Rabu, 02 November 2011

Kapitalisme Kultural (Atau, Kenapa Starbucks Sucks!) (FaTTaF bag 2)

Kawans,
Di bagian tentang 'Spirit Baru' Kapitalisme dari buku First as Tragedy Then as Farce ini, Zizek membeber tentang pola baru organisasi kapitalisme dan konsumsi. Dalam perkembangan sejarahnya, kapitalisme beberapa kali melakukan perubahan besar dalam dirinya sendiri. Dalam hal pengorganisasian sumberdaya, Boltanski and Chiapello dalam bukunya The New Spirit of Capitalism menyebut adanya tiga tahapan “spirit” kapitalisme: pertama spirit kewirausahaan, berlangsung sampai Depresi Besar 1930an; kedua mengidealkan bukan pengusaha, tetapi direktur bergaji dari perusahaan besar; dan ketiga model organisasi berbasis-jaringan, dimana pekerjaan diorganisir dalam bentuk tim atau proyek, bahkan dengan memakai retorika Kiri yaitu manajemen mandiri pekerja.
Sementara di level konsumsi, spirit yang baru adalah apa yang disebut “kapitalisme kultural”: kita umumnya membeli sebuah komoditi tidak lagi karena masalah fungsi atau status simbolik; kita membeli untuk menikmati pengalaman karena membelinya, kita mengkonsumsi barang untuk membuat hidup kita menjadi lebih menyenangkan dan berarti. 
Memakai contoh iklan pemasaran Starbuck, Zizek menelanjangi bagaimana rasa 'feel good' ini dibangun kepada konsumen agar kita tidak merasa 'berdosa' telah menikmati Cappucino yang mahal itu, karena kan sebagian dari harga itu dipakai untuk membantu anak-anak korban kelaparan, mendukung proyek ekologi, bla...bla...bla... Kira-kira persis sama dengan logika yang coba dibangun oleh Aqua [ingat, produksi MNC Danone] yang memasarkan produk mereka dengan 'iming-iming' sebagian dari harga yang kita bayar akan dipakai untuk menyediakan sumber air bagi sejumlah daerah di Indonesia Bagian Timur (ingat iklan, sumber air sudekat...)
Atau, dan ini lebih sinting, kapitalisme memakai simbol-simbol revolusioner Kiri untuk mendukung pemasaran produk mereka. Zizek mencontohkan, misalnya, di Australia, ada perusahaan eskrim yang memproduksi eskrim dengan merk "Cherry Guevara,” dan dalam promosinya dikatakan bahwa “pengalaman menikmati” es krim ini sebagai: “Perjuangan revolusioner dari buah ceri, kandas ketika mereka terjebak diantara dua lapisan coklat. Semoga memori mereka terasa di mulut anda!"
Tapi konsep Zizek yang bagi saya paling menarik dari bagian ini adalah ketika dia menjelaskan tentang ledakan ketidakpuasan populis. 
"...Populisme pada akhirnya selalu ditopang oleh keputusasaan dari orang kebanyakan, dengan ungkapan “Saya tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi aku sudah muak dengan semua itu! Ini tidak bisa berlanjut! Ini harus dihentikan!” Ledakan ketidaksabaran ini berisi penolakan untuk mengerti atau terlibat dengan kompleksitas dari situasi, dan memunculkan tuntutan bahwa harus ada yang bertanggungjawab atas kekacauan itu – karena itulah perlu adanya simbol sosok dibelakang layar." 
Sebuah perasaan muak kolektif atas ketidaknyamanan dan berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh sistem yang terjadi, dan pada saat yang sama, menolak untuk memahami kerumitan masalah dan tidak mau tahu siapa yang sebenarnya, dan siapa yang seharusnya, bertanggungjawab atas kondisi ini. Penjelasan teknis, sok-santun, dan bertele-tele dari penguasa dan otoritas diskursif tidak lagi cukup. Muncul sikap penolakan, ‘...pokoknya...’, dan seringkali berujung pada tuntutan atas perubahan sistem. Inilah kira-kira yang melandasi revolusi ‘Arab Spring’, dan seharusnya dijadikan dasar bagi strategi taktis bagi gerakan #Occupy...
  

Karena itu, ketakutan terhadap yang Lain yang “beracun” ini adalah kebalikan (dan justru yang sebenarnya) dari empati kita dengan yang-lain-direduksi-menjadi-sesama-manusia – tapi bagaimana tepatnya sindrom ini bisa muncul? Karya Boltanski and Chiapello berjudul The New Spirit of Capitalism menganalisa proses ini secara detil. Dengan gaya Weberian, buku ini membedakan antara tiga tahapan “spirit” kapitalisme: pertama spirit kewirausahaan, berlangsung sampai Depresi Besar 1930an; kedua mengidealkan bukan pengusaha, tetapi direktur bergaji dari perusahaan besar. (Mudah dikenali disini kesamaan dengan model perubahan terkenal Weber, dari Kapitalisme etika-protestan individualis menjadi kapitalisme manajer-korporat “manusia organisasi.”)[1] 
Ketiga, dari 1970an sampai sekarang, dimana muncul sosok baru: kapitalisme mulai meninggalkan struktur hirarkis Fordist dalam proses produksi dan diganti dengan bentuk organisasi berbasis-jaringan didasarkan pada inisiatif pegawai dan otonomi di tempat Kerja. Bukannya rantai komando yang tersentral-hirarkis, kita sekarang melihat Jaringan yang terdiri dari banyak orang, dengan pekerjaan diorganisir dalam bentuk tim atau proyek, dan dengan mobilisasi besar-besaran dari para pekerja untuk memenuhi kepuasan pelanggan berdasar visi dari pemimpin mereka. Dengan cara ini, kapitalisme bertranformasi dan dilegitimasi sebagai sebuah konsep yang egaliter: dengan memperhatikan interaksi puitis-otomatis dan swa-kelola spontan, dia bahkan menyerap retorika kiri yaitu manajemen mandiri pekerja, sehingga merubahnya dari slogan anti-kapitalis menjadi slogan kapitalis.
Sejauh spirit kapitalisme pasca-68 ini membentuk kesatuan ekonomi, sosial dan kultural yang spesifik, kesatuan ini menjadi justifikasi dari “pasca-modernisme.” Karena itulah, meskipun banyak kritik yang memang beralasan diarahkan terhadap pasca-modernisme sebagai bentuk baru ideologi, kita mau tidak mau harus mengakui bahwa, ketika Jean-Francois Lyotard, dalam The Postmodern Condition, mengangkat istilah itu dari sekedar penamaan untuk kecenderungan artistik tertentu yang baru (khususnya dalam sastra dan arsitektur) menjadi istilah untuk menyebut epos historis baru, ada aspek yang otentik dari hal ini. “Pasca-modernisme” sekarang praktis berperan sebagai Penanda-Utama yang baru yang membawa tatanan baru dari pengetahuan kedalam pengalaman historis yang multi-ragam.
Pada level konsumsi, spirit yang baru adalah apa yang disebut “kapitalisme kultural”: kita umumnya membeli sebuah komoditi tidak lagi karena masalah fungsi atau status simbolik; kita membeli untuk menikmati pengalaman karena membelinya, kita mengkonsumsi barang untuk membuat hidup kita menjadi lebih menyenangkan dan berarti. Hal ini mengingatkan kita pada tiga konsepsi RSI [yang Real, Simbolik dan Imajiner] dari Lacan: yang Real berupa fungsi langsung (makanan sehat, mobil berkualitas), yang Simbolik dari status (saya membeli mobil tertentu untuk menunjukan status – perspektif Thorstein Veblen), yang Imajiner dari pengalaman yang menyenangkan dan bermakna.
Dalam film karya Paul Verhoeven, Total Recall, sebuah agensi menawarkan untuk menginstal memori ke otak kita gambaran akan sebuah liburan yang ideal – kita bahkan tidak perlu benar-benar pergi ketempat lain, sehingga lebih praktis, dan murah, hanya perlu membeli memori perjalanan itu. Versi lain dari prinsip yang sama adalah untuk mengalami liburan yang kita inginkan dalam virtual reality – karena yang lebih penting adalah justru pengalamannya itu, kenapa tidak melakukan itu saja, sehingga bisa melewatkan kerepotan dari perjalanan yang sebenarnya?
Konsumsi dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas hidup, sehingga waktu seharusnya menjadi “waktu yang berkualitas” – bukan waktu alienasi, meniru model yang dipaksakan kepada masyarakat kita, waktu yang secara otentik bisa memuaskan Diri-Sejati kita, akan sensasi kenikmatan dari pengalaman, dan peduli kepada orang lain, melalui keterlibatan didalam kegiatan amal atau ekologi, dsb. Berikut contoh kasus dari “kapitalisme kultural”: iklan Starbucks “Ini bukan hanya apa yang anda beli. Tapi apa yang anda alami.” Setelah menjelaskan kualitas kopinya, iklan itu melanjutkan:
Tapi, ketika anda membeli Starbucks, entah anda sadari atau tidak, anda akan mengalami sesuatu yang lebih besar dari hanya secangkir kopi. Anda akan mengalami etika kopi. Melalui program Starbucks Shared Planet, kami membeli lebih banyak kopi Fair Trade dari semua perusahaan lain di dunia, memastikan bahwa petani yang menanam biji kopi ini menerima harga yang adil atas kerja keras mereka. Dan, kami berinvestasi dan meningkatkan praktek bertanam-kopi dan masyarakat di seluruh dunia. Ini adalah karma kopi yang bagus… Oh, dan sebagian kecil dari harga secangkir kopi Starbucks membantu merenovasi tempat ini dengan kursi yang nyaman, musik yang enak dan atmosfir yang tepat untuk bermimpi, bekerja dan ngobrol. Kita semua perlu tempat seperti itu hari ini... Ketika anda memilih Starbucks, anda membeli secangkir kopi dari perusahaan yang peduli. Tidak heran rasanya begitu nikmat.[2]
Surplus “kultural” disini dibaca: harganya lebih mahal dari tempat lain karena yang anda beli sebenarnya adalah “etika kopi” yang termasuk peduli dengan lingkungan, tanggungjawab sosial terhadap produser, dan tempat dimana anda sendiri bisa terlibat dalam kehidupan komunal (sejak awal, Starbucks menampilkan kedai kopinya sebagai sebuah komunitas organik). Dan kalau masih kurang, kalau kebutuhan etis anda masih belum terpuaskan dan anda masih khawatir dengan penderitaan Dunia Ketiga, masih ada produk tambahan yang bisa anda beli. Berikut deskripsi Starbucks terhadap program “Ethos Water”:
Ethos Water adalah merek sebuah produk dengan misi sosial – membantu anak-anak di seluruh dunia bisa memperoleh air bersih dan meningkatkan kesadaran Krisis Air Dunia. Setiap kali anda membeli sebotol Ethos Water, anda menyumbang US$ 0.05 (C$ 0.10 di Kanada) dengan harapan mencapai paling tidak US$ 10 juta pada 2010. melalui Starbucks Foundation, Ethos Water mendukung program bantuan kemanusiaan untuk penyediaan air bersih di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Sampai hari ini, bantuan Ethos Water sudah mencapai $ 6.2 juta. Program ini akan membantu setidaknya 420,000 orang untuk mengakses air bersih, sanitasi dan pendidikan higienis.[3]
(Disini tidak disebutkan fakta bahwa sebotol Ethos Water harganya lebih mahal 5 sen dolar di Starbucks dibanding di tempat lain. . .) Beginilah bagaimana kapitalisme, di level konsumsi, mengadopsi warisan dari ’68, kritik dari konsumsi yang teralienasi: yang penting pengalaman otentik.
Kampanye iklan Hotel Hilton membuat klaim sederhana: “Travel tidak hanya sekedar pergi dari tempat A ke tempat B. Travel juga harus bisa membuat anda pribadi yang lebih baik.” Hanya satu dekade yang lalu, bisakah anda membayangkan akan ada iklan semacam ini? Bukankah ini juga alasan kita membeli produk organik? Siapa yang benar-benar percaya bahwa apel “organik” yang agak busuk dan kemahalan itu memang benar-benar lebih sehat daripada varietas non-organik? Maksudnya justru, dengan membeli mereka, kita tidak sekedar membeli dan mengkonsumsi, tapi pada saat yang bersamaan melakukan sesuatu yang bermakna, menunjukkan kapasitas kita untuk peduli dan kesadaran global kita, terlibat di dalam proyek kolektif…
Bentuk ilmiah terbaru dari “spirit baru” ini adalah munculnya disiplin baru: “Kajian Kebahagiaan.” Bagaimana bisa terjadi dimasa era hedonisme terspiritualkan ini, ketika tujuan hidup adalah dimaknai sebagai kebahagiaan, jumlah orang yang mengalami kegelisahan dan depresi justru meningkat tajam? Enigma dari sabotase-diri kebahagiaan dan kesenangan  inilah yang membuat konsep Freud hari ini menjadi semakin penting.
Seperti dalam banyak kasus lain, contoh dari sebuah negara berkembang bernama Bhutan, secara naïf menunjukkan konsekuensi sosio-politis absurd dari konsep kebahagiaan ini. Sejak satu dekade yang lalu, kerajaan Bhutan memutuskan untuk mengukur Gross National Happiness [kebahagiaan] (GNH) bukan Gross National Product (GNP); ini merupakan ide dari mantan-raja Jigme Singye Wangchuck, yang mencoba mengarahkan Bhutan ke dunia modern sambil tetap mempertahankan keunikan identitas mereka. Dengan semakin besarnya tekanan globalisasi dan materialisme, dan negara berukuran kecil itu menghadapi pemilu pertamanya, raja baru lulusan Oxford berusia 27 tahun, Jigme Khesar Namgyel Wangchuck, memerintahkan sebuah lembaga negara untuk menghitung seberapa bahagia kerajaan berpenduduk 670,000 itu. Pejabat resmi menyatakan bahwa mereka sudah melakukan survei terhadap sekitar 1,000 orang dan membuat daftar parameter dari kebahagiaan (serupa dengan index pembangunan oleh PBB), antara lain keadaan psikologis, kesehatan, pendidikan, pelayanan pemerintah, standar hidup, vitalitas komunitas dan keragaman ekologis…bisa dibilang, inilah imperialisme kultural.[4]
Agar mendukung spirit baru kapitalisme, seperangkat narasi ideologis-historis dibangun sehingga sosialisme justru tampak sebagai hal yang konservatif, hirarkis dan administratif. Sehingga, pelajaran dari ’68 adalah “Selamat tinggal Tuan Sosialisme” dan revolusi yang sebenarnya adalah kapitalisme digital – yang merupakan konsekuensi logis, bahkan “kebenaran” dari pergolakan ‘68. Bahkan lebih radikal lagi, momen ‘68 dipahat kedalam topik yang menarik yaitu “pergeseran paradigma.” Kesamaan antara model otak dalam ilmu-syaraf dan model ideologis dominan dari masyarakat disini jelas kelihatan[5].
Ada hubungan yang jelas antara kognitivisme hari ini dan kapitalisme “pasca-modern”: ketika misalnya Daniel Dennett, mengajukan pergeseran dari konsepsi Cartesian, Diri sebagai agensi pengontrol pusat dari kehidupan psikis menjadi konsepsi interaksi otomatis-puitis dari berbagai pelaku yang bersaing; bukankah ini menyerupai pergeseran dari kontrol dan perencanaan birokratis pusat kepada model jaringan? Sehingga tidak hanya otak kita tersosial-kan – masyarakatpun juga ternatural-kan di dalam otak,[6] yang karena itu Malabou benar ketika menekankan perlunya menanggapi pertanyaan kunci: “Apa yang perlu dilakukan untuk menghindari kesadaran otak berkaitan langsung dengan spirit kapitalisme?”
Bahkan Hardt dan Negri mendukung kesamaan ini: sama dengan ilmu otak yang mengajarkan kita bagaimana tidak ada Diri yang sentral, maka masyarakat baru beragam yang mengatur dirinya akan seperti konsepsi kognitivis hari ini tentang ego sebagai sebuah otomatis dari pelaku yang terlibat tanpa otoritas sentral yang mengatur... Tidak heran konsepsi Negri tentang komunisme sangat mendekati dengan kapitalisme digital “pasca-moden.”[7]
Secara ideologis – dan ini yang penting – pergeseran ini terjadi sebagai reaksi dari pergolakan 1960an (dari Mei ‘68 di Paris, sampai pergerakan mahasiswa di Jerman dan hippies di AS). Protes anti-kapitalis '60an melengkapi kritik standar tentang eksploitasi sosial-ekonomi dengan topik baru kritik kultural: alienasi kehidupan sehari-hari, komodifikasi konsumsi, kepalsuan masyarakat massa dimana kita dipaksa “memakai topeng” dan menjadi sasaran penindasan seksual dan lainnya, dsb. Spirit baru kapitalisme mereduksi retorika egalitarian dan anti-hirarkis dari gerakan 1968, menampilkan dirinya sebagai perlawanan libertarian yang berhasil melawan organisasi sosial yang menindas sebagai karakter dari baik kapitalisme korporat maupun Sosialisme – semangat libertarian baru ditandai oleh kapitalis yang berpenampilan biasa dan “keren” seperti Bill Gates dan pendiri eskrim Ben and Jerry.
Kita sekarang bisa paham mengapa begitu banyak yang menganggap bahwa Che Guevara, salah satu simbol dari ‘68, sudah menjadi “icon penting pasca-modern” yang menandakan banyak hal sekaligus bukan apa-apa – artinya, tergantung mau kita: pemberontakan pemuda melawan otoritarianisme, solidaritas dengan kaum miskin dan tertindas, kepahlawanan, sampai pada semangat kewirausahaan liberal-komunis yang bekerja untuk kepentingan orang banyak.
Beberapa tahun yang lalu, bahkan perwakilan Vatikan menyatakan bahwa kekaguman terhadap Che bisa dipahami sebagai menyatakan kekaguman terhadap orang yang mengambil resiko dan menyerahkan hidupnya bagi kebaikan orang lain. Dan seperti biasanya, kepahlawanan murni bercampur dengan kebalikannya, komodifikasi saru – sebuah perusahaan di Australia baru-baru ini memasarkan es krim “Cherry Guevara,” menyatakan dalam promosinya bahwa “pengalaman makan” ini sebagai: “Perjuangan revolusioner dari buah ceri, kandas ketika mereka terjebak diantara dua lapisan coklat. Semoga memori mereka terasa di mulut anda!”[8]
Tapi ada juga upaya untuk menentang menjadikan Che sebagai simbol komoditi netral – lihat serangkaian publikasi terbaru yang mengingatkan bahwa dia juga pembunuh berdarah diri yang memimpin penumpasan atas orang-orang reaksioner di Kuba pada 1959, dan sebagainya. Peringatan ini terjadi tepat ketika pergolakan anti-kapitalis mulai bermunculan di seluruh dunia, sehingga membuat icon dia sekali lagi berpotensi membahayakan. Dengan judul “Pemerintah Polandia Ingin Melarang Kaos Bergambar Lenin dan Guevara,” Europe News melaporkan pada 23 April 2009 bahwa “Menteri kesetaraan Polandia ingin memperluas larangan terhadap propaganda fasis atau totalitarian, termasuk buku, pakaian dan barang lainnya”:
Menteri Elzbieta Radziszewska ingin memperluas peraturan yang melarang produksi propaganda fasis atau totalitarian. Peraturan itu akan melarang gambar Che Guevara, yang terkenal diseluruh dunia di kaos, poster dan gambar di tembok. “Saya mendukung peraturan itu” ujar Professor Wojciech Roszkowski kepada harian Rzeczpospolita. “Komunisme adalah sistem yang kejam dan pembunuh, bertanggungjawab atas jutaan korban manusia. Sangat mirip dengan Sosialisme Nasionalis. Tidak ada alasan untuk memperlakukan secara berbeda sistem dan simbolnya.”
Sementara itu warisan dari isu pembebasan seksual dari gerakan 1960an adalah bentuk hedonisme toleran yang dengan mudah merasuk ke dalam posisi ideologis hegemonik kita dibawah kendali dari superego. Jadi, apa itu superego? Pada salah satu booklet informasi di sebuah hotel di New York yang saya baca baru-baru ini tercantum: “Para Tamu yang Terhormat! Untuk memastikan bahwa anda bisa sepenuhnya menikmati kunjungan anda, hotel ini benar-benar bebas rokok. Setiap pelanggaran dari peraturan ini akan dikenakan denda $200.” Yang menarik disini secara tekstual adalah, anda akan dihukum karena menolak untuk sepenuhnya menikmati kunjungan anda…
Karena itu dorongan superego untuk menikmati berfungsi sebagai kebalikan dari konsepsi Kant “Du kannst, denn du sollst!” (Kamu bisa, karena kamu harus!); dan menekankan pada “Kamu harus, karena kamu bisa!” Dengan kata lain, aspek superego dari hedonisme “non-represif” hari ini (provokasi terus menerus yang kita hadapi, mendesak kita sampai akhir dan mengeksplorasi semua bentuk kenikmatan) terletak pada cara bagaimana kenikmatan yang diperbolehkan menjadi kenikmatan yang wajib. Dorongan kepada kenikmatan yang murni autistik ini (melalui narkoba atau sarana penyebab trance lainnya) muncul tepat pada momen politis: ketika rangkaian emansipatoris 1968 sudah kehabisan potensinya.
Pada titik kritis ini (di pertengahan 1970an), satu-satunya pilihan yang tersisa adalah passage a l”acte yang langsung dan brutal, dorongan-menuju-yang-Real, yang mengambil tiga bentuk: pencarian bentuk kenikmatan seksual yang ekstrem; terorisme politik Kiri (RAF di Jerman, Brigade Merah di Italia, dsb., yang taruhannya adalah, dalam sebuah epos dimana massa telah menjadi benar-benar terpesona di dalam buaian ideologis dari kapitalis, kritik standar ideologis tidak lagi berpengaruh, dan hanya bentuk kekerasan langsung – l”action directe – yang bisa menyadarkan massa); dan terakhir, berpaling kepada yang Real dari pengalaman internal (mistisisme oriental). Ketiganya memiliki kesamaan dalam hal penarikan dari keterlibatan sosio-politik nyata menuju kontak langsung dengan yang Real.
Pergeseran dari keterlibatan politik kepada Real pasca-politik ini dicontohkan dengan bagus dalam sejumlah film Bernardo Bertolucci, dari mulai masterpieces awalnya seperti Prima della rivoluzione sampai pemanjaan-diri spiritualis-estetis seperti Little Buddha, dan yang terbaik adalah The Dreamers, film Bertolucci tentang Paris ‘68, dimana dua bersaudara mahasiswa Prancis (pria dan wanita) yang berteman dengan seorang pemuda Amerika selama pergolakan terjadi. Menjelang penghujung film, pertemanan mereka putus, setelah si mahasiwa Prancis terlibat dalam kekerasan politik, sementara si pemuda Amerika tetap teguh dengan pesan cinta dan pembebasan emosi.
Jean-Claude Milner sangat menyadari bagaimana penguasa berhasil mencegah ancaman akibat gerakan 1968 dengan cara mengakomodasi apa yang disebut “semangat ‘68” sehingga justru menjadikannya menentang inti dari gerakan itu sendiri. Tuntutan hak-hak baru (yang sebetulnya redistribusi kekuasaan yang nyata) dikabulkan, tapi sebatas dalam bentuk ijin – “masyarakat permisif” adalah jenis masyarakat yang membolehkan subyek melakukan banyak hal tanpa benar-benar memberi kekuatan tambahan:
Mereka yang berkuasa paham betul perbedaan antara hak dan ijin... Hak adalah memberi akses untuk menjalankan kekuasaan, dengan mengorbankan kekuasaan lain. Ijin tidak menghilangkan kekuasaan dari siapa yang memberikan; tidak mengganggu kekuasaan siapa yang mendapatkannya. Tentu saja ini membuat hidup lebih mudah, yang memang sesuatu yang berarti.[9]
Dan itulah yang terjadi dengan hak untuk bercerai, aborsi, pernikahan sejenis, dan sebagainya – semuanya adalah ijin yang dibungkus sebagai hak; bagaimanapun tidak merubah distribusi kekuasaan. Begitulah dampak dari “semangat ‘68”: “praktis dia berperan dalam membuat hidup lebih mudah. Ini memang sesuatu yang berarti, tapi bukan segalanya. Karena dia tidak menggerogoti kekuasaan.”[10] Dan disini pula terletak “rahasia dari ketenangan yang sudah berkuasa di Prancis selama lebih dari 40 tahun”:
semangat '68 membuat dirinya sebagai sekutu terbaik dari restorasi. Inilah rahasia dari kekerasan yang terus meningkat di daerah pinggiran kota: spirit 68 sekarang hanya bertahan pada mereka yang tinggal di kota. Para pemuda miskin itutidak tahu apa yang harus dilakukan.[11]
Sementara May ‘68 bertujuan pada aktivitas total, “spirit ‘68” dirubah menjadi aktivitas-semu yang terdepolitisasi (gaya hidup baru, dsb), justru menjadi pasifivas sosial. Salah satu konsekuensinya adalah pecahnya kekerasan baru-baru ini di pinggiran kota, dirampas oleh konten utopis atau libertarian. Kesimpulan pahit Milner terhadap fenomena ini adalah: “Tidak perlu lagi bicara padaku tentang ijin, kontrol, kesetaraan; yang aku tahu hanya kekuatan. Ini pertanyaanku: ditengah rekonsiliasi dari kelompok penting dan solidaritas dari golongan terkuat, bagaimana bisa kelompok yang lemah bisa memegang kekuassan?”[12]
Kalau kaum Kiri beralih ke keintiman dengan yang Real dalam bentuk seksual atau spiritual, apa yang terjadi dengan bentuk organisasi politik radikal, kelompok semi-ilegal yang bersiap menghadapi pertarungan akhir menentukan dalam carut marutnya persinggungan kekuatan negara? Dalam bentuk tertentu, sel ini sudah muncul kembali dalam bentuk kelompok survivalis di AS; meskipun pesan ideologis mereka adalah bentuk rasisme religius, model pengorganisasian mereka (sebagai kelompok ilegal kecil melawan FBI dan agensi federal lain) membuat mereka tampak sebagai kembaran dari Black Panthers dari 1960an. Kata-kata aneh yang-terdengar-seperti-Hardt-and-Negri berikut ini berasal dari lagu yang melatari video rekruitmen kelompok survivalis-fundamentalis pada tahun 1982.
Multitude, multitude di lembah keputusan
Sebab hari TUHAN sudah dekat di lembah keputusan
Ironi dari situasi ini adalah, terkait dengan bentuk organisasional akhir-jaman dari situasi darurat (kesadaran kolektif bahwa mereka “hidup di jaman akhir”), kelompok survivalis-fundamentalist ada benarnya. Tapi mereka keliru dalam logika populisnya. Populisme pada akhirnya selalu didukung oleh keputusasaan dari orang kebanyakan, dengan ungkapan “Saya tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi aku sudah muak dengan semua itu! Ini tidak bisa berlanjut! Ini harus dihentikan!” Ledakan ketidaksabaran ini berisi penolakan untuk mengerti atau terlibat dengan kompleksitas dari situasi, dan memunculkan tuduhan bahwa harus ada yang bertanggungjawab atas kekacauan itu – karena itulah perlu adanya simbol sosok dibelakang layar.
Disanalah, dalam penolakan-untuk-tahu, terdapat dimensi fetisistis yang diperlukan untuk populisme. Artinya, meskipun pada level yang benar-benar formal fetisisme meliputi sikap transferensi (kepada obyek-fetis), dia berfungsi sebagai pengalihan yang sebenarnya dari formulasi standard dari transferensi (dengan “subyek yang seharusnya tahu”): bentuk yang dihasilkan fetisisme adalah tepat pada penolakan kita terhadap penolakan, penolakan kita untuk secara subyektif menerima yang kita tahu. Inilah kenapa, memakai istilah Nietzschean, perbedaan mendasar antara politik emansipatoris yang benar-benar radikal dengan politik populis adalah, emansipatoris adalah aktif dan memakai serta memastikan tercapainya visinya, sedangkan populisme secara mendasar adalah re-aktif, hasil dari reaksi terhadap pengganggu. Dengan kata lain, populisme tetap merupakan versi dari politik ketakutan: dia memobilisasi massa dengan memperbesar ketakutan terhadap agen eksternal yang korup.
Ini membawa kita pada topik penting dari hubungan yang kabur antara kekuasaan dan penguasaan didalam masyarakat modern. Didalam apa yang disebut Lacan sebagai diskursus Universitas, pihak berwenang digantikan oleh pengetahuan (ahli). Jacques Alain Miller tepat ketika mengatakan bahwa keorisinalan ide Lacan dalam menjelaskan mengenai pasangan pengetahuan/kekuasaan saat itu tidak banyak diperhatikan. Berbeda dengan Foucault, yang terus menerus menciptakan ragam cara konjungsi mereka (pengetahuan tidak netral, dia sendiri merupakan alat kekuasaan dan kontrol), Lacan “menjelaskan, di jaman modern, disjungsi, pemecahan, pemutusan antara kekuasaan dan pengetahuan... Diagnosa yang dikemukakan oleh Lacan terhadap krisis peradaban adalah bahwa pengetahuan telah mengalami “pertumbuhan yang tidak proporsional dalam kaitannya dengan dampak dari kekuasaan.”[13]
Pada musim gugur 2007, sebuah debat publik terjadi di Republik Ceko terkait dengan pemasangan radar tentara AS diwilayah Ceko; meskipun sebagian besar penduduk (sekitar 70 persen) menentangnya, pemerintah tetap berkeras melanjutkan proyek itu. Perwakilan pemerintah menolak permintaan referendum, beralasan bahwa kita tidak memutuskan masalah keamanan nasional yang begitu sensitif semata hanya dengan pemungutan suara – mereka harus diserahkan pada ahli-ahli militer.[14] Kalau kita menggunakan logika ini secara konsisten, maka akan sampai pada kesimpulan yang aneh: lantas, apa yang bisa dilakukan dengan pemungutan suara? Tidakkah keputusan masalah ekonomi misalnya, harus juga diserahkan kepada ahli masalah ekonomi, dan begitu seterusnya?
Situasi ini mengarahkan kita pada jalan buntu dari “masyarakat pilihan” kontemporer dalam bentuknya yang paling radikal. Terdapat berbagai topik ideologis hari ini, meskipun para ahli masalah otak menunjukkan bahwa kebebasan untuk memilih adalah sebuah ilusi – kita melihat diri kita sebagai “bebas” semata hanya ketika kita mampu bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan lingkungan kita, dengan tanpa hambatan eksternal yang menolak keinginan internal kita.[15] Ekonom liberal menekankan kebebasan memilih sebagai resep utama dari ekonomi pasar: dengan membeli barang, kita terus menerus memilih dengan uang kita. Pemikir eksistensial “yang mendalam” sering mengembangkan variasi bahasan mengenai pilihan eksistensial “otentik: ini, dimana inti dari keberadaan kita dipertaruhkan – pilihan yang melibatkan keterlibatan eksistensial sepenuhnya, berlawanan dengan pilihan semu dari komoditi tertentu.
Dalam versi “Marxist” dari tema ini, keragaman pilihan yang terus menerus disajikan oleh pasar kepada kita hanya mengaburkan fakta akan ketiadaan pilihan yang benar-benar radikal terkait dengan struktur dasar dari masyarakat. Namun ada hal yang hilang dari rangkaian ini: yaitu untuk memilih ketika kita kekurangan koordinat kognitif dasar yang diperlukan untuk membuat pilihan rasional. Sebagaimana dikatakan Leonardo Padura: “Adalah hal yang menakutkan tidak tahu masa lalu namun tahu dampaknya di masa depan,”[16] diharuskan untuk membuat keputusan dalam situasi dimana yang tetap adalah kondisi dasar kita. Kita tahu situasi standar dari pilihan paksa dimana kita bebas memilih dengan syarat bahwa kita harus mengambil pilihan yang tepat, sehingga yang bisa kita lakukan hanya berpura-pura menerima dengan sukarela apa yang diterakan oleh pengetahuan dan para ahli kepada kita.
Tapi bagaimana jika sebaliknya, pilihan itu memang bebas dan karena itu, justru menjadi lebih membuat frustasi? Sehingga kita mendapati diri kita terus-menerus berada pada posisi untuk memutuskan masalah yang secara mendasar mempengaruhi hidup kita, tapi tanpa dasar pengetahuan yang cukup. Mengutip John Gray lagi: “kita terdampar di masa dimana semua hal adalah sementara. Setiap hari, muncul teknologi baru merubah kehidupan kita. Tradisi masa lalu tidak bisa dipakai. Pada saat yang sama, kita tidak banyak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kita dipaksa hidup seolah kita bebas.[17]
Tekanan tanpa henti kepada kita untuk memilih melibatkan tidak hanya pengabaian terhadap obyek pilihan, tapi lebih radikal lagi adalah kemustahilan subyektif untuk memenuhi tuntutan hasrat. Ketika Lacan menjelaskan bahwa obyek hasrat adalah sebagai hal yang dari awal memang tidak ada, maksudnya tidak hanya bahwa kita tidak akan pernah tahu apa yang kita inginkan sehingga terpaksa melakukan pencarian abadi terhadap obyek yang “sejati”, yaitu void dari hasrat itu sendiri, sementara semua obyek positif hanya semata pengganti metonimis-nya. Maksud Lacan jauh lebih radikal dari itu: yaitu obyek yang hilang ini pada akhirnya adalah subyek itu sendiri, subyek sebagai obyek; yang berarti bahwa pertanyaan tentang hasrat, enigma aslinya, bukan “Apa yang aku inginkan?” tapi lebih pada “Apa yang diinginkan orang lain dariku? Obyek – objet a – apa yang mereka lihat dariku?”
Karena itulah kenapa, pertanyaan histerikal “Kenapa namaku itu?” (dengan kata lain, dari mana identitas simbolik kita berasal, apa yang melandasinya?), Lacan menunjukkan bahwa subyek itu sendiri adalah histeris. Dia menjelaskan subyek secara tautologis sebagai “yang bukan merupakan sebuah obyek,” maksudnya adalah kemustahilan dari mengidentifikasi diri kita sebagai sebuah obyek (yaitu, tahu apa sebenarnya kita secara libidinal bagi yang lain) adalah hal yang menyusun diri kita sebagai subyek. Dengan cara ini, Lacan menghasilkan seperangkat keragaman posisi subyektif “patologis”, dan melihatnya sebagai keragaman dari jawaban atas pertanyaan histeris: yang histeris dan obsesif mengulangi dua faktor dari pertanyaan – psikotis tahu dirinya merupakan obyek dari jouissance yang Lain, sedangkan kecabulan melihat dirinya sebagai instrument dari jouissance yang Lain.
Disini terdapat dimensi yang menakutkan dari tekanan untuk memilih – apa yang terngiang dari bahkan pertanyaan yang paling polos ketika kita memesan kamar hotel (“bantal yang lunak atau keras? Kasur satu atau dobel”) adalah penelisikan yang jauh lebih radikal: “Katakan siapa dirimu? Kamu ingin jadi obyek seperti apa? Apa yang akan memenuhi gap dari hasratmu?” Karena itulah pemahaman “anti-esensialis” Foucauldian tentang “identitas baku” – dorongan terus menerus untuk melakukan “sayangi diri sendiri”, menemukan dan menciptakan ulang diri sendiri – menemukan gemanya di dalam dinamika kapitalisme “pasca-modern”.
Tentu saja, eksistensialisme lama sudah mengklaim bahwa orang adalah apa yang dia lakukan, dan telah mengaitkan kebebasan radikal ini dengan kegelisahan eksistensial. Disini kegelisahan dari menjalani kebebasan, kurangnya determinasi diri yang substansial, adalah momen otentik dimana integrasi subyek kedalam kebakuan lingkungan ideologisnya menjadi pecah berantakan. Tapi apa yang tidak bisa dijelaskan oleh eksistensialisme adalah apa yang dicoba dijelaskan oleh Adorno dalam bukunya tentang Heidegger, yang berjudul Jargon of Authenticity; yaitu, bagaimana dengan tidak lagi menekan kekurangan dari identitas baku ini, ideologi hegemonik secara langsung memobilisasi kekurangan itu untuk menanggung proses konsumeris yang terus menerus yaitu “re-kreasi-diri”


[1] Untuk detil paragraph ini, lihat Luc Boltanski and Eve Chiapello, The New Spirit of Capitalism, London: Verso 2005.
[2] Dikutip dari iklan satu halaman penuh di USA Today, 4 Mei 2009, hal. A9.
[4] "Bhutan tries to measure happiness," ABC News, 24 Maret 2008.
[5] Lihat Catherine Malabou, Que faire de notre cerveau? Paris: Bayard 2004.
[6] Ibid., hal. 88.
[7] Lihat Michael Hardt and Antonio Negri, Multitude, London: Penguin Press 2004.
[8] Lihat Michael Glover, "The marketing of a Marxist; Times (London), 6 Juni 2006.
[9] Jean Claude Milner. Ilirrogance du present. Regards sur une decennie: 1965 1975. Paris: Grasset 2009. hal. 233.
[10] Ibid. , hal. 236 .
[11] Ibid . • hal. 237.
[12] Ibid., hal. 241.
[13] Ibid.
[14] Yang menarik, perwakilan pemerintah itu juga mengutip alasan yang murni politik terkait keputusan itu: AS sudah membantu Ceko untuk mencapai kemerdekaan sebanyak tiga kali dalam sejarah mereka (pada 1918, 1945, dan 1989), sehingga kini rakyat Ceko perlu membalas jasa mereka dengan cara justru membatasi kemerdekaan yang mereka dapatakan...
[15] Penelitian terbaru telah bergerak jauh lebih maju dari pada eksperimen klasik Benjamin Libel dari 1980an, yang menunjukkan bagaimana otak kita membuat keputusan sekitar 0,3 detik sebelum kita menyadarinya. Dengan mengukur aktivitas otak selama proses penyelesaian masalah yang rumit, kita bisa menyimpulkan bahwa otak seseorang akan mempunyai wawasan yang ajaib terhadap masalah yang dihadapi sepuluh detik sebelum dia menyadari itu. Lihat "Incognito:” Economist, 18-24 April 2009 , hal. 78-9.
[16] Leonardo Padura, Havana Gold, London: Bitter Lemon Press 2008, hal. 233-4.
[17] Gray, Straw Dogs. hal. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar