya. Tapi saya mau tanya, apakah mereka siap mengakui bahwa anggota 99% yang sejati tidak hanya mereka, rakyat Amerika yang merasa tidak puas, tapi juga rakyat miskin, mis di Somalia, Kongo, pendeknya di seluruh dunia. Mereka inilah yang merupakan anggota sejati dari 99%.
Misalnya, kalau anda memang sudah memenangkan pertempuran disini, maksud saya bukan kita lantas diam saja membiarkan diamnya pihak lain dan tidak berbuat apa-apa. Ada pertempuran lain yang harus dihadapi. Seperti, yang sudah saya tulis di buku saya yang terdahulu tentang daftar negara-negara yang mulai menguasai tanah dinegara2 berkembang. Dari yang saya baca baru-baru ini, fenomena ini tengah menggila. Ambil contoh sebuah negara yang sekarang tengah dilanda kelaparan, Ethiopia. Tahu ndak bahwa disana perusahaan2 Barat memborong banyak lahan yang subur, dan lebih parahnya lagi, lihat saja betapa rapuhnya situasinya. Maksudku, di Ethiopia, disana ada sumber air dari Sungai Nil. Dan karena keseimbangan dari tiga negara, Ethiopia, Sudan, dan khususnya Mesir, tergantung pada kesepakatan bahwa, kalau saya tidak salah, saya tidak yakin, sejak jaman kolonial, bahwa rakyat Ethiopia tidak boleh memakai persentase tertentu (yang jumlahnya rendahan) dari air sungai Nil, sebab kalau mereka melakukan itu, maka Mesir akan menerima konsekuensi yang tidak terduga.
(Sebuah Dunia Baru yang Multi-Sentris)
Nah, sekarang ini mulai terjadi. Perusahaan – dan bahkan saya tidak menyalahkan anda, rakyat Amerika disini; tidak, saya kira kita memasuki sebuah dunia baru yang multi-sentris. Maka, ini mungkin mengejutkan kalian; anda hari ini tidak selalu otomatis menjadi tokoh penjahat-nya di dunia. Saya tidak membenci Amerika Serikat. Penjahatnya hari ini adalah Emirat Arab, India, China, Korea Selatan: negara-negara ini adalah yang terburuk. Mereka hari ini gila2an memborong tanah. Baru-baru ini mereka membeli sebuah petak tanah yang sangat luas di Ethiopia, negara dimana di bagian lain negeri itu hari ini mengalami kekeringan dan kelaparan massal. Menjajahnya, pecat petani lokal, budidayakan tanaman ekspor, dan sebagainya. Dan ini berlangsung dengan skala yang luar biasa masif.
Mungkin saya bisa paham seandainya ini terjadi – mungkin saja, saya tidak yakin, tapi dengan syarat – di negara2 seperti Brazil atau Argentina dimana setidaknya mereka memiliki cukup air dan tanah yang subur, yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Tapi di negara2 seperti – saya tidak tahu semua dimana saja ini berlangsung, mungkin: Kenya, Somalia, Ethiopia, Mozambique, dan sebagainya: ini adalah sebuah katastropis. Nah, banyak terdapat perjuangan yang harus dijalani, tapi tetap saja, pesan saya adalah: sekarang waktunya untuk berpikir. Bersabarlah.
(Tabu)
Dan lagi, hal yang penting disini adalah menghindari dualitas dari disatu sisi ‘oh, kita tengah menikmati suasana, gak usah mikirin konsekuensinya’ atau disisi lain, seruan murahan berupa pragmatisme. Yang penting disini adalah tabu-nya sudah dipatahkan. Kita tahu bahwa sistem ini tenghah mengalami krisis yang serius. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa abad 20 sudah berakhir tidak hanya dalam artian penanggalan. Dengan kata lain, bahwa solusi abad 20 – komunisme Stalinis, demokrasi tradisional dan sebagainya – tidak bisa berfungsi. Ada tanggungjawab yang harus dikerjakan, dan saya kira hanya bisa dilakukan melalui interaksi yang dimurnikan [purified] antara intelektual terdidik dan apa yang disebut rakyat biasa, dimana kita (intelektual) seharusnya tidak bertindak sebagai – memakai teori Lacanian – subyek yang seharusnya tahu.
Yang kita bisa kita lakukan adalah menyediakan alat untuk merumuskan pertanyaan yang tepat. Dan dengan interaksi dengan tuntutan yang tampaknya tanpa-bentuk dari rakyat ini, mungkin ada harapan bahwa akan muncul sesuatu yang baru. Sebab, tahu ndak, apa yang selalu – dan ini saya tekankan, yang selalu, ya maaf-maaf saja, mungkin beberapa dari anda sudah pernah dengar istilah yang menarik ini; yang mengkhawatirkan bagi saya adalah pandangan bahwa ‘oh, sekarang kita mengalami karnaval yang mengasyikkan ini.’ Ya, tapi persetan, yang menarik bagi saya adalah bagaimana dengan keesokan harinya. Ketakutan terbesar saya adalah bahwa gerakan ini pelan-pelan akan menguap dan lantas apa? 10 tahun lagi, anda akan ngumpul dengan teman2, ngebir, dan ‘Ya ampun, asyik banget memang saat itu, tapi sekarang saya harus kembali ke pekerjaan saya sebagai bankir.’ Seseorang harus membayangkan hal ini. Proses berpikir harus dimulai. Dan sekali lagi, ini perlu kesabaran. Ini adalah persis – maaf saja, mungkin bagi sebagian anda ini adalah sesuatu yang aneh – apa yang dalam ajaran Kristen disebut sebagai bekerja dengan cinta, yang memang lambat, penuh kesabaran dan perlu kerja keras.
(Pakta Zionisme yang Aneh)
Dan yang pertama perlu kita lakukan adalah mengenali apa yang terjadi disini sekarang dalam konteks global, seperti orang yang ingin menikam saya dari belakang, kawan baik saya Udi Aloni, yang baru saja menulis buku, saya sarankan kalian membacanya, What Does a Jew Want? [Apa Yang Diinginkan Orang Yahudi] Ini adalah karya kolektif dengan Alain Badiou, Judith Butler, dan sejumlah pemikir tidak terkenal lainnya [seperti saya: Zizek], dimana ini adalah sesuatu yang sangat menarik karena mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, namun – dan ini ajaibnya – lewat sudut pandang spiritualitas Yahudi. Argumennya bukan ‘oh, kita harus menahan diri’; tidak, ini adalah wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana bahwa ternyata apa yang hari ini terjadi di Timur Tengah dengan politik Zionis baru; yang pada akhirnya akan menjadi korban adalah orang Yahudi sendiri. Tidak dalam artian bahwa mereka akan disingkirkan oleh orang Arab, tapi dalam artian bahwa justru substansi spiritual Yahudi akan berubah.
Sesuatu yang mengenaskan tengah terjadi. Apa? Apakah kalian tahu tentang bajingan tengik bernama Breivik di Oslo? Menembaki orang. Baca saja – saya tidak, tapi teman2 saya mengirim beberapa kalimat – manifestonya. Dan kalian akan mendapati sesuatu yang sangat aneh. Bagi saya, dia adalah perwujudan dari sesuatu yang sangat jahat. Sosok dari agen politik Zionis yang anti-semitis. Di satu sisi, Breivik sepenuhnya pro- Zionis. Dia bilang bahwa Israel harus menguasai Tepi Barat, Israel adalah pelindung kita melawan invasi Arab, bla...bla...bla... Pada saat yang sama, begitu kita berpindah ke negara2 Eropa dan Amerika, dia adalah subyek anti-semitis jadul. Dia menulis bagaimana di Prancis dan Eropa Barat, dimana tidak terlalu banyak orang Yahudi, tidak terjadi banyak masalah; tapi di Inggris, khususnya di Amerika Serikat, dimana ada 60 juta orang Yahudi, itu adalah masalah yang harus kalian atasi.
Nah, anda bisa melihat paradoksnya disini. Anda bisa saja bilang ini adalah khas kebodohan Eropa, tapi versi anda dari Breivik adalah Glenn Beck. Maksud saya, pertama dia dipecat dari Fox News karena komentar anti-semitis, tapi pada saat yang sama dia secara tanpa-syarat sangat pro-Zionis. Bagi saya tragedi dari sikap politik negara Israel adalah bahwa tampaknya dia menerima pakta aneh dengan, misalnya, fundamentalis Kristen. Maksud saya, saya mulai menyadarinya ketika tahu bahwa fundamentalis Kristen di AS mulai – dan ini adalah sebuah fenomena baru, kalau tidak salah ingat, mulai ada 10 atau 20 tahun silam – mendukung sepenuhnya negara Israel dalam hal kebijakan ekspansionisnya.
Sekarang saya bertanya, ini apa-apaan maksudnya? Kalau di dunia ini pernah ada sekelompok orang yang dalam identitas genetisnya sangat anti-semitis, itu adalah fundamentalis Kristen AS. Apa yang terjadi sekarang, hingga tiba-tiba saja, mereka menjadi pro-Zionis. Saya kira, ini disebabkan persis oleh pakta yang aneh ini, yaitu, kami, negara Israel akan membiarkan anda tetap seperti biasanya yang puluhan tahun silam telah mengorbankan kami, sepanjang hari ini anda membiarkan kami melakukan hal yang sama di Tepi Barat. Disini saya sangat pesimis. Makanya, saya tidak bilang bahwa kita perlu segera mengusung satu perjuangan universal. Yang saya bilang adalah perlu memperkuat setiap gerakan lokal, yang harus menghadapi perjuangan lokalnya sendiri; dan menyadari bagaimana yang lokal2 ini bisa masuk dalam bingkai peristiwa global hari ini.
(Nilai dari Perdebatan soal Layanan Kesehatan Universal)
Misalnya, saya tidak bilang disini, tidak usah ngapa-ngapain. Meskipun saya – seperti semua orang lainnya, dan hari ini mulai banyak yang merasa seperti itu – kecewa dengan Obama, tapi saya kira yang dia lakukan ketika dia mengundang perdebatan soal pelayanan kesehatan universal publik adalah hal yang bagus. Itu adalah perdebatan yang patut, sekalipun komprominya akhirnya mengaburkan solusinya. Tapi lihat, kenapa ini adalah topik yang tepat. Karena ini adalah sebuah tuntutan, pelayanan kesehatan universal, akan sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa kita nafikan sebagai sekedar utopia komunis Kiri.
Tidak, ini sudah diterapkan di tempat lain, di Kanada, Skandinavia dan negara Eropa lainnya, tapi pada saat yang sama, jelas-jelas, ini menggangu inti dari kebebasan ideologi Amerika. Tahukah anda kalau publik hari ini memperhatikan masalah ini. Mereka ingin merampas kebebasan memilih kita, dan sebagainya. Topik semacam ini kita perlukan. Topik yang secara ekonomi jelas-jelas mungkin, bisa memobilisi rakyat, dan pada saat yang sama muncul sebagai hal yang tampaknya mustahil tapi karena alasan yang murni ideologis.
Karena itu, sekali lagi, hanya ini yang saya bisa tawarkan. Ini adalah kerja yang telaten, dimana kita harus menghindari melankoli Kiri yang palsu ini, yaitu posisi yang sangat nyaman dan menikmati situasi yang ada. Disini saya termasuk puritan. Okay, saya adalah puritan juga protestan dalam artian bahwa, seperti, aturan favorit saya soal seksualitas adalah aturan protestan; mereka bilang, ‘Semuanya boleh dilakukan selama anda merasa bersalah atas perbuatan itu.’ Tapi yang saya maksudkan adalah aspek kekarnavalan dan kenikmatan melankolis yang nyata. Seperti yang sudah dilihat oleh sejumlah teman saya dan mereka bilang, ya ampun, kalau lihat gerakan Wall Street, mereka sudah mulai capek, dan ini akan segera berakhir. Anda tahu, inilah tipikal melankoli; mereka masih ada disini, berdemonstrasi; tapi orang-orang ini tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraan mereka membayangkan betapa indahnya nanti untuk kita sama-sama meratapi, saat ini semua harus berakhir.
Kerja, kerja, ini adalah perilaku protestan yang baik. Kerja, kerja. Jangan takut memakai istilah seperti kerja, disiplin, masyarakat, dan sebagainya. Kita harus mengambil alih istilah2 ini dari kaum Sayap kanan. Jangan biarkan musuh mengambil alih dari kita tentang siapa yang akan menentukan medan pertarungan. Orang berpikir hari ini bahwa kalau kita menyebut istilah kerja, disiplin, prajurit, bertarung, dsb, ‘oh, kalian adalah neo-fasis’. Tidak, tahukah kalian bahwa gagasan akan pekerja berseragam yang berbaris dengan disiplin; maaf-maaf saja, ditiru Hitler dari sosial demokrasi. Dan mungkin sekarang saatnya kita mengambilnya kembali. Jangan biarkan musuh – dan ini sangat penting hari ini; jangan biarkan musuh memeras anda dalam artian menentukan medan pertarungan. Kita seharusnya tidak ditentukan oleh musuh.
(Militer Mesir dan Ihwanul Muslimin)
Karena itu, ada ruang untuk optimisme yang terukur. Dengan semua masalah yang ada, saya tahu bahwa bahaya selalu membayang. Misalnya, sejumlah kawan Mesir saya tidak suka ketika saya katakan hal ini, namun teman2 Mesir lainnya bilang kepada saya, bahwa sekarang ada kemungkinan, yang sangat serius, kita harap ini tidak benar2 terjadi; di Mesir hasil akhirnya akan berupa, semacam pakta yang aneh antara militer – yang masih, dan memang adalah militer yang dulunya dikuasai Mubarak – dengan Ihwanul Muslimin. Kesepakatan yang mungkin muncul adalah Ihwanul Muslimin akan mendapat semacam hegemoni ideologis, dengan imbalan militer boleh mempertahankan kekuasaan semula dan struktur mereka yang korup.
Jadi jalan kita masih panjang, tapi perlu diingat bahwa era baru sudah datang. Tabu tertentu sudah terpatahkan. Orang sudah menerima fakta bahwa kita tidak hidup di dunia ala Pelican Brief atau All the President’s Men, dimana mereka sangat anti-kapitalis tapi yang bersalah hanya sekedar manajer yang korup, CEO, poliitisi.... dan kemudian kalau kita menyingkirkan orang-orang ini maka segala sesuatunya akan baik-baik saja. Tidak, masalahnya adalah di sistem, dan kita harus mulai berpikir, sambil mengingat pengalaman tragis abad 20. Jadi dengan kata lain, setidaknya bisa saya katakan sebagai seorang filsuf, kita hidup di masa yang berpotensi tragis, tapi justru dalam situasi seperti ini, ada banyak pekerjaan bagi kita filsuf. Ini adalah momen kita. Terima kasih banyak.
Kini Militer dan Ikhwan pasti sedang pecah kongsi..
BalasHapus