Kenapa di film James Bond terbaru gak ada adegan seksnya, kenapa belanja buku di Amazon.com itu membuat kita jadi gak berkembang, atau ada bahaya yang lebih besar dari konsep kapitalisasi pendidikan dari sekedar biaya pendidikan mahal, yaitu hilangnya ruang penalaran publik (Public Use of Reason), semuanya digarap Zizek dengan lancar dan gayanya yang khas, ala klip video MTV, meloncat dari satu konsep ke konsep lainnya, dari contoh kandidat novel terjelek sepanjang masa (The Lost Symbol dari Dan Brown), sampai konsep Totalitas dari Hegel, atau guyonan yang sangat vulgar tentang seorang yang mendapati kabar dari dokter setelah istrinya habis dioperasi...
Kali ini Zizek menyampaikan ceramah di IQ2 [dibaca: Intelligence squared] dalam rangka Great Minds series, yang berlangsung di Cardogan Hall, London pada 1 Juli 2011. Posting ini adalah transkrip dari isi ceramah itu, sementara videonya bisa diunduh di sini
GREAT MIND, SLAVOJ ZIZEK
Mudah-mudahan ini berfungsi. Terima kasih banyak, saya sangat bangga bisa hadir disini. Ini karena satu alasan yang sangat spesifik. Baru saja saya dikasih tahu jika aula ini dulunya adalah gereja, tapi sekarang menjadi graha budaya tempat kegiatan ceramah, konser dan sebagainya. Ya ampun, inilah yang mereka lakukan terhadap gereja pada akhir 1920an dan awal 1930an, dibawah kekuasaan Stalin. Merubah gereja menjadi graha budaya, tempat konser dan sebagainya, karena itu, senang bisa berada disini, bagian wilayah London yang benar-benar Bolshevik.
Oke, saya akan mulai dengan status ideologi hari ini. Buku yang seharusnya saya presentasikan, atau saya rujuk, Living in the End Times, pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk menghidupkan kembali tradisi lama yaitu kritik atas ideologi. Pertama melalui beberapa contoh, saya akan berusaha untuk meyakinkan anda bahwa ideologi masih segar bugar. Saya akan mulai dengan contoh yang mungkin akan mengagetkan anda. Dua film pemenang Oscar tahun ini, yang satu film Inggris, the King Speech, dan satunya lagi adalah the Black Swan. Saya hampir tidak bisa membayangkan, contoh yang lebih pas soal ideologi. Saya akan mulai dengan the King Speech.
Yang jadi masalah dengan menjadi seorang raja, penyebab dari kegagapannya, kalau anda nonton filmnya, adalah ketidakmampuannya untuk mengemban peran simboliknya, untuk menyesuaikan diri dengan gelarnya. Jadi menurut saya, kebalikan dari apa yang ditampilkan di awal film, calon raja itu sebenarnya adalah seseorang yang cukup normal. Dia cuma sekedar memakai sedikit akal sehat, seperti, siapa sih yang akan begitu bodohnya bilang, ini adalah hak suci saya untuk menjadi raja dan sebagainya. Dan saya membaca bahwa film ini adalah sebuah kisah yang menyedihkan soal bagaimana menjadikan orang ini, yang jelas memiliki kecerdasan, membuatnya cukup bodoh untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang raja. Anda ingat bagaimana, ketika di penghujung film, si pelatih, si orang Australia, menduduki kursi sang raja. Sang raja yang marah menghardiknya, betapa beraninya dia menduduki kursinya. Dan si pelatih menjawab, “memangnya kenapa, hak apa yang kamu miliki untuk duduk di kursi ini, dan bukan saya.” Sang raja membalas, “karena saya adalah Raja, karena hak suci. Dan dengan jawaban itu, si pelatih mengangguk dengan puas. Tadinya dia aku anggap bodoh, tapi sekarang dia dengan serius menganggap dirinya seorang raja”.
Menurut saya, serius, bahwa pesan yang hendak disampaikan disini adalah bahwa, tahukah anda betapa seringkali kita, oleh berbagai pihak, diberitahu bagaimana kita saat ini tengah hidup di tengah adanya krisis kekuasaan, otoritas patriarikis, dan tentunya persepsi reaksioner, atau lebih tepatnya konservatif, terhadap krisis. Dan pelajaran dari film ini persisnya adalah, meskipun anda, laki-laki, tahu bahwa untuk menjalankan peran simbolis anda, sebagai ayah, guru, raja, sebenarnya sedikit konyol, tapi sudah menjadi kewajiban anda untuk menerima kekonyolan ini. Untuk menjadi cukup konyol untuk mengambil peran otoritas.
Sekarang film lainnya, the Black Swan, menurut saya, mudah-mudahan anda menontonnya, yang dibintangi Natalie Portman dan lainnya, justru jauh lebih parah. Film ini lebih seperti pasangan anti-feminisnya. Film itu, menurut saya, mengandung salah satu mitos paling reaksioner tentang femininitas. Kenapa dalam semesta maskulin, seperti yang kita dapati di film the King Speech, sementara laki-laki, jika dia menjadi cukup bodoh, setidaknya bisa mencapai kedua-duanya: dimana anda bisa memegang gelar anda, otoritas, dan tetap memegang kehidupan privat, yang bisa disebut mitos anti-feminis, sejak dongeng lama sampai film Gislowski, Double life of Veronique, yaitu mitos bahwa seorang perempuan harus memilih. Tempat alamiah anda adalah untuk menarik diri dari peran karir publik, untuk menjalankan peranan anda dalam keluarga. Dan kalau anda memilih misi anda, kegiatan yang paling anda sukai, atau karir, maka anda harus menebusnya dengan nyawa. Menurut saya, inilah pesan utama dari film kedua.
Jadi, bisa anda lihat, disinilah hari ini posisi kita, menurut dua film populer. Laki-laki harus cukup bodoh untuk mengambil peran sebagai otoritas; perempuan, jangan mengejar karir, karena kalau begitu, anda akan mati.
Mari kita beranjak dengan mengambil contoh lainnya dari film. Bagaimana kita bisa mendeteksi latar ideologis ini dalam budaya populer. Menurut saya, aturan dasarnya disini adalah menerapkan konsep yang dielaborasi oleh linguistik struktural, yaitu apa yang disebut diferensialitas. Yang penting tidak hanya sesuatu itu sendiri, yang juga penting adalah sesuatu itu bukan apa. Yang penting tidak hanya apa yang anda katakan, tapi juga apa yang tidak anda katakan. Apa yang dimaksudkan dengan mengatakan apa yang anda katakan. Tentu saja, kita bisa ambil, dan saya harap anda pernah dengar, salah satu dialog dari cerita Sherlock Holmes. Yang ini adalah dari Silver Blazes, dialog pendek antara detektif Gregory dan Holmes sendiri, yang memberi contoh yang pas tentang diferensialitas. Sebuah obrolan tentang insiden yang melibatkan seekor anjing dimalam hari. Berikut dialognya.
“Apa ada hal lain yang aku perlu tahu” tanya detektif Gregory kepada Sherlock Holmes.
“Soal insiden aneh yang dialami anjing di malam hari. Semalam si anjing tidak berbuat apa-apa, itulah yang aneh”
Bagaimana ini berlaku dalam hal ideologi. Ada guyonan yang sangat bagus dari film masterpiece karya Ernst Lubick, Ninocka. Si pemeran utama masuk ke cafetaria, dan memesan kopi tanpa krim. Dan berikut ini jawaban yang sangat bagus dari si pelayan.
“Ma’af, kami kehabisan krim, kami hanya punya susu. Gimana kalau saya buatkan kopi tanpa susu.”
Menurut saya, itu adalah jawaban yang benar-benar tepat. Kopi tanpa krim dan kopi tanpa susu bukan hal yang sama. Yang tidak anda dapatkan adalah bagian dari identitas dari apa yang anda dapat. Apa maksudnya?
Kalau kita mengikuti logika ini sampai titik ekstremnya, anda juga bisa mendapati sebuah negasi ganda, dimana ketika anda tidak punya, dalam hal ini kopi tanpa krim, atau susu, hasilnya bukan kosong. Tapi apa?
Contoh lain, yang terakhir dari saya, yang diambil dari budaya populer, dari awal 1990an. Film yang dibintangi oleh Ewan McGregor, sebelum dia menjadi Jedi, ketika dia masih memainkan peranan sebagai karakter kelas pekerja, dalam film Brush Off. Si aktor mengantar si aktris pulang, setelah berkencan, seorang wanita muda dan cantik, yang, di pintu flat-nya mengatakan,
“Kamu mau masuk dan ngopi?” Si aktor menjawab, ”masalahnya aku tidak minum kopi”. Sambil tersenyum dia menjawab, “Gak masalah, aku juga gak punya kopi”.
Yang saya sukai dari dialog ini adalah, yang kita dapati dari negasi ganda ini adalah mungkin, ajakan yang paling erotis namun tidak vulgar. Itu yang saya maksudkan. Saya mengundang anda minum kopi, dan saya negasikan kopi, dan hasilnya bukan kosong, hasilnya adalah murni ajakan.
Kenapa kita perlu membahas guyonan dialektis semacam itu? Karena menurut saya, itu memungkinkan kita untuk memahami bagaimana ideologi bekerja. Untuk mendeteksi apa yang disebut dengan distorsi ideologis. Kita perlu mencatat, tidak hanya apa yang dikatakan, tapi pertukaran rumit antara apa yang dikatakan dan tidak dikatakan. Yang tak-terkatakan termaksud dalam apa yang terkatakan. Apakah kita mendapati kopi tanpa krim atau kopi tanpa susu.
Bahkan ada ekuivalensi politik langsung terhadap guyonan soal kopi tanpa krim dan kopi tanpa susu ini. Seorang oposan dari Polandia yang menceritakan hal itu kepada saya. Dalam salah satu guyonan terkenal dari Polandia semasa sosialis, seorang pembeli masuk ke sebuah toko, dan bertanya, ”Anda mungkin tidak jual mentega. Atau anda punya?” jawabnya, “ Ma’af, tapi kami bukan toko yang tidak jual mentega, tapi kami toko yang tidak menjual tisu. Toko yang tidak menjual mentega ada di seberang jalan’
Kita ambil contoh yang lebih detil. Di Brazil saat ini dikenal dengan karnavalnya. Dan seperti yang sering disampaikan, manusia dari berbagai latar belakang kelas menari bersama dijalanan, yang untuk sesaat melebur perbedaan kelas, ras, sosial dan sebagainya. Tapi tentu saja berbeda jika seorang pekerja penganggur, ikut menari dan melupakan kekhawatirannya tentang bagaimana bisa memberi makan keluarganya, dengan seorang bankir kaya, yang membaur dan merasa puas karena bersatu dengan orang lain. Mereka berdua sama-sama menari di jalanan yang sama. Tapi si pekerja menari tanpa susu, sementara si bankir menari tanpa krim.
Anda juga bisa membayangkan dialog berikut antara AS dan Eropa pada akhir 2002, ketika mereka menyiapkan rencana invasi ke Iraq. AS berkata kepada Eropa, “Apa anda mau bergabung dengan kami menyerang Irak untuk menghancurkan senjata pemusnah massal.” Tanggapan kritis pihak Eropa “tapi kami tidak punya fasilitas untuk mencari senjata pemusnah massal”. Lantas Rumsfeld atau seorang perwakilan AS menjawab, “tidak masalah, di Irak memang tidak ada senjata pemusnah massal”. Disini persis yang berlaku adalah logika yang sama.
Sekarang kita sedikit membahas yang lebih serius. Kenapa kita tidak bisa melihat hal yang bisa kita temui ada di Ideologi. Bagaimana ideologi melakukan pengkaburan ini. Menurut saya, ada anekdot, maaf kalau anda sudah tahu, dari masa Perang Dunia I, yang persis menjelaskan kondisi keterpurukan kita hari ini, dan bagaimana kita melihat hal yang kita lihat tapi kita tidak bisa melihat hal yang juga kita lihat. Guyonan ini adalah tentang pertukaran telegram antara markas besar tentara Jerman dan Austria di tengah-tengah Perang Dunia I. Pihak Jerman dari Berlin mengirim pesan kepada Vienna, “Di medan tempur kami, situasinya serius tapi tidak katastropis.” Kemudian pihak Austria menanggapi, “Di medan tempur kami, situasinya katastropis tapi tidak serius.” Bukankah begitu juga kebanyakan kita hari ini, setidaknya di negara-negara maju, menanggapi bahaya global kita. Kita semua tahu tentang katastropis yang mengancam, ekologis, sosial, dan seterusnya. Namun entah bagaimana, kita tidak bisa menanggapinya dengan serius. Dalam psikoanalisis, perilaku semacam ini disebut pemisahan fetisistis. Saya tahu benar, namun...
Namun apa? Namun saya tidak benar-benar meyakininya. Dan menurut saya, pemisahan semacam ini adalah indikasi nyata dari daya material dari ideologi yang mengakibatkan kita mengingkari apa yang kita saksikan dan ketahui. Kita juga menyebut ini sebagai mekanisme dari apa yang kadang disebut Freud sebagai isolasi. Dimana kita menerima fakta, tapi kita tidak benar-benar menanggapinya, secara abstrak sebagai label simbolik. Kita tidak benar-benar mengintegrasikannya. Kita hanya secara rasional menanggapinya bahwa memang itu terjadi, tapi entah kenapa kita menunda efisiensi simbolisnya. Beginilah, menurut saya, ideologi bekerja hari ini. Ideologi bukan terletak pada apa yang kita ketahui atau tidak ketahui. Kita bisa saja tahu banyak hal. Ideologi terletak di dalam pilihan kita, dimana meskipun kita tahu akan sesuatu, kita bertindak seolah kita tidak mengetahuinya.
Saya akan sedikit berimprovisasi disini, karena menurut saya mekanisme ideologis ini sangat penting. Inilah apa yang saya sebut fungsi fetisistis dari ideologi. Peranan ideologi yang lama lebih dipahami sebagai hal yang simptomatis, maksud saya simptom, sebagai kembalinya yang terpendam. Kita mendasarkan hidup kita dengan kebohongan, anda memendam, mengabaikan sejumlah kebenaran yang traumatis, tapi apapun yang kita lakukan, kebenaran yang terpendam itu suatu saat akan kembali, dalam salah satu bentuk simptomatis. Hanya sekedar contoh remeh dari kehidupan sehari-hari, seorang remaja mengalami trauma akibat seks, dan agar bisa melupakannya, mencari pelarian dalam bidang fisika dan matematika. Tapi cepat atau lambat, dia akan mencoba menjawab persoalan seperti, berapa banyak energi yang dikeluarkan ketika dua tubuh saling menghangatkan dan sebagainya.
Tapi yang jauh lebih menarik, menurut saya adalah, fungsi fetisistisnya, yang saat ini berlaku. Dimana kita tidak mengingkari apapun. Kita hanya, melalui fetis menciptakan jarak, tidak menghadapinya secara serius. Kebetulan, seperti yang saya tulis di buku terakhir saya, Living in the End Times, menurut saya, ini menjelaskan kenapa dan bagaimana, meskipun, sebagian dari kita tidak hanya meyakini para ilmuwan, dalam arti tahu benar bahwa situasi saat ini berpeluang untuk katastropis, tapi tetap saja kita tidak siap untuk melakukan sesuatu. Sekalipun kita tahu akan ancaman katastropis, kita tidak bisa membawa diri kita untuk melakukan sesuatu terhadap ancaman itu.disinilah fetis bekerja. Jadi apa fetis itu?
Saya akan mengulangi sebuah cerita lama tentang sahabat saya, yang sangat tragis, yang menikah dan istrinya yang masih muda dan cantik meninggal. Cerita yang cukup umum, mereka pergi ke dokter, diperiksa ternyata mengidap kanker payudara, dan dua bulan setelah itu, istrinya meninggal. Yang mengagetkan kami para sahabatnya adalah orang ini, sepeninggal istrinya, benar-benar siap, setiap saat, untuk membicarakan tentang momen paling menyakitkan dari peristiwa kematian istrinya. Kami tidak harus berpura-pura untuk tidak menyinggung apa yang sudah terjadi di depannya, sebab itu bisa membuatnya trauma. Sama sekali tidak, sebab dia bisa membahas tentang semua itu. Kami malah jadi punya kecurigaan, ada masalah apa dengan teman kami ini, jangan-jangan dia tidak mencintai istrinya, layaknya seorang yang sinis dan kejam. Sampai kemudian kami paham rahasianya. Setiap kali dia membicarakan tentang mendiang istrinya, dan pengalaman paling menyakitkan sekitar kematiannya, dia bermain-main dengan seekor hamster. Dan hamster itu jelas adalah fetis-nya, dan juga adalah binatang piaraan kesayangan istrinya. Sehingga, dalam arti tertentu, bermain-main dengan hamster berarti saya bisa membicarakan tentang istriku, tapi hamster itu adalah pengganti fetis bahwa istriku masih tetap hidup, dan saya tidak menerima bahwa dia sudah meninggal..
Mungkin sekarang anda bilang, itu omong kosong, sekedar analisis-semu yang primitif, bagaimana bisa saya tahu. Sayangnya saya memang tahu, sebab ketika si hamster juga meninggal setengah tahun kemudian, tiba-tiba saja orang itu ambruk, dan mulai sering kali berupaya bunuh diri, dan karena itu harus dibawa kerumah sakit. Disini anda bisa melihat bagaimana menariknya, secara ideologis dan sosial, dari fungsi fetis ini. Seorang yang fetisistis bukan layaknya idiot, dimana anda memiliki fetis dan tidak melihat apapun lainnya. Seorang fetisistis bisa berlaku secara sinis dan realistis, mereka berpura-pura menerima kehidupan apa adanya. Sebab diam-diam, fetis mereka memungkinkan mereka untuk mendapatkan jarak, sehingga tidak harus sepenuhnya dan secara emosional menanggung apa yang mereka ketahui secara rasional.
Misalnya, dugaan saya bahwa, seorang manajer top modern, khususnya di AS, salah satu contoh fetisnya adalah apa yang secara ironis saya sebut, Budhisme Barat. Yaitu semacam spiritualitas-semu yang melibatkan meditasi transendental. Itulah fetis mereka. Mereka bisa saja memainkan semua permainan kotor di pasar, tapi jauh di lubuk hati mereka menganggap bahwa semua itu hanya permainan penampilan, yang sejati adalah diri-internal saya, dan seterusnya. Karena itulah saya menganggap bahwa kita tidak bisa menjadi seorang subyek yang benar-benar sinis. Orang yang bersikap seolah-olah sebagai pribadi yang sinis – saya tidak punya nilai ideal, hidup ini hanya pertarungan yang brutal, dan seterusnya – menurut saya selalu terdapat sebuah fetis. Pertanyaan yang perlu kita ajukan seharusnya adalah: okay, memang demikian, tapi dimana hamstermu, atau bentuk lainnya?
Dan hamster ini juga bisa dieksternalkan. Seperti contoh dimana, anda perlu membedakan dengan tegas antara keyakinan subyektif anda, dalam arti apa yang kita anggap serius, dan apa yang secara obyektif anda yakini tanpa sadar, bahwa anda meyakininya. Menurut saya, pelajaran dasar dari psikoanalisis yang hari ini masih sepenuhnya aktual adalah bahwa persis kebalikan dari apa yang biasa dikaitkan dengan psikoanalisis, yaitu bahwa kita hanya berpura-pura meyakini, tapi dibalik itu kita adalah hedonis dengan hasrat yang saru dan nyeleneh. Sebaliknya, kita meyakini lebih banyak dari pada yang kita tahu kita yakini. Anda bisa saja berpikir bahwa anda adalah seorang yang sepenuhnya sinis dan cuek terhadap apapun, tapi dalam perilaku anda selalu ada perwujudan dari keyakinan anda. Kategori inilah yang saat ini, menurut saya, sangat krusial.
Sori kalau kalian sudah dengar guyonan ini, mungkin sudah yang kedua puluh kalinya, tapi saya hanya ingin menunjukkan struktur dasar dari paradoks ini. Seorang ahli fisika quantum, Neils Bohr, suatu hari di kunjungi sahabatnya di rumah liburannya. Dirumah itu ternyata Neils Bohr memasang ladam kuda diatas pintu masuk. Di Eropa, benda ini dianggap sebagai jimat yang bisa mengusir roh jahat untuk mengganggu rumah dan penghuninya. Si bertanya, “ngapain kamu pasang ladam kuda disini, kamu kan ilmuwan, masa sih percaya sama klenik?” Dan Neils Bohr menanggapi dengan jawaban yang sempurna, “Aku kan ilmuwan, tentu saja aku gak percaya klenik. Tapi ladam kuda itu aku pasang karena ada yang bilang, bahwa meskipun kita gak percaya gituan, itu tetap ampuh.” Begitu pula dengan ideologi hari ini. Kita mungkin tidak percaya dan sinis terhadapnya, tapi kita percaya bahwa ideologi masih tetap akan berfungsi meski kita tidak percaya.
Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan seorang teoris disini? Bagaimana menanggapi semua fenomena ini. Menurut saya, orang pertama yang menunjukkan arah yang benar, meskipun dalam artian negatif, adalah teolog Katolik favorit saya, Gilbert Keith Chesterton. Dalam novelnya, The Man Who was Thirsty, dia mengusulkan untuk membentuk, “kesatuan polisi khusus yang terdiri dari para filosof. “. Menurutnya:
“Tugas dari polisi filosof akan sekaligus lebih berat dan lebih mendalam dari apa yang dilakukan detektif biasa. Detektif biasa akan mendatangi rumah tersangka untuk menahan pelaku, sedangkan polisi filosof akan pergi ke sebuah jamuan sosial untuk mendeteksi keberadaan seorang pesimis. Seorang detektif biasa membongkar kasus berdasar informasi dari buku diari yang menyebut telah terjadi kejahatan, sementara polisi filosof mendapat informasi dari buku puisi bahwa kejahatan akan dilakukan. Kita bisa melacak niat jahat, yang mendorong pelaku untuk melakukan fanatisme intelektual dan kejahatan intelektual itu,”
Mungkin pendapat itu terdengar eksentrik dan gila, tapi, tidakkah pemikir dari mulai Karl Popper, Theodor Adorno sampai Emanuel Levinas, akan menyetujui gagasan seperti itu, walaupun mungkin dengan sedikit modifikasi? Dimana, istilah kejahatan politik diganti dengan totalitarianisme, dan penyebabnya adalah konsep totalitas. Idenya adalah, sebuah jalur yang lurus dari konsep filosofis totalitas akan mengarah pada totalitarianisme. Atau, seperti yang biasanya kita sebut dengan guyonan, garis dari Plato sampai NATO.
Dan tugas dari polisi filosofis adalah mencari informasi dari buku Dialog-nya Plato, atau Social Contract-nya Rousseau, bahwa akan terjadi sebuah kejahatan politik. Sementara polisi rahasia yang biasanya akan mendatangi berbagai organisasi bawah tanah untuk menahan seorang revolusioner, polisi filsafat akan mendatangi seminar filsafat untuk mendeteksi pengusung gagasan totalitas. Atas tuduhan seperti itu, bagaimana kita menanggapinya? Menurut saya, kita membenarkan tuduhan mereka. Kita memang melakukan aktivitas intelektual, namun tidak seperti yang dimaksud Chesterton. Kita bukannya hendak menghancurkan masyarakat, tapi justru hendak memperbaikinya. Kita, yang disebut sebagai intelektual kritis, menunjukkan, menampilkan, memblejeti, bagaimana masyarakat justru tengah menafikan nilai-nilai dasarnya.
Yang menjadi tugas kita adalah (dan disini saya juga akan sangat kritis terhadap komunisme abad 21): tidak cukup dengan menyatakan bahwa, sebagai cita-cita, komunisme masih sangat luhur, masalahnya adalah kekeliruan dalam penerapannya selama Uni Soviet dimasa Stalin. Intelektual kritis harus menunjukkan bagaimana bahwa kesalahpahaman, distorsi terhadap sebuah cita-cita luhur itu, ternyata justru bersumber dari cita-cita itu sendiri. Dan kalau kita bisa melakukannya terhadap Stalinisme, maka hari ini kita juga harus dengan jujur berani melakukannya terhadap kapitalisme global.
Tentu saja saya bukan seorang anti-kapitalis dalam artian yang abstrak dan naif, tapi dalam artian yang lain, yaitu yang seperti berikut: ketika hari ini kita menyebut tentang kapitalisme global, menurut saya, seharusnya kita tidak hanya melihat negara-negara maju saja, tapi juga melihat negara seperti Kongo (yang bahkan tidak berfungsi layaknya negara, dimana ada pimpinan geng lokal, yang masing-masing punya kontrak eksklusif dengan perusahaan pertambangan internasional). Poinnya adalah bahwa, negara-negara yang kacau balau ini, bukannya bentuk penyimpangan (yah, mereka kan negara yang masih primitif, belum berkembang sepenuhnya sebagai negara kapitalisme) dari sistem kapitalisme, tapi justru merupakan bagian yang terpadu dari totalitas kapitalisme hari ini.
Dan istilah totalitas disini saya pakai dengan sengaja dengan memahami sepenuhnya maknanya. Sebab, saya kira, konsep totalitas ini perlu kita kembalikan lagi pemahamannya hari ini. Totalitas tidak berarti, membenarkan semua kejahatan dengan cara, memahami kejahatan itu sebagai bagian dan masing-masing punya peranan tertentu dalam kerangka harmoni secara global. Dan inilah yang kerap mereka tuduhkan terhadap Hegel, dimana semua kejahatan adalah bagian dari rancangan ilahi, dan semuanya ada penjelasannya.
Tetapi justru sebaliknya, konsep Totalitas Hegelian justru harus dipahami sebagai berikut: kalau kita mengamati sebuah fenomena, dan agar kita bisa mengamatinya sebagai sebuah totalitas, maka kita harus memasukkan semua aspeknya (penyimpangan, penyakit, antagonisme, inkonsistensi, dsb). Totalitas berarti bahwa kita tidak bisa, misalnya, ketika menyebut tentang kapitalisme, negara-negara seperti Kongo, atau apa yang terjadi di China (dimana kapitalisme berkembang dibawah rejim komunisme), kita pandang sebagai pengecualian, dan tidak termasuk. Tentu saja mereka termasuk, karena semua inkonsistensi, kontradiksi, kengerian dan sebagainya, harus dimasukkan di dalamnya.
Atau memakai penjelasan lain, yang juga dengan menarik dirumuskan juga oleh Chesterton sendiri, dalam karyanya Orthodoxy. Dia menunjukkan bagaimana kritik terhadap agama dimulai dengan mengecam agama sebagai kekuatan penindas yang mengancam kebebasan manusia, namun dalam upayanya untuk mengkritik agama ini, para pengkritik justru mengorbankan hal yang katanya ingin mereka bela dari cengkeraman agama, yaitu kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, anda hendak membela nilai tertentu, dengan begitu fanatiknya hingga, untuk melawan pihak yang dianggap mengancam nilai yang kita bela itu, kita justru siap mengorbankan nilai yang dari awal kita bela itu. Kalau boleh agak menyimpang sedikit, seperti yang dilakukan oleh para 'pahlawan anti teror', dimana mereka begitu mencintai kebebasan kita, hingga mereka bahkan siap untuk menyiksa, dan mengorbankan kebebasan orang, hanya untuk membela kebebasan itu sendiri.
Dan sekarang kita kembali ke poin awal saya, bagaimana kita bisa mendeteksi terjadinya distorsi internal ini, dimana sesuatu menemui masalah, namun sebagai sebuah keniscayaan, dimana kita memiliki gagasan tertentu, menerapkannya, dan ternyata dia berubah menjadi kebalikannya. Untuk itu saya akan memakai penjelasan filosofis yang diberikan oleh Emmanuel Kant, dengan apa yang dia sebut sebagai, Penalaran Publik (Public Use of Reason), sebagai kebalikan dari Penalaran Privat (Private Use of Reason). Yang dimaksud Kant dengan Penalaran Publik ini bukan sekedar kuliah umum atau semacam itu, tapi justru lembaga negara, gereja, dan sistem hukum adalah Penalaran privat, karena mereka menempatkan nalar dibawah tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bagi Kant, Penalaran publik berarti penalaran yang ditarik dari seluruh hirarki sosial dan politik, dimana kita bisa secara bebas berpikir dan memahami semua konsekuensi dan sebagainya.
Kenapa ini begitu menarik? Sebab hari ini, menurut saya, di Eropa kita tengah menyaksikan serangan besar-besaran terhadap penalaran Publik ini. Tidak hanya yang berlangsung terhadap kalian (maksud saya kalian di Inggris sini, dimana pemerintah konservatif mengusulkan reformasi sistem pendidikan) tengah penerapan yang paling radikal dari serangan ini, tapi hal yang sama juga berlaku di penjuru Eropa. Yang tengah berlangsung adalah upaya untuk merubah universitas sebagai ruang kebebasan menjadi pabrik sosial yang akan memproduksi ahli. Mereka beralasan bahwa masyarakat (dalam hal ini negara dan pemodal) ingin menjadikan universitas sebagai pencetak tenaga ahli.
Seperti yang disampaikan perdana menteri Prancis kepada saya beberapa tahun yang lalu, “ambil contoh misalnya demonstrasi besar-besaran yang terjadi di pinggiran kota Paris, dimana massa dan para pemuda membakari mobil dan seterusnya. Disini kita perlu intelektual. Kita perlu psikolog untuk memberitahu bagaimana cara mengendalikan massa, kita perlu ahli tata kota untuk memberitahu bagaimana cara merestrukturisasi daerah pinggiran kota sehingga massa tidak gampang terkonsentrasi dan seterusnya.” Dan seperti itulah yang ingin mereka lakukan terhadap kita. Apa ini bisa disebut kehidupan intelektual? Menurut saya, tidak. Ini adalah justru apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh intelektual, terlebih lagi hari ini. Intelektual sejati tidak menyelesaikan masalah yang diajukan oleh orang lain. Langkah pertama dari sebuah kerja intelektual adalah justru melakukan refleksi atas masalah itu sendiri. Bagaimana jika cara kita memahami masalah itu adalah justru bagian dari masalah itu sendiri. Bagaimana jika cara kita memformulasikan sebuah masalah, memistifikasi sebuah masalah.
Saya kira kita, sebagai golongan Kiri radikal, ketika menanggapi omongan kaum konservatif, bahwa warisan luhur Judeo-Kristen Eropa tengah terancam oleh kaum imigran muslim, bukannya bersikap seperti kebanyakan kaum liberal yang biasa menampilkan rasa sok bersalah dan beban sejarah sebagai ras kulit putih [white's man burden], dan gemar memakai konsep multikulturalisme yang abstrak, kita perlu membalik pertanyaannya kepada kaum konservatif sendiri, dengan cara seperti yang ditunjukkan Chesterton terhadap para pengkritik agama. “Ya, memang benar bahwa warisan luhur Yudeo-Kristen Eropa hari ini tengah terancam, tapi penyebabnya bukan kaum imigran miskin Pakistan atau Muslim, dan sebagainya, tapi justru mereka yang menyebut diri sebagai pembela Eropa. Dan inilah yang harus kita pakai untuk mengkritik mereka yang mengusulkan reformasi universitas. Yang tengah kalian lakukan terhadap universitas inilah yang justru menjadi ancaman yang sejati bagi warisan yudeo-kristen, dan Eropa, yang dimana salah satu warisannya yang paling luhur adalah justru Penalaran publik yang tengah terancam hari ini.
Mungkin kalian ingat salah satu dialog menarik dari To be or Not to be dari sutradara Ernest Lubic, dimana seorang aktor Polandia yang berpura-pura sebagai perwira Nazi dengan perwira Gestapo [polisi rahasia] Jerman di Polandia pada tahun 1942. Si Polandia yang narsistis bertanya kepada si Gestapo, ”kamu kenal gak sama aktor Joseph Tourach,” yang tentu saja adalah dia sendiri. “Ya, tentu saja. Dia memperlakukan Shakespeare seperti kami [Jerman] memperlakukan kalian [Polandia]. Dan seperti inilah yang perlu kita katakan kepada para pembela warisan Eropa itu, bahwa “kalian memperlakukan warisan Judeo-Kristen seperti halnya Hitler memperlakukan orang Yahudi”.
Jadi poinnya disini adalah, jangan terlalu menganggap tinggi pihak musuh. Apa yang menjadi pelajaran pentingnya? Hari ini kita hidup di jaman yang nyeleneh dimana ruang publik semakin lama semakin terprivatkan, serta cara operasi ideologi itu sendiri juga berubah. Jika dalam periode kapitalisme klasik, dua pelaku ideologis utamanya adalah sistem hukum dan pendidikan (dimana pendidikan membentuk masyarakat sebagai subyek borjuis dan sistem hukum sebagai koordinat dari kebebasan) hari ini, menurut saya, pasarlah yang menjadi penentu utama. Logika pasar yang semakin memantapkan diri sebagai ideologi hegemonis. Misalnya dalam hal pendidikan. Nilai borjuis klasik, yaitu pendidikan wajib, peluang yang sama bagi semua warga negara, secara bertahap semakin dipreteli, dan diganti dengan formula, biaya rendah, efisiensi tinggi, beragam layanan pendidikan privat. Dalam hal politik, negara semakin lama menampilkan diri seperti layaknya beroperasinya pasar, dimana dalam pemilu, kita membeli (memilih) seperti halnya di pasar, produk yang terbaik.
Bahkan dalam domain relasi emosional, kita bisa menyaksikan hal ini, apa yang bisa disebut komodifikasi-diri. Apa artinya? Apa yang terlintas di benak kalian jika melihat sejumlah film terbaru Hollywood, seperti yang sudah saya singgung sedikit di depan, misalnya film terakhir James Bond, Quantum of Solace. Merasa ada yang aneh nggak dari film itu? Memang sih, film itu terkesan progresif dimana James Bond sepertinya membela rejim Evo Morales dari kudeta kapitalis, tapi ada yang aneh adalah bahwa di akhir film tidak ada seksnya. Ini adalah untuk pertama kalinya film James Bond diakhiri dengan pasangan Bond dan cewek Bond, hanya berpelukan, terlalu trauma, dan tidak terjadi apa-apa. Kita cari contoh yang lebih murahan, dan tidak bisa lebih rendahan lagi dari ini, Dan Brown, Da Vinci Code. Merhatikan ndak kalau di film itu, tidak ada seks. Dan menurut saya, ini harus dibaca sebagai, bahwa Yesus sendiri harus bercinta, ada seks disana adalah untuk menyamarkan bahwa disini, antara si Robert Langdon dan keturunan Yesus, tidak ada seks. Di the Lost Symbol, yang menurut saya adalah salah satu kandidat dari novel terburuk sepanjang masa, sama sekali tidak ada, bahkan sekedar ketertarikan seksual. Di film terakhirnya Dan Brown [Angels and Demons], situasinya lebih menarik lagi, dimana di novelnya ada seksnya, tapi difilmnya tidak ada. Ini menarik karena sampai sekarang orang bilang, Hollywood memasukkan seks untuk membuat filmnya lebih komersial, tapi sekarang Hollywood membuang seks. Mengapa?
Menurut saya, ini adalah bagian dari komodifikasi-diri subyektif, dimana bahkan hubungan romantis yang bergairah, semakin dilihat sebagai hal yang membahayakan. Pandangan subyektif yang narsisistis dan solispsistis ini semakin menguat hari ini sehingga (seperti contoh lama saya; kopi tanpa kafein, sosis tanpa lemak, pemanis tanpa gula, bir tanpa alkohol, dan sebagainya) kita menginginkan cinta tanpa resiko momen romantisnya. Dalam bahasa Inggris dan Prancis, dipakai istilah yang sama, Jatuh Cinta. Dan sahabat saya Alain Badiou menemukan iklan koran di Prancis untuk biro perjodohan, yang menampilkan kalimat yang sangat menarik, “Kami akan membantu anda untuk mendapat Cinta tanpa merasakan Jatuh-nya”. Idenya adalah resiko akibat momen dimana kita mesti membuka diri terhadap sebuah hubungan dengan pasangan perlu dikendalikan. Jadi kira-kira seperti inilah dunia dimana kita hidup hari ini.
Saya akan menutup dengan beberapa kesimpulan.
Pertama, ketika saya katakan bahwa ideologi dominan hari ini adalah kapitalisme pasar dan neoliberalisme, maksudnya bukan hanya seperti pandangan membosankan dari kaum Kiri seperti yang biasanya, 'oh kita harus melawan neoliberalisme, bla..bla..bla.' Menurut saya, terhadap neoliberalisme kita harus melakukan hal yang sama terhadap para pembela warisan Judeo-Kristen, yaitu bahwa kita harus selalu ingat bahwa neoliberalisme adalah sebuah ideologi, bukan sebuah realitas ekonomi, dimana tidak ada seorangpun yang menerapkannya. Apakah AS menerapkan neoliberalisme? Justru sebaliknya, lihat saja ekonomi mereka, tidak hanya dibawah Obama hari ini, tapi bahkan sebelumnya dibawah Bush, ratusan miliar dollar anggaran negara yang dipakai untuk mengintervensi pasar dan sebagainya. Neoliberalisme disini hanya dipakai sebagai pembenar ekonomi jika, misalnya, ingin mencari pembenaran akan pengurangan dana pendidikan, jaminan sosial, kesehatan, atau untuk menekan negara dunia ketiga, jadi sama sekali bukan realitas.
Nah, apa yang bisa kita lakukan dalam situasi semakin menguatnya ideologi ini? Tentu saja selalu ada celah. Hari-hari ini terjadi berbagai dinamika, mulai Mesir sampai Yunani. Tapi ini menyisakan masalah yang sangat serius. Memang sedang terjadi perubahan di Eropa, mulai Yunani, Spanyol, bahkan sedikit banyak juga di sini di Inggris.
Tapi yang saya khawatirkan dan menakutkan saya adalah fakta berikut. Baru-baru ini saya membaca semacam manifesto dari aksi massa di Spanyol, dan isinya benar-benar menyedihkan bagi saya. Isinya tidak hanya menunjukkan ciri apolitis dari protes yang berlangsung (kami tak peduli dengan politik, mau yang kanan atau kiri, kami hanya ingin hidup yang layak dan bermartabat). Ya kalau seperti itu, bahkan setiap pengikut fasis juga akan setuju. Yang lebih menghawatirkan saya adalah bahwa, meskipun manifesto ini ditulis sebagai upaya untuk menyerang polarisasi kelas yang tengah berlangsung, namun mereka ternyata tidak menyatakan bahwa kami, rakyat, yang akan menggantikan. Isinya masih bentuk tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Dan menurut saya ini adalah situasi yang berbahaya, ketika kita menyerang semua kekuatan politik, namun kita tidak menyatakan bahwa rakyat yang akan mengambil alih, melainkan tetap mengharap pihak lain yang berbuat sesuatu. Maka posisi ini bisa diambil alih oleh entah siapa dengan kepentingannya. Sehingga, kita tengah hidup di masa yang penuh harapan sekaligus berbahaya.
Masalah berikutnya adalah, memang mudah untuk mengkritik kapitalisme. Tapi masalahnya, apakah kita punya model alternatif, sesamar apapun, yang ditawarkan sebagai pengganti kapitalisme. Seperti yang disampaikan seorang sahabat saya di Yunani, bahwa perkembangan disana sangat menarik, dimana situasi sedang kacau, penguasa sedang panik, dan rakyat mungkin akan mengambil alih. Saya katakan, 'oke, itu bagus, tapi apa yang akan mereka lakukan keesokan harinya, setelah rakyat mengambil alih.” Ketika rakyat berkuasa, apa yang akan dilakukan? Apakah sebentuk Keynesianisme, apakah akan menasionalisasi industri, atau apa? Mereka bilang, 'yang terjadi disana sangat menarik, ada semacam egalitarianisme, demokrasi langsung dan sebagainya.' Poin saya adalah, bagaimana kita bisa merubah ini semua menjadi sebuah tatanan baru. Yang ada baru gagasan abstrak dimana, disatu sisi, semacam masyarakat lokal yang swa-kelola, yang menurut saya justru adalah model yang sulit diuniversalkan, disisi lain, adalah semacam model abstrak dari bentuk kapitalisme yang anti-korupsi.
Dan media hari ini begitu berlimpah dengan berita yang bersifat anti-kapitalisme. Tapi justru ini adalah, menurut saya, justru bukti kemenangan mutlak ideologi kapitalisme, dimana hari ini kita tidak mungkin membaca koran tanpa mendapati berbagai berita tentang, misalnya, perusahaan anu mengeksploitasi pekerja anak, perusahaan anu mencemari lingkungan, bank anu menipu nasabahnya, dan sebagainya. Masalahnya adalah semuanya itu disampaikan sebagai sebuah distorsi dari sistem yang bersifat tidak disengaja dan kasuistis. Seolah ada seorang penjahat dan serakah yang bisa disalahkan. Tentu saja ini tidak cukup.
Lantas apakah mungkin mengharap perubahan? Disini saya akan mengakhiri dengan membahas konsepsi tentang apa yang mungkin dan apa yang mustahil. Yang pertama kita perlu perhatikan adalah bagaimana kedua konsepsi ini disandingkan hari ini. Disatu sisi, dalam ranah teknologi dan kehidupan privat, kita dibombardir oleh media dengan persepsi bahwa, pada praktisnya, semuanya mungkin dilakukan. Seperti yang mereka bilang: melalui mekanisme biogenetik kita akan segera bisa mengklon organ tubuh kita, sehingga misalnya, kalau kita butuh jantung baru, kita tidak lagi perlu untuk menunggu dari donor yang sesuai untuk mati terlebih dulu, sehingga praktis kita bisa hidup hampir abadi. Atau dalam ranah kesenangan pribadi, dan saya tidak sedang bercanda, baru-baru ini di New York, saya bertemu dengan seorang ahli bedah yang keahliannya adalah membagi penis laki-laki menjadi dua bagian, sehingga kita bisa punya dua penis, sehingga bisa dipakai untuk meniduri dua perempuan sekaligus, dan sebagainya. Sehingga dalam konteks ini, semua hal adalah mungkin.
Di sisi lain, kalau berkenaan dengan ekonomi, semuanya tiba-tiba menjadi mustahil. Kalau kita ingin meningkatkan anggaran kesehatan, itu adalah mustahil, karena akan membuat daya saing kita rendah. Sehingga kita sekarang tengah mengalami masa yang sangat aneh dimana, disatu sisi, semua hal adalah mungkin dalam hal teknologi dan kehidupan privat, tapi dalam hal kehidupan sosial, kebijakan ekonomi, praktis tidak ada yang dianggap mungkin. Dan ini, sekali lagi, menurut saya adalah hasil dari kekuatan material dari ideologi.
Dan memang mudah untuk mengejek China, tapi mungkin kita sedang situasi yang lebih buruk dibanding China. Mengapa demikian? Pada pertengahan April 2011, media melaporkan bahwa pemerintah China memberlakukan sebuah peraturan baru yang sangat menarik. Sekarang di China dilarang untuk menampilkan di TV, film, novel atau komik, cerita apapun yang berkaitan dengan mesin waktu atau sejarah alternatif. Idenya adalah cerita semacam itu akan berisi hal-hal yang terlalu liar dalam hal historis, sehingga dianggap berbahaya dan harus dilarang. Namun mungkin, dalam hal ini, kita sebenarnya tidak berhak mengejek China. Setidaknya, mereka masih harus secara formal melarangnya. Sementara dengan kita, begitu kuatnya ideologi berkuasa, sehingga kita sendiri yang membatasi hal ini. Sehingga inilah yang menjadi tugas utama filosof, intelektual publik pada umumnya hari ini.
Mungkin memang kita tidak bisa menyediakan solusi baru yang jitu, misalnya apa yang harus dilakukan terhadap global warming, apa yang harus dilakukan menghadapi krisis ekonomi dan sebagainya. Namun kita mungkin bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu kita bisa membuka, meskipun sedikit saja, ruang untuk berpikir yang terbebas dari ideologi. Kita perlu merubah misalnya koordinat ideologis yang mengatur di persepsi kita tentang apa yang dianggap mungkin dan mustahil. Misalnya kita bisa mulai melakukan sesuatu yang bisa membuat peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan adalah hal yang mungkin.
Mungkin ini terdengar sebagai hal yang sekunder, tapi menurut saya sangat penting. Kita mungkin tidak bisa memberi solusi, tapi kita bisa membuka ruang untuk memikirkan tentang solusi yang mungkin dilakukan dan sebagainya. Ini mungkin terlihat sebagai hal yang sangat gampang dilakukan, tapi menurut saya, dalam situasi cengkeraman ideologis hari ini, hal ini justru hal yang paling sulit untuk dilakukan. Karena ideologi sudah begitu merasuk dalam kehidupan sehari-hari kita. Bagi saya, ideologi bukannya tentang hal-hal yang gegap gempita, misalnya memperjuangkan kebebasan, atau apapun, orang tidak lagi menganggap serius hal-hal seperti itu. Lantas apa ideologi itu?
Ideologi adalah pergi ke Starbucks. Mengapa? Tahu tidak apa yang terjadi ketika kita masuk ke Starbucks? Anda bisa menemui berbagai macam poster yang berisi pesan bahwa, kopi kami memang lebih mahal, tapi sekian persennya untuk menyelamatkan anak yang kelaparan, sekian persen untuk menanam pohon, dan seterusnya. Inilah ideologi dalam bentuknya yang paling murni. Kalau dulu, setidaknya kita sadar bahwa kita adalah konsumer, sehingga kita harus melakukan sesuatu untuk beramal, membangun kepekaan sosial dan sebagainya. Namun Starbucks punya gagasan yang sangat cerdas memanfaatkan mekanisme ideologis ini. Kenapa tidak sekalian saja mengikutkan aspek solidaritas dan penebusan konsumerisme di dalam harga komoditi itu sendiri. Sehingga, semakin banyak kita membeli, secara bersamaan, semakin banyak pula kita bisa menampilkan kepedulian sosial kita, solidaritas sosial sudah termasuk dalam harga komoditasnya. Disinilah kekuatan material ideologi. Dan disinilah kita harus bertarung dan memenangkannya.
Terima kasih
Sekarang kita punya waktu 30 menit dan pura-pura kita sedang berdemokrasi.
<ada yang punya pertanyaan, tolong yang singkat>
[saya akan coba untuk singkat. Karena anda menyarankan untuk mempertanyakan pertanyaannya, dan karena anda mengajukan pertanyaan, saya akan mempertanyakan pertanyaan anda tentang apa yang harus kita lakukan. Dan saya ingin melakukannya dengan cara seperti anekdot dari Abbot dan Costello, tentang siapa [who] yang pertama, apa [what] yang kedua dan saya tidak tahu [i don't know] yang ketiga.
Ceritanya ada seorang pelatih baseball yang memberitahu temannya tentang pemain baru.
“Baru saja ada 3 pemain baru yang datang dan namanya menarik, siapa yang pertama, apa yang kedua dan saya tidak tahu yang ketiga.”
Temannya menjawab, “kamu kan pelatihnya, mestinya kan tahu nama mereka?”
“Iya.” kata si pelatih
Tanya temannya “Kalau begitu, siapa nama pemain yang pertama?”
“Siapa.” kata si pelatih
“Iya, itu yang kutanyakan, apa nama pemain pertama,” tanya temannya
”Tidak, Apa itu pemain kedua,” jawab si pelatih
Semakin jengkel, temannya menyahut, “Aku tidak tahu nama pemain kedua, aku cuma ingin tahu nama pemain pertama,”
“Ya itu, siapa pemain pertama, saya tidak tahu pemain ketiga,”
dan seterusnya
Sehingga, siapa disini bagi salah satu pihak adalah pertanyaan, tapi bagi pihak lain adalah jawaban. Dalam artian tertentu, saya berharap kita bisa terus mempertanyakan pertanyaan ini, dan terus memberi tekanan secara ideologis pihak penguasa. Dan menurut saya yang anda lakukan sangat luar biasa karena terus menekan ideologi mereka.]
Disini mungkin saya lebih pesimistis dibanding anda. Mungkin memang ada sejumlah akademisi yang menganggap situasi ini menguntungkan, karena dengan semakin kritisnya mereka, semakin karir akademis mereka meningkat. Tapi menurut saya kita tengah mendekati situasi yang membahayakan. Tidak dalam artian bahwa situasi saat ini tidak cukup baik dan kita menuntut lebih, karena sistem ini (secara sederhana bisa dibilang sistem demokrasi liberal, negara kesejahteraan ala Eropa) perlahan-lahan mendekati titik batasnya. Kalau ada orang yang menuduh saya, 'kalian para komunis gila, menuntut perubahan, cuma mimpi dan utopia,' jawaban saya adalah, dan disini saya malahan bukan komunis yang gigih dan menuntut revolusi dan perubahan, satu-satunya utopia sejati hari ini adalah bahwa nostalgia gaya lama Eropa, yaitu kalau kita asyik-asyik saja, menjalani hidup dengan hati-hati, maka kehidupan di Eropa akan baik-baik saja. Satu-satunya utopia hari ini adalah bahwa hanya dengan sedikit penyesuaian, sistem yang berjalan hari ini akan berlangsung seperti biasanya. Disini saya sangat pesimis.
Pertama, semua ekonom tahu tentang hal ini, bagaimana semua pemerintahan tengah panik menghadapi kemungkinan krisis ekonomi keuangan baru yang bahkan lebih buruk daripada krisis 2008. Kedua, ekologi. Kita tidak tahu banyak apa yang terjadi dan bisa dilakukan hari ini. Yang saya baca belakangan adalah, dan ini bisa ditemukan di media mainstream, meskipun porsinya sangat kecil, sejumlah negara maju mengakui bahwa masa untuk mengatasi pemanasan global dengan cara mengurangi konsumsi karbon dan sebagainya, sudah terlambat, kita sudah kehilangan peluang itu. Hari ini mereka mengerjakan apa yang disebut sebagai geo-engineering, yaitu intervensi besar-besaran terhadap ekosistem global, misalnya dengan menyemprotkan ratusan ton air garam ke udara, yang akan memantulkan sinar matahari, dan berbagai upaya semacam itu. Tapi yang belum diketahui adalah apa dampak dari intervensi ini terhadap keseimbangan ekosistem karena kehidupan saling terkait dalam ekosistem, sehingga perubahan besar disini bisa menimbulkan bencana besar di tempat lain. Dan berbagai masalah lainnya.
Jadi maksud saya adalah, bukannya bahwa situasi yang ada kurang baik dan kita perlu revolusi, tapi bahwa kalau kita tidak berbuat apa-apa, kita akan mendekati bentuk otorianisme gaya baru. Dan disini kita bisa belajar dari apa yang terjadi di China dan Singapura. Apa yang bisa kita pelajari dari sana? Sampai hari ini, ada salah satu argumen yang bagus bagi kapitalisme, bahwa setelah beberapa tahun kediktatoran, cepat atau lambat, ketika situasi mulai berfungsi dengan normal, kapitalisme biasanya mengandung didalamnya tuntutan akan demokrasi. Dan apa yang terjadi di China dan Singapura, dengan apa yang secara puitis kita namakan sebagai Kapitalisme dengan nilai Asia, argumen diatas tidak lagi berlaku. Disini kita mendapati sebuah sistem kapitalisme, yang dalam hal tertentu bahkan lebih dinamik, efisien, produktif, dibanding kapitalisme kebanyakan, namun justru berfungsi secara sempurna dalam koordinat sistem politik yang otoriter.
Poin terakhir yang mau saya sampaikan adalah tentang kabar baik dan kabar buruk. Jenis kabar baik yang kita dapati hari ini semakin mengingatkan saya akan salah satu guyonan Yahudi yang paling depresif, dan karena itu saya suka sekali, tentang kabar baik dan kabar buruk dengan latar belakang medis.
Seorang suami menunggui istrinya yang sakit parah dioperasi, dan menanyakan kepada dokter bagaimana hasilnya. Dokter bilang, “Gini, ada masalah, tapi tenang saja, istri anda selamat dan bisa hidup 20 – 30 tahun lagi. Tapi, dia tidak bisa mengontrol otot anusnya sehingga dia akan terus buang air besar, ada inveksi di vaginanya dan keluar cairan kekuningan terus menerus sehingga anda tidak bisa berhubungan seks dengannya, dia tidak bisa makan dengan normal sehingga harus... dan seterusnya” Terang saja si suami sangat terkejut mendengar penjelasan dokter itu. Sampai kemudian ketika si suami semakin terpukul dengan kabar itu, si dokter menambahkan, ”Tenang saja, saya cuma bercanda, semuanya baik-baik saja kok, istri anda meninggal.”
Kabar baik seperti inilah yang kerap kita dapatkan hari ini
[Anda ceramah didepan hadirin yang sebagian besar adalah borjuis kapitalis dan mungkin sosialis, mengingat bahwa ini adalah acara IQ. Tapi di tempat lain di kota ini, sedang berlangsung konferensi Partai Pekerja Sosialis/Marxist, yang setahu saya anda tidak diundang (Zizek menyela, 'saya diundang, tapi tidak datang'). Oke, memang ini maksud saya, kenapa kalangan Kiri Inggris tidak memakai teori anda, motif ideologi seperti apa yang berlangsung disini.]
Dalam hal tertentu, tentu saja saya menghargai Partai Buruh Sosialis, tapi bagi saya, mereka sedikit sulit melepaskan diri dari abad 20. Menurut saya, abad 20 sudah tamat. Artinya, semua model gerakan emansipatoris utama, tidak hanya kedua versi resminya, yaitu Otoritarianisme Negara Stalinis-Komunis dan Negara Kesejahteraan Sosial-Demokrat, bahkan juga mimpi dari kalangan Kiri di abad 20. Kalangan Kiri radikal/Trotskyist sering mengkritik sosialisme negara, sosial demokrat, sehingga mereka bermimpi bahwa, masanya akan datang, kita cuma perlu bersabar, buruh akan bangkit dan akan menjalankan demokrasi langsung dan sebagainya, menurut saya mimpi ini juga sudah harus berakhir.
Sehingga saya tidak mau terlibat dalam mimpi yang, dalam bentuknya yang paling konyol, misalnya percaya bahwa jika saja Lenin berkuasa 3 tahun lebih lama dan bersepakat dengan Trotsky untuk menyingkirkan Stalin, maka situasi akan menjadi lain. Saya tidak bilang bahwa itu tidak akan mengakibatkan perubahan, tetapi tidak akan signifikan. Menurut saya, tanpa menafikan sejumlah momen emansipatoris besar, komunisme dan sosial-demokrasi abad 20, secara umum saya kira sebagai totalitas adalah sebuah kegagalan, dan bentuk ini sudah tamat. Dan inilah masalah utama saya dengan mereka.
Setiap kali terjadi peristiwa politik penting di Eropa, teman Trotskyist saya mencoba meyakinkan saya bahwa, misalnya yang terjadi di Serbia, yang menggulingkan penguasa adalah pekerja yang belakangan kemudian diambil alih Milosevic, atau gerakan Solidaritas di Polandia awalnya adalah gerakan pekerja dan baru belakangan disandera oleh gereja, mereka terlalu percaya bahwa kemenangan dan revolusi sudah di depan pintu, tapi keburu diserobot oleh penjahat. Dan disini saya berada dalam posisi yang jauh lebih pesimis. Pesimis dalam arti bahwa, kalangan Kiri masih belum punya rencana yang jelas, dan tentu saja tidak perlu sampai begitu mendetail, sampai daftar hal-hal kecil yang harus dilakukan, tapi semacam kerangka, misalnya seandainya pemerintahan di Yunani tiba-tiba tumbang, lalu kemudian semacam komite Rakyat mengambil alih, apa yang akan mereka lakukan.
Dan ini juga yang menjadi masalah di Mesir, yaitu bagaimana menjaga semangat selama proses berlangsung, seperti salah satu artikel saya tentang apa yang terjadi di Tahrir Square, tapi jangan lupa bahwa pertarungan yang sebenarnya justru adalah sekarang. Setelah momen sublim yang gegap gempita itu, wujud apa yang akan dihasilkan dalam kelembagaan dan organisasi kehidupan sosial. Momen sublim itu bagi saya adalah hal yang tidak penting, yang penting adalah keesokan harinya. Dan disini saya kira, kaum Kiri belum punya, bahkan sekedar gagasan umum, koreksi kalau saya salah, tapi saya belum pernah tahu ada model, bahkan yang paling kasar sekalipun. Dan itulah masalah saya dengan Partai Pekerja Sosialis. Mereka berperilaku seolah-olah mereka tahu apa yang harus dilakukan. Saya tidak tahu, dan saya kira mereka juga tidak tahu.
[Anda tadi bicara tentang marketisasi universitas. Apa menurut anda kita perlu kembali ke gaya pendidikan di abad 19 dimana semua orang belajar tentang humaniora dan filsafat...]
Tidak terlalu, tapi, kenapa anda mengajukan permasalahan ini seolah pilihannya hanya gaya abad 19 atau apa yang sedang kita tuju sekarang. Menurut saya, secara sederhana, apa yang berlaku di dunia pendidikan pada tahun 70an atau 80an cukup bagus, dan pastinya lebih baik daripada apa yang sedang kita tuju. Dan ini bahkan bukan semacam posisi Marxist garis keras, malahan sebaliknya. Disini saya secara naif memposisikan diri pro-intelektual. Bahkan dalam sains murni, praktis tidak ada penemuan besar yang dihasilkan dengan strategi yang sudah direncanakan sebelumnya, dengan cara melatih para ahli. Sejak Einstein, atau terobosan keilmuan yang signifikan, dimana apa yang disebut oleh teori pilihan rasional sebagai efek samping niscaya, atau memakai istilah militer populer, korban sampingan, dimana kita meneliti sesuatu, tapi hasil sampingannya kita menemukan sesuatu yang lain. Dan jangan disepelekan, bahkan dalam hal sains modern, bahkan ketika kelihatannya segala sesuatu dilakukan dengan cara terencana, misalnya di laboratorium partikel dan sebagainya.
Itulah yang saya maksudkan. Tentu saja tidak berarti bahwa kita harus kembali ke gaya pendidikan awal abad 20, misalnya di Oxford dan Cambridge berlaku ketentuan bahwa bagian dari kelulusan seorang mahasiswa dia harus mampu berbicara dalam bahasa latin dengan sesama mahasiswa. Maksud saya adalah bahwa kita perlu membuka ruang bagi penelitian terhadap hal yang tampaknya sia-sia, kita perlu membuka ruang ini. Atau contoh lain dengan logika yang sama. Alasan kenapa saya tidak suka dengan amazon.com adalah ini seperti gaya pendidikan ahli, dimana kita biasanya membeli buku yang memang dari awalnya kita niatkan untuk beli. Tapi saya tidak bisa membayangkan semua buku yang saya punyai dibeli dengan cara seperti itu. Saya mendapati banyak dari buku saya ketika tengah mencari buku yang awalnya saya inginkan, melihat-lihat sedikit, ketemu buku yang lainnya.
Ini juga yang terjadi ketika kita membaca berita di situs seperti yahoo, atau kantor berita digital, dimana disana kita disajikan pilihan berita yang mirip dengan yang tengah kita baca. Saya lebih suka membaca berita dengan gaya kuno dimana, kita membaca apa yang kita inginkan, tapi juga banyak hal lain yang tidak kita inginkan. Tapi justru dari hal yang tampaknya acak dan tidak beraturan ini, kita biasanya mendapatkan hal yang paling berharga. Disinilah saya sangat khawatir.
Tidak heran jika, dan ini adalah sebuah pelajaran pahit, ini berdampak pada apa yang tengah terjadi di AS hari ini, dimana disana ada sekelompok pemikir yang disebut dengan Hegelian Pittsburgh. Dan salah satu mahasiswa disana memberitahu saya bahwa, hari ini sudah separuh mahasiswa yang belajar disana adalah mahasiswa asal Jerman. Sadar tidak ini artinya, bagaimana situasi kita hari ini. Maksud saya, hari ini seorang mahasiswa Jerman, ingin belajar tentang Hegel, dia harus pergi ke AS. Inilah salah satu hasilnya. Sekali lagi saya disini tidak sedang menyampaikan gagasan ultra-Marxist.
Dan ini juga yang menurut saya sebagai salah satu pelajaran penting Stalinisme. Over-spesialisasi justru menghasilkan kebalikan dari apa yang direncanakan, bukan sesuatu yang produktif. Bahkan disini saya terdengar pro-kapitalisme. Bahwa manfaat kapitalisme adalah apa yang tampaknya pengeluaran yang tampaknya irasional, dan sebagainya. Pelajaran penting dari Stalinisme, bagi saya salah satunya adalah, kita perlu membuang klise liberal bahwa dalam Stalinisme kita akan berubah menjadi semacam subyek boneka yang otomatis, bahwa semua pikiran bebas dibungkam, bahwa semua hal terencana. Itu benar-benar keliru. Kalau kita bicara dengan para orang-orang tua yang hidup di jaman itu, atau membaca buku yang bagus tentang Stalinisme, kita akan menemukan bahwa dibalik permukaan yang tampaknya terencana dan terkendali secara total, Stalinisme di masa Uni Soviet sebenarnya jauh lebih kacau dan berantakan daripada demokrasi liberal barat. Tidak ada yang berfungsi, sehingga setiap saat kita selalu harus bersikap layaknya egotis ekstrim, untuk terus berimprovisasi. Jadi yang saya sampaikan disini hanya akal sehat biasa.
[Dan dengan tanggapan itu, saya sampaikan banyak terima kasih kepada Slavoj Zizek, benar-benar ceramah yang mencerahkan]
Saya dengan tulus meminta maaf jika bagi anda tidak ada yang benar-benar radikal dari apa yang saya sampaikan hari ini, karena selama setahun terakhir ini, terlepas dari sejumlah ceramah disana-sini, perhatian utama saya tersita untuk menulis buku besar tentang Hegel, yang saat ini sudah hampir rampung dan tinggal mengoreksi, setebal 800 halaman tentang Hegel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar