Selasa, 15 November 2011

Pembelaan atas Cita-cita yang kalah... (IDoLC pengantar)

Kawans,
Posting berikut adalah pengantar dari buku In Defense of Lost Causes (Verso, 2008), buku pertama dari ’trilogi’ karya Komunis Zizek, IDoLC, First as Tragedy Then as Farce, dan ditutup dengan Living in the End Times (lantas dilengkapi dengan mengedit dan menulis satu artikel di buku keroyokan The Idea of Communism).
Ada banyak hal yang, bagi saya, sangat menarik dari buku ini; pertama, Zizek untuk kali pertama dengan sistematis menjelaskan tentang gagasan Komunisme apa yang selama ini dia anut; kemudian, Zizek juga secara sistematis menggugat perkembangan pemikiran postmodern dan poststrukturalis yang telah mengebiri subyek; berikutnya Zizek juga memulihkan konsepsi totalitarianisme dan teror populis sebagai sesuatu yang tidak serta-merta horor dan kekerasan; dan ditutup dengan sebuah strategi yang cukup sistematis, tentang apa yang harus dilakukan oleh subyek emansipatoris untuk memulihkan Cita-cita yang kalah, yaitu cita-cita Komunis.
Sedangkan dalam hal yang trivial, buku ini juga memicu banyak kontroversi dengan gambar sampul yang ‘mengundang’ memori horor dari teror populis akibat Revolusi Prancis, yaitu sebuah gambar Guillotine, dan memiliki sentuhan yang sangat personal, yaitu baris persembahan bagi ‘fellow traveller’ [rekan pengelana] Alain Badiou:
Zizek dan Badiou dalam sebuah ceramah bersama
Suatu ketika, Alain Badiou duduk diantara peserta di dalam sebuah ruangan dimana saya sedang memberikan ceramah, ketika ponsel-nya (yang membuat saya semakin malu, ponsel itu adalah punya saya yang saya pinjamkan ke dia) tiba-tiba berbunyi dengan nyaring. Bukannya mematikan ponsel itu, dia dengan sopan meminta saya untuk bicara lebih pelan, supaya dia bisa mendengar suara penelepon itu dengan lebih jelas...Kalau ini bukan bentuk pertemanan sejati, berarti saya tidak tahu apa itu pertemanan. Maka, buku ini saya dedikasikan untuk Alain Badiou.
 
Pengantar: Causa Locuta, Roma Finita
Roma locuta, causa finite – kata akhir dari pihak yang berwenang yang seharusnya mengakhiri perselisihan, dalam bentuk apapun, dari mulai “Dewan Gereja telah memutuskan’ sampai ‘Komite Pusat telah menyetujui sebuah resolusi’ atau bahkan, kenapa enggak, ‘rakyat sudah memutuskan pilihan di bilik suara’…Namun, bukankah pelajaran dari psikoanalisa adalah justru kebalikannya: biarkan Cita-cita [Causes] bicara sendiri (atau, seperti dikatakan Lacan, “Saya, kebenaran, yang bicara”), dan Imperium (Romawi, atau kapitalisme global hari ini) akan berantakan? Ablata causa tolluntur effectua: Ketika tidak ada cita-cita, dampak-nya akan erkembang (Les effets ru se portent bien qu'en absence de la cause). Bagaimana kalau kita balik pepatah ini? Ketika cita-citanya ikut campur, maka akibatnya akan dipatahkan…[1]
Namun, Cita-cita yang mana yang harus bicara? Hari ini, situasi tampaknya tidak terlalu bagus bagi Cita-cita besar, ketika di masa ‘pascamodern’, meskipun lanskap ideologis sudah terfragmentasi menjadi banyak posisi yang saling bertarung memperebutkan hegemoni, tapi ada konsensus yang melandasinya: masa untuk narasi besar sudah berakhir, kita hanya perlu ‘pemikiran sederhana’ berlawanan dengan semua jenis fondasionalisme, pemikiran yang peduli dengan tekstur rhizomatis realitas; juga di bidang politik, kita tidak lagi perlu menyusun sistem yang bisa menjelaskan semuanya dan melakukan proyek emansipatoris global; pemaksaan oleh solusi besar selama ini harus digantikan oleh intervensi yang spesifik. Kalau sampai sejauh ini pembaca hanya merasa sedikit prihatin dengan kerangka diatas, sebaiknya berhenti membaca dan buang saja buku ini.
Bahkan mereka yang cenderung untuk menolak teori pasca-modern ‘Prancis’ yang terkenal dengan ‘jargonnya’ sebagai bentuk ‘omong-kosong’ cenderung untuk juga ikut merasa emoh dengan ‘pemikiran dan paparan besar’. Memang ada banyak omong-kosong hari ini. Tidak heran jika bahkan mereka yang mempopulerkan istilah ‘omong kosong,’ seperti Harry Frankfurt, tidak terbebas dari hal ini. Di dalam kerumitan yang tiada akhir di dunia hari ini, dimana segala hal seringkali tampak sebagai kebalikannya – intoleransi sebagai toleransi, agama sebagai akal rasional, dan seterusnya – ada godaan besar untuk memotong dengan sikap keras “Tidak pakai omong-kosong!’ – sikap yang tidak jarang hanya sekedar passage à l'acte yang tidak bermakna-apa. Keinginan untuk menarik garis demarkasi yang jelas antara omongan yang jujur dan waras dengan ‘omong-kosong’ mau tidak mau berujung pada omongan yang jujur dari ideologi dominan itu sendiri. Tidak heran, bagi Frankfurt sendiri, contoh dari politisi yang ‘tidak pakai omong-kosong’ adalah Harry Truman, Dwight Eisenhower dan hari ini, John McCain[2] – seolah pose tubuh dan gaya bicara yang lugas adalah jaminan dari kejujuran.
Ukuran yang masuk akal pada saat ini mengatur kita – terkait dengan pembedaan lama antara doxa (opini empiris, kebajikan [Wisdom]) dan Kebenaran, atau lebih radikal lagi, pengetahuan positif empiris dan keimanan mutlak – untuk membuat batas yang jelas antara apa yang bisa dipikirkan dan dilakukan hari ini. Pada level akal sehat, yang paling jauh bisa kita jangkau adalah liberalisme pencerahan konservatif: jelas saja, tidak ada alternatif yang memadai bagi kapitalisme; pada saat yang sama, kalau dibiarkan berjalan sendiri, dinamika kapitalisme justru akan mengancam untuk menggerogoti fondasinya sendiri. Ini tidak hanya berlaku dalam hal ekonomi (perlunya aparat negara yang kuat untuk menjaga persaingan pasar itu sendiri, dsb), tapi terlebih lagi, dinamika ideologico-dinamis. Demokrat konservatif yang terdidik, mulai Daniel Bell sampai Francis Fukuyama, menyadari bahwa kapitalisme global hari ini cederung menafikan penopang ideologisnya sendiri (apa yang dulu pernah disebut oleh Bell sebagai ‘kontradiksi kultural kapitalisme): kapitalisme hanya bisa berkembang dengan prasyarat stabilitas sosial dasar dan kepercayaan simbolik yang masih utuh, dimana individu tidak hanya menerima tanggungjawab mereka terkait dengan nasibnya, tapi juga menggantungkan diri pada ‘keadilan’ dasar dari sistem – latar ideologis yang harus dijaga lewat aparatus pendidikan dan kultural yang kuat. Di dalam kerangka seperti ini, jawabannya bukan pada bentuk liberalisme radikal à la Hayek, ataupun konservatisme lugas yang masih bepegang pada cita-cita lama negara-kesejahteraan; melainkan masyarakat campuran antara liberalisme ekonomis dengan semangat otoritarian yang minimal (penekanannya ada pada stabilitass sosial, ‘nilai, dsb) yang bisa menangkal ekses dari sistem – dengan kata lain, apa yang coba dikembangkan oleh Jalan-Ketiga dari Sosial-Demokrat seperti Blair.
Dan inilah batasan dari akal sehat. Apa yang ada dibaliknya memerlukan ‘Lompatan Keyakinan’, keyakinan terhadap Cita-cita yang hilang, Cita-cita yang, dari dalam ruang kebajikan yang skeptis, mau tidak mau akan tampak sebagai hal yang gila. Dan buku ini bicara dalam kondisi Lompatan Keyakinan ini – tapi kenapa? Masalahnya tentu saja adalah bahwa di saat krisis dan gejolak, kebajikan empiris yang skeptis itu sendiri, dibatasi oleh lingkup bentuk akal sehat yang dominan, tidak bisa menyediakan jawaban, sehingga kita harus mengambil resiko Lompatan Keyakinan.
Pergeseran ini adalah pergeseran dari ’Saya bicara kebenaran’ menjadi ’kebenaran bicara sendiri (dalam/melalui saya)’ (Sebagaimana di dalam matheme Lacan tentang diskursus analis, dimana agen bicara dari posisi kebenaran), sampai satu titik dimana saya bisa bilang, seperti Meister Eckhart, ’memang benar, dan kebenaran mengatakannya sendiri.’[3] Pada level pengetahuan positif, tentu saja ini tidak akan pernah mungkin untuk (yakin bahwa kita sudah) mencapai kebenaran – kita hanya bisa terus-menerus mendekatinya, karena bahasa pada akhirnya selalu merujuk-diri sendiri [self-referential], tidak mungkin untuk menarik garis pemisah yang tegas antara sophism, upaya yang rumit, dan Kebenaran itu sendiri (problema ini juga dihadapi Plato). Disini, pertaruhan Lacan adalah juga pertaruhan Pascalean: pertaruhan akan Kebenaran. Tapi bagaimana? Tidak dengan mengejar kebenaran ’obyektif’, tapi dengan berpegang pada kebenaran dari posisi dari mana kita bicara.[4]
Masih ada dua teori yang menerapkan konsepsi kebenaran yang terlibat semacam ini: Marxisme dan Psikoanalisis. Keduanya adalah teori yang melawan, bukan hanya teori tentang perlawanan, tapi teori dimana mereka sendiri terlibat di dalam perlawanan: sejarah mereka tidak terdapat pada akumulasi dari pengetahuan netral, karena mereka ditandai dengan pengucilan, tudingan bidah dan pengusiran. Inilah kenapa, di dalam keduanya, hubungan antara teori dan praktis berbentuk dialektis, dengan kata lain, berupa tarik-menarik yang tak-tereduksi: teori bukan hanya landasan konseptual bagi praktek, tapi pada saat yang sama dia juga menjelaskan mengapa praktek pada akhirnya bisa gagal – atau, sebagaimana dikatakan Freud dengan tegas, psikoanalisis hanya akan sepenuhnya mungkin di dalam masyarakat yang tidak lagi memerlukannya (psikoanalisa). Dalam bentuknya yang paling radikal, teori adalah teori dari praktek yang gagal: ”inilah kenapa sesuatu bisa bermasalah...” Kita biasanya lupa bahwa lima laporan klinik terbesar Freud pada dasarnya didasarkan pada keberhasilan parsial dan kegagalan yang mutlak; dengan cara yang sama, pandangan historis Marxist terhebat tentang event revolusioner adalah hasil dari kegagalan besar (dari Perang Petani Jerman, Jacobins di dalam Revolusi Prancis, Commune Paris, Revolusi Oktober, Revolusi Kebudayaan China...). Penilaian terhadap kegagalan semacam ini menghadapkan kita dengan masalah keteguhan/kesetiaan [fidelity]: bagaimana menebus potensi emansipatoris dari kegagalan ini dengan cara menghindari jebakan ganda dari keterikatan nostalgia dengan masa lalu dan akomodasi yang terlalu mudah terhadap ’kondisi baru’.
Masa dari kedua teori ini kelihatannya sudah lewat. Seperti baru-baru ini dikatakan Todd Dufresne, tidak ada sosok di dalam sejarah pemikiran manusia yang keliru tentang dasar dari teorinya lebih dari Freud[5] – dengan pengecualian Marx, beberapa orang mungkin menambahkan. Dan, memang, dalam kesadaran liberal, keduanya sekarang muncul sebagai ’pasangan penjahat’ terbesar dari abad 20: bisa diduga, pada 2005, buku terkenal The Black Book of Communism, berisi daftar kejahatan Komunis,[6] diikuti oleh The Black Book of Psychoanalysis, berisi daftar semua kekeliruan teoritis dan penipuan klinis dari psikoanalisis.[7] Dengan cara yang negatif seperti ini, paling tidak, solidaritas yang kuat antara Marxisme dan psikoanalisis sekarang bisa dilihat semua orang.
Tapi tetap saja ada tanda-tanda yang mengganggu kepongahan pasca-modern ini. Mengomentari semakin luasnya gaung dari pemikiran Alain Badiou, Alain Finkelkraut baru-baru ini menyebutnya sebagai ’filsafat yang paling brutal, sebagai gejala negatif [symptom] dari kembalinya radikalitas dan penolakan terhadap anti-totalitarianisme’[8] – sebuah pengakuan yang jujur dan mengejutkan bagi kegagalan dari upaya yang panjang dan gigih yang dilakukan oleh semua jenis kalangan ‘anti-totalitarian’, pembela hak asasi manusia, pejuang melawan paradigma Kiri jadul, dari nouveaux philosophes Prancis sampai pembela ‘modernitas kedua’. Apa yang seharusnya sudah mati, dikubur, sepenuhnya di-diskreditkan, kini kembali dengan pembalasan dendam kesumat [return with vengeance]. Kita bisa memahami keterkejutan mereka: bagaimana bisa, setelah beberapa dekade mencoba menjelaskan tidak hanya melalui karya ilmiah, tapi juga di media massa, kepada semua orang yang mau mendengar (dan yang tidak mau) bahaya dari ‘Pemikir-Besar’ totalitarian, filsafat semacam ini bisa kembali dalam bentuknya yang paling brutal? Apakah orang tidak menyadari bahwa utopia yang sedemikian berbahaya itu sudah berakhir? Ataukah kita disini sedang menghadapi semacam kebutaan yang tidak bisa dihilangkan dan aneh, atau sebuah rumus antropologis ngawur, kecenderungan untuk terjerembab kepada godaan totalitarian? Usulan saya adalah seharusnya perspektifnya kita balik: sebagaimana Badiou sendiri mungkin akan katakan di dalam caranya yang Platonis dan unik: idea yang sejati adalah abadi, dia tidak bisa dihancurkan, selalu kembali setiap kali dia dinyatakan sudah mati. Cukup bagi Badiou hanya menyampaikan lagi berbagai ide ini dengan jelas, dan pemikiran anti-totalitarian akan terbuka semua kondisinya yang mengenaskan, bentuk upaya yang rumit namun tidak ada harganya, teorisasi-semu dari ketakutan dan insting para survivalis oportunis rendahan, cara berpikir yang tidak hanya reaksioner, tapi juga sangat reaktif dalam konteks istilah Nietzschean.
Terkait dengan hal ini adalah pertarungan yang menarik yang sudah berlangsung baru-baru ini (tidak hanya) antara Lacanian (dan tidak hanya) di Prancis. Pertarungan ini terkait dengan status dari yang ‘Satu’ [the one] sebagai nama dari subyektivitas politis, pertarungan yang menyebabkan perpecahan banyak hubungan pertemanan pribadi (misalnya, antara Badiou dengan Jean-Claude Milner). Ironinya adalah bahwa pertarungan ini terjadi diantara para intelektual eks-Maois (Basiou, Milner, Levy, Miller, Regnault, Finkelkraut), dan antara ‘Yahudi’ dan ‘non-Yahudi’. Pertanyaannya adalah: apakah nama yang Satu adalah hasil dari pertarungan politis yang kontinjen [sementara], ataukah ternyata ini berakar di dalam identitas tertentu yang lebih fundamental? Pendapat dari kalangan ‘Maois Yahudi’ adalah bahwa ‘Yahudi’ merupakan nama yang mewakili dari apa yang menolak tren global hari ini untuk mengatasi semua batasan, termasuk keterbatasan dari kondisi manusia itu sendiri, di dalam keterpecahan wilayah [deterritorialization] dan pencair-an [fluidization] dari kapitalis radikal (tren yang mencapai puncak-nya di dalam mimpi gnostik-digital untuk mentransformasi manusia itu sendiri kedalam software virtual yang bisa me-reload dirinya dari satu hardware ke hardware yang lain). Sehingga, nama ‘Yahudi’ mewakili keteguhan dasar terhadap dirinya. Sejalan dengan pemikiran ini, Francois Regnault mengklaim bahwa kaum-Kiri kontemporer menuntut Yahudi (jauh melebihi dari kelompok etnis lain) bahwa mereka ‘tunduk dengan namanya’[9] – rujukan terhadap maxim etis Lacan ‘jangan tunduk terkait dengan hasrat-mu’… Kita disini perlu mengingat bahwa pergeseran yang sama dari politik emansipatoris radikal kepada keteguhan terhadap nama Yahudi, sudah terlihat didalam nasib dari Mahzab Frankfurt, khususnya teks terakhir dari Horkheimer. Yahudi disini adalah pengecualian: di dalam perspektif multikulturalis liberal, semua kelompok bisa menerima identitas mereka – kecuali Yahudi, yang penerimaan diri-nya sendiri [self-assertion] sama dengan rasisme Zionis… Berlawanan dengan pendekatan ini, Badiou dan yang lain meyakini keteguhan dari yang Satu yang muncul dan terbentuk melalui perjuangan politik untuk penamaan itu sendiri dan, dengan demikian, tidak bisa didasarkan pada konten baku tertentu (misalnya akar etnis atau agama). Dari sudut pandang ini, keteguhan terhadap nama ‘Yahudi’ adalah kebalikan (pengakuan diam-diam) dari kekalahan perjuangan emansipatoris otentik. Tidak heran bahwa mereka yang menuntut kesetiaan nama ‘Yahudi’ adalah juga mereka yang mengingatkan kita akan bahaya ‘totalitarian’ dari gerakan emansipatoris radikal apapun. Politik mereka meliputi menerima kefanaan dan batasan fundamental dari situasi kita, dan Hukum Yahudi adalah bukti mutlak dari kefanaan ini, yang karena itulah bagi mereka, semua upaya untuk mengatasi Hukum dan kecenderungan terhadap Cinta yang merangkul-semua (dari Kristianitas sampai Jacobin Prancis atau Stalinisme) pasti akan berujung pada teror totalitarian. Dengan kata lain, solusi satu-satunya yang benar dari ‘pertanyaan Yahudi’ adalah ‘solusi final’ (musnahkan mereka), karena qua objet a Yahudi adalah batasan terbesar dari ‘solusi final’ dari Sejarah itu sendiri, untuk mengatasi semua perbedaan di dalam Kesatuan dan fleksibilitas yang meliputi-semua.
Tapi bukankah ini lebih pada kasus bahwa, di dalam sejarah Eropa modern, mereka yang membela dan mendambakan universalitas justru para Yahudi Atheis dari mulai Spinoza sampai Marx dan Freud? Ironinya adalah bahwa di dalam sejarah anti-semitisme, Yahudi mewakili kedua kutub ini: kadang-kadang mereka mewakili keterikatan erat terhadap bentuk-kehidupan tertentu yang mencegah mereka untuk menjadi warga negara penuh dari negara yang mereka tinggali, kadang mereka juga mewakili kosmopolitanisme universal yang tanpa-rumah dan tanpa-akar yang cuek terhadap semua bentuk identitas etnis tertentu. Hal pertama yang perlu kita ingat kembali adalah bahwa pertarungan ini (juga) inheren didalam identitas Yahudi. Dan mungkin, perjuangan Yahudi ini adalah pertarungan sentral kita hari ini: pertarungan antara keteguhan terhadap dorongan Messianis dan ‘politik ketakutan’ yang reaktif (persis dalam konteks arti Nietzschean) yang berfokus untuk menjaga identitas tertentu kita.
Peran istimewa dari Yahudi dalam pembentukan ruang ‘penalaran publik’ melekat terhadap substraksi mereka dari setiap bentuk kekuasaan negara – posisi ini adalah ‘bagian dari bukan-bagian) dari setiap komunitas negara-bangsa yang organik, bukan sifat abstrak-universal dari monoteisme mereka, yang membuat mereka sebagai perwujudan langsung dari universalitas. Karena itu tidak heran bahwa, dengan pembentukan negara-bangsa Yahudi, muncullah sosok Yahudi baru: Yahudi yang menolak identifikasi dengan Negara Israel, menolak untuk menganggap Negara Israel sebagai rumah mereka yang sebenarnya, Yahudi yang ‘menjaga jarak dirinya sendiri dari negara ini, dan yang melihat Negara Israel sebagai bagian dari negara yang mereka mengambil jarak, hidup di dalam rajutan-nya – dan Yahudi yang aneh inilah yang menjadi obyek dari apa yang mau tidak mau kita harus sebut sebagai ‘anti-Semitisme Zionis’, ekses asing yang mengganggu komunitas negara-bangsa. Yahudi ini, “Yahudi dari para Yahudi itu sendiri’ penerus penting dari Spinoza, hari ini adalah satu-satunya Yahudi yang etrus berkeras terhadap ’Penalaran Publik,’ menolak untuk menyerahkan penalaran mereka kepada domain ‘privat’ dari negara-bangsa.
Buku ini tidak malu untuk mengambil sudut pandang ‘Messianis’ dari perjuangan akan emansipasi universal. Sehingga tidak heran, bahwa bagi pendukung doxa ‘pasca-modern’, daftar dari Cita-cita yang kalah yang dibela di sini pasti tampak sebagai perwujudan dari pertunjukan horor dari mimpi-buruk mereka yang paling mengerikan, wujud dari hantu masa lalu yang mereka sudah habis-habisan coba untuk di sembuhkan dari kesurupannya; politik Heidegger sebagai contoh ekstrim dari filosof yang tergoda oleh politik totalitarian; teror revolusioner dari Robespierre sampai Mao; Stalinisme; kediktatoran proletariat… Dalam tiap kasus, ideologi dominan tidak hanya menolak Cita-cita itu, tapi memberi pengganti, versinya yang ‘lebih lunak’: bukan keterlibatan intelektual totalitarian, tapi intelektual yang meneliti masalah dari globalisasi dan berjuang di ruang publik bagi hak asasi manusia dan toleransi, melawan rasisme dan sexisme; bukan teror negara revolusioner, tapi multitude yang ter-desentralisasi dan swa-kelola [self-organized]; bukan kediktatoran proletariat, tapi kolaborasi diantara berbagai agen (inisiatif masyarakat-sipil, uang swasta, regulasi negara…). Tujuan sebenarnya dari ‘pembelaan Cita-cita yang kalah’ bukan untuk membela teror Stalinis, atau semacamnya, tapi mempermasalahkan alternatif ‘demoratik-liberal-yang- terlalu-mudah [all-too-easy-liberal-democratic]. Komitmen politik Foucault dan, terutama, Heidegger, meskipun motivasi dasarnya bisa diterima, jelas merupakan ‘langkah yang tepat menuju arah yang salah’; kesialan dari nasib teror revolusioner menghadapkan kita dengan perlunya – bukan untuk menolak teror in toto, tapi – untuk merevisi; krisis ekologis yang mengancam tampaknya menawarkan kesempatan yang langka untuk menerima versi revisi dari kediktatoran proletariat. Karena itu, argumennya disini adalah, meskipun fenomena ini, dengan caranya masing-masing, adalah kegagalan dan kebengisan [monstrosity] sejarah (Stalinisme adalah mimpi-buruk yang mungkin menyebabkan lebih banyak penderitaan manusia dibanding fasisme; upaya untuk menegakkan ‘kediktatoran proletariat’ menghasilkan penjelmaan yang menggelikan dari rejim dimana justru proletariat direduksi untuk dibungkam, dsb), ini tidak sepenuhnya benar; di masing-masing tetap ada momen penebusan yang hilang dalam penolakan demokratik-liberal – dan penting untuk memperjelas momen ini. Kita harus hati-hati untuk tidak melempar bayi ke dalam air yang kotor – meskipun kita tergoda untuk membalik metafora ini, dan menganggap bahwa kritik demokratik-liberal yang ingin melakukan ini (misalnya, melempar air kotor teror, sementara menjaga kemurnian si bayi dari sosialis demokrasi yang otentik), melupakan bahwa airnya sebelumnya adalah jernih, bahwa semua kotoran di situ adalah justru dari bayinya. Apa yang harus kita lakukan justru adalah, untuk melempar keluar bayi itu sebelum mengotori kejernihan air dengan kotorannya, sehingga, untuk mem-parafrase Mallarme, rien que l’eau n’aura eu lieu dans le bain de l’histoire.
Pembelaan kita terhadap Cita-cita yang kalah karena itu tidak terlibat di dalam bentuk permainan dekonstruktif apapun dengan gaya ‘setiap Cita-cita pertama harus kalah agar menegaskan efisiensinya sebagai sebuah Cita-cita’. Sebaliknya, tujuannya adalah berupaya sekuatnya untuk meninggalkan, apa yang secara berseloroh disebut Lacan dengan ‘narsisisme dari Cita-cita yang kalah,’ dan dengan berani menerima aktualisasi sepenuhnya dari Cita-cita ini, termasuk resiko yang tek-terhindar dari bencana yang dahsyat. Badiou tepat ketika merujuk pada disintegrasi rejim Komunis, dia mengusulkan maxim: mieux vent un desastre qu’un desetre. Lebih baik bencana keteguhan terhadap Event daripada tidak-acuh terhadap Event. Untuk mem-parafrase kalimat Beckett yang terkenal, dimana aku nanti akan kembali lagi berkali-kali, setelah kita gagal, kita bisa melanjutkan dan gagal dengan lebih baik, sementara keacuhan menenggelamkan kita semakin lama semakin dalam di dalam ceruk dari Makluk yang tolol.

Beberapa tahun yang lalu, majalah Premiere melaporkan sebuah liputan yang menarik tentang bagaimana sejumlah ending film Hollywood yang paling terkenal diterjemahkan ke sejumlah bahasa non-Inggris utama. Di Jepang, kalimat Clark Gable kepada Vivien Liegh dalam Gone With the Wind, ‘Terus terang, sayangku, aku tidak peduli!’ diganti menjadi ‘Aku takut, sayangku, ada sedikit kesalahpahaman diantara kita berdua’ – bukti atas pepatah dari etiqet dan kesantunan orang Jepang. Sebaliknya, di China kalimat, ‘Ini adalah awal dari pertemanan yang Indah!’ dari Casablanca dirubah menjadi, ‘Kita berdua akan membentuk sel baru perjuangan anti-fasis!’ – perjuangan melawan musuh tetap menjadi prioritas utama, melebihi hubungan pribadi.
Meskipun buku ini mungkin tampak dipenuhi pernyataan konfrontatif dan ’provokatif’ yang eksesif (apa yang hari ini bisa lebih ‘provokatif’ daripada menunjukkan bahkan hanya sekedar simpati yang minimal untuk memahami teror revolusioner?), tapi sebenarnya lebih pada upaya untuk menerapkan penggantian sesuai dengan contoh yang dikutip di Premiere: dimana sebenarnya saya tidak peduli dengan lawan saya, saya katakan bahwa ada sedikit kesalahpahaman dimana apa yang dipertaruhkan adalah berbagi medan pertarungan politis-ideologis yang baru, mungkin akan tampak bahwa saya sedang bicara tentang pertemanan dan aliansi akademik…Sehingga, terserah pembaca untuk membongkar petunjuk yang ada didepannya.


[1] Pembalikan ini mengikuti logika yang sama dengan tanggapan yang tepat dari kelompok Kiri-Tercerahkan terhadap diktum terkenal Joseph Goebbel, “Kalau dengar kata budaya, saya langsung ambil senjata”: “Ketika dengar suara senjata, saya langsung ambil budaya saya.”
[2] Lihat wawancaranya, “Demokratie befordert Bullshit,” Cicero, March 2007, pp.38-41
[3] Dari khotbah “Jesus Entered,” diterjemahkan dalam Reiner Schuermann, Wandering Joy, Great Barrington, MA: Lindisfarne Books 2001, p.7
[4] Lantas, apa makna Lompatan Keyakinan ini terkait dengan berpihak pada isu politik tertentu? Apakah kita tidak lantas tereduksi mendukung sikap standar Liberal-Kiri, dengan ungkapan bahwa ‘ini masih belum Yang Sebenarnya,’ bahwa Langkah Besarnya masih ada di depan? Disinilah letak poin kuncinya: tidak, bukan seperti itu. Bahkan kalau tampaknya tidak ada ruang, dalam konstelasi yang ada sekarang, bagi aksi emansipatoris radikal, Lompatan Keyakinan ini membebaskan kita bagi sebuah perilaku yang sepenuhnya terbuka dan tegas terhadap semua kemungkinan aliansi strategis: ini memungkinkan kita untuk memutus lingkaran setan dan pemerasan Kiri-Liberal (‘kalau kalian tidak memilih kita, pihak Kanan akan membatasi aborsi, menerapkan legislasi rasis…’), dan mengambil untung dari wawasan jadul Marx tentang bagaimana kaum konservatif yang cerdas kerap melihat lebih jauh (dan lebih sadar akan antagonisme dari tatanan yang ada) daripada kalangan progresif liberal.
[5] Lihat Todd Dufresne, Killing Freud: 20th Century Culture & the Death of Psychoanalysis, London: Continuum 2004
[6] Le Livre noir du communisme, Paris: Robert Laffont 2000
[7] Le Livre noir dela psychoanalyse; vivre, penser et aller mienze sans Freud, Paris: Editions Les Arenes 2005
[8] Dikutip dari Eric Aeschimann, “Mao en chair,” Liberatisa, January 10, 2007.
[9] Francois Regnault, Notre objet a, Paris: Verdier 2003, p.17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar