Sabtu, 08 Oktober 2011

Cuma Komunisme yang bisa menyelamatkan demokrasi liberal

Fundamentalisme ternyata adalah anak kandung liberalisme, dan jika dibiarkan sendirian, maka liberalisme tidak akan mampu untuk untuk membela nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh peradaban Barat modern, kebebasan, keadilan. Karena itu, demokrasi liberal perlu uluran tangan persaudaraan dari gerakan Kiri radikal yang sudah diperbarui, atau dengan kata lain, Komunisme.
Dalam artikel berjudul Only Communism can save liberal democracy yang dimuat di situs ABC Australia pada 3 Oktober ini, Zizek membeber berbagai fenomena politik terbaru di Eropa, dan bagaimana hal itu sekaligus, disatu sisi menjadi warna buram dari masa depan demokrasi liberal, disisi lain memunculkan potensi untuk proyek emansipatoris yang bisa merombak total konstelasi sosio-politik yang didominasi oleh kapitalisme global hari ini, dan bagaimana kita perlu menghindari jebakan nasionalisme sempit.
Tulisan ini sekaligus menjadi bagian dari muhibah Zizek ke wilayah Down Under, dimana dia juga diundang untuk menjadi pembicara dalam Festival of Dangerous Ideas yang diadakan pada 2 Oktober 2011 di Sydney Opera House dan sebagai panelis pada program acara TV Q & A pada hari Senin, 3 Oktober 2011

Monggo di-Enjoy!



Cuma Komunisme yang bisa menyelamatkan demokrasi liberal

Liberalisme dan fundamentalisme membentuk sebuah kesatuan: liberalisme menciptakan kebalikannya. Paradoksnya disini adalah, liberalisme itu sendiri tidak cukup kuat untuk membela diri menghadapi gempuran fundamentalisme
1989 menandai tidak hanya ambruknya Sosialisme-Negara dari Komunisme, tapi juga kekalahan Demokrasi-Sosial Barat.
Belum pernah terjadi keterpurukan dari golongan Kiri lebih gamblang dibandingkan dengan argumen terhadap Negara Kesejahteraan Sosial-Demokratis: idenya adalah, dengan absennya proyek radikal Kiri, satu-satunya hal yang bisa dilakukan golongan Kiri adalah untuk menghujani negara dengan tuntutan untuk memperluas Negara Kesejahteraan, padahal tahu benar bahwa Negara tidak akan mampu memenuhinya.
Keniscayaan akan terjadinya kekecewaan ini berfungsi sebagai pengingat dari ketidakmampuan mendasar dari golongan Kiri sosial demokratis, dan karenanya mendorong rakyat ke arah sebuah golongan Kiri revolusioner radikal yang baru.
Bisa dibilang, sikap politik ‘pedagogi’ sinis semacam ini dipastikan akan gagal, karena dia membela sebuah perang yang kalah: dalam konstelasi ideologis-politis hari ini, reaksi atas ketidakmampuan Negara Kesejahteraan untuk memenuhi janjinya adalah populisme Kanan. Guna menghindari reaksi ini, golongan Kiri harus menyusun proyek positifnya sendiri diluar kerangka Negara Kesejahteraan Sosial-Demokratis.
Inilah kenapa, adalah hal yang sia-sia untuk menyandarkan harapan kita terhadap sebuah Negara-Bangsa yang kuat, yang diharapkan bisa mencegah pengambilalihan Negara Kesejahteraan, dari cengkeraman lembaga trans-nasional semacam Uni Eropa, yang, menurut kabar, berperan sebagai instrumen dari kapitalisme global guna melucuti apa yang tersisa dari Negara Kesejahteraan. Di titik ini, hanya perlu selangkah lagi untuk menerima ‘aliansi strategis’ dengan kalangan nasionalis-Kanan yang mengkhawatirkan lunturnya identitas nasional dalam kerangka trans-nasional Eropa.
(Salah satu konsekuensi gila dari sikap seperti ini adalah sejumlah kalangan Kiri lantas mendukung Presiden Ceko, Vaclav Klaus, yang beraliran konservatif-liberal, seorang yang Skeptis terhadap gagasan Eropa: sikap keras anti-Komunisme dan penolakannya terhadap Negara Kesejahteraan ‘totaliter’ ditolerir sebagai strategi yang cerdik, agar membuat sikap anti-Eropanisme-nya bisa diterima)
Lantas, dimana posisi golongan Kiri hari ini? Alain Badiou dengan bagus menjelaskan situasi pasca-Sosialis sebagai “situasi yang menggelisahkan, dimana kita melihat Setan [Evil] berdansa di bekas reruntuhan Setan [Evil]”: tidak perlu bernostalgia, berbagai rejim Komunis memang ‘jahat’ – yang jadi masalah, penggantinya juga sama-sama ‘jahat’, meskipun dengan cara yang berbeda.
Cara yang seperti apa?
Dulu pada 1991, Badiou mengajukan formulasi yang lebih teoritis soal perseteruan lama di era Sosialisme tentang perbedaan Barat yang Demokratis dan Timur yang Komunis.
Di Timur, pendapat dari intelektual ditunggu-tunggu dan memiliki pengaruh luas, tapi mereka dibatasi untuk bicara dan menulis secara bebas; sedangkan di Barat, mereka bisa menulis dan bicara sesukanya, tapi pendapat mereka seringnya diacuhkan oleh publik luas.
Badiou membedakan Barat dan Timur dalam hal letak (supremasi) Hukum dalam gugusan Negara dan Filsafat (pemikiran).
Di Timur, filsafat diakui arti pentingnya, namun sebagai filsafat-negara, secara langsung dikendalikan oleh negara, sehingga tidak ada supremasi Hukum: rujukan terhadap filsafat berperan sebagai pembenar bahwa Negara sudah bertindak sebagai agen Kebenaran Sejarah, dan klaim Kebenaran ini memungkinkan negara untuk menekan supremasi Hukum dan kebebasan.
Di Barat, Negara tidak dilegitimasi oleh Kebenaran Sejarah, namun oleh pemilu demokratis yang dijamin oleh supremasi Hukum, dan akibatnya Negara maupun publik menjadi acuh terhadap filsafat.
“Ketundukan politik terhadap Hukum dalam masyarakat parlementer…mengarah kepada kemustahilan untuk membedakan filsuf dari pemikir…Sebaliknya, di masyarakat birokratis, mustahil untuk membedakan filosof dari seorang petugas polisi. Di banyak kasus, filsafat biasanya tidak lebih sekedar titah dari penguasa tiran”
Dan di kedua kasus, filsafat dilucuti dari kebenaran dan otonominya, sebab:
"dua ciri identitas yang inheren dan saling berlawanan dari filsafat, si pemikir dan si tiran, atau bahkan si wartawan dan si polisi, menyatakan diri sebagai filsuf.”
Disini kita perlu tambahkan bahwa mustahil Badiou, baik secara terbuka maupun diam-diam, lebih mendukung Negara polisi/partai dibanding Negara Hukum: dia menyatakan bahwa adalah sepenuhnya absah untuk lebih memilih Negara Hukum dibanding Negara polisi/partai; disini sekali lagi mengajukan perbedaan kunci:
"Jebakannya adalah untuk membayangkan bahwa preferensi ini, yang terkait dengan tujuan obyektif sejarah dari Negara, sebenarnya adalah sebuah keputusan politik yang subyektif”
Yang dia maksud dengan “keputusan politik subyektif” adalah keterlibatan kolektif  yang otentik yang sejalan dengan garis Komunis: keterlibatan semacam itu tidak “bertentangan” dengan demokrasi parlementer, ini hanya sekedar berpindah ke level yang lebih radikal – yaitu, keterlibatan politiknya tidak terbatas pada laku tunggal memilih dalam pemilu, tapi diartikan ‘kesetiaan’ yang jauh lebih radikal dan berkesinambungan, sebuah ‘karya cinta’ kolektif yang dijalani dengan sabar.
Hari ini, ketika bulan madu demokratis ini jelas-jelas sudah berakhir, pelajaran ini menjadi lebih penting dari sebelumnya: apa yang oleh Badiou dijelaskan dalam kerangka teoritis dibuktikan oleh pengalaman harian dari mayoritas rakyat kebanyakan: ambruknya berbagai rejim Komunis pada 1989 bukanlah Sejarah [Event] dalam arti pemisahan historis, akan lahirnya sesuatu yang Baru dalam sejarah emansipasi.
Setelah apa yang dianggap pemisahan ini, segala sesuatu begitu saja kembali ke situasi normalitas kapitalis, sehingga kita mendapati situasi peralihan yang sama dari antusiasme akan kebebasan menuju supremasi laba dan egotisme, yang sudah sejak lama di jelaskan oleh Marx dalam analisanya terhadap Revolusi Prancis.
Contoh yang menonjol dari hal ini adalah kasus Vaclav Havel: para pendukungnya terkejut mendapati bahwa sosok pejuang yang sangat menjunjung tinggi etika dalam hal ‘menjalani hidup dalam kejujuran’ ini belakangan terlibat dalam deal bisnis yang remang-remang, dengan perusahaan real estate yang mencurigakan yang didominasi oleh eks-anggota polisi rahasia Komunis.
Dan karenanya, betapa naif Timothy Garton Ash tampaknya dalam kegiatan kunjungannya ke Polandia pada 2009 untuk merayakan peringatan 20 tahun kejatuhan Komunisme: acuh terhadap realitas abu-abu disekitarnya, dia meyakinkan rakyat Polandia bahwa mereka seharusnya merasa bangga, seolah negeri mereka masih tetap negeri suci Solidaritas.
Ideologi yang berkuasa, tentu saja, sadar benar akan gap ini, dan posisinya adalah diperlukan ‘kematangan’: kita perlu menyingkirkan harapan utopis yang hanya bisa berujung dengan totaliterisme dan menerima realitas kapitalis yang baru. Dan tragedinya adalah bahwa sejumlah golongan Kiri menerima kesimpulan semacam ini.
Alain Badiou menjelaskan tiga macam cara kegagalan gerakan revolusioner – atau emansipatoris radikal.
Pertama, kekalahan langsung: dimana kita begitu saja ditumpas oleh kekuatan musuh.
Kedua, terdapat kekalahan dalam kemenangan itu sendiri: kita menang atas musuh (setidaknya untuk sementara) tapi sambil tetap menjalankan agenda kekuasaan-penting dari musuh (tujuannya sekedar merebut kekuasaan negara, baik melalui jalan demokratis-parlementar atau melalui pengidentifikasian langsung Partai dengan Negara).
Selain kedua versi diatas, terdapat bentuk kegagalan ketiga, yang mungkin paling otentik, sekaligus paling mengerikan: dituntun oleh insting yang tepat bahwa setiap upaya untuk mengkonsolidasikan revolusi menjadi sebentuk kekuasaan Negara mengandung penghianatan terhadap revolusi, tapi tidak mampu menemukan dan menerapkan tatanan sosial yang benar-benar alternatif, gerakan revolusioner terlibat dalam strategi asal-asalan guna melindungi kemurniannya, dengan berpaling pada teror destruktif dari kalangan ‘ultra-Kiri’.
Badiou menyebut versi terakhir ini sebagai “godaan ke-pengorbanan-an akan kekosongan” [sacrificial temptation of the void]:
"Salah satu slogan kalangan Maois yang terkenal dari masa tahun merah adalah ‘Berani bertarung, berani menang’. Namun kita tahun bahwa, jika sulit untuk mengikuti slogan ini, jika subyektivitas lebih takut untuk menang daripada untuk bertarung, itu karena pertarungan hanya menghadapi resiko kegagalan yang sederhana (serangannya tidak berhasil), sementara kemenangan menghadapi resiko kegagalan yang paling menakutkan: kesadaran bahwa kita mencapai kemenangan hampa, bahwa kemenangan hanya mempersiapkan pengulangan, pemulihan. Bahwa sebuah revolusi tidak pernah lebih dari hanya sekedar situasi antara. Dari sinilah munculnya godaan ke-pengorbanan-an dari kekosongan. Musuh yang paling menakutkan dari politik emansipasi bukannya tekanan dari penguasa, melainkan interioritas dari nihilisme, kekejaman tanpa batas yang bisa menyertai kekosongannya.”
Yang praktis dikatakan oleh Badiou disini adalah persis kebalikan dari semboyan “Berani Menang”-nya Mao – kita perlu takut untuk menang (untuk mengambil alih kekuasaan, membangun realitas sosio-politis baru), sebab yang bisa diambil pelajaran abad 20 adalah bahwa kemenangan tidak akan berujung pada restorasi (kembalinya logika kekuasaan Negara) atau terjebak dalam siklus tanpa ujung dari pemurnian yang swa-destruksi.
Inilah kenapa Badiou mengusulkan untuk mengganti pemurnian dengan substraksi: bukannya “memenangkan” (mengambil alih kekuasaan), kita perlu menjaga jarak terhadap kekuasaan negara, kita perlu menciptakan ruang substraksi dari Negara. Tapi, tidakkah ini merupakan bentuk lain dari pembagian kerja antara golongan Kiri radikal dan pragmatis?
Dengan menarik diri politik Negara, golongan Kiri radikal membatasi dirinya untuk mengembang posisi penting dan menghujani Negara dengan tuntutan yang mustahil, sementara golongan Kiri pragmatis bersepakat dengan setan dalam artian ketundukan Peter Mandelson bahwa, jika berkaitan dengan ekonomi, kita semua adalah Thatcherian.
Lantas, apakah Komunisme begitu saja “mustahil” dalam artian dia tidak bisa diwujudkan menjadi sebuah tatanan baru? Badiou sekalipun menyebut ‘gagasan Komunisme’ yang abadi sebagai sesuatu yang terus kembali lagi dan lagi, sejk Spartacus dan Thomas Munzer hingga Rosa Luxemburg dan Revolusi Kebudayaan Maois – dengan kata lain, sesuatu yang akhirnya gagal, lagi dan lagi.
Istilah ‘mustahil’ seharusnya membuat kita berhenti dan berpikir. Hari ini, mustahil dan mungkin dipakai dengan cara yang aneh, dan keduanya secara simultan berujung pada ledakan ekses.
Disatu sisi, di wilayah kebebasan pribadi dan teknolog ilmiah, yang mustahil semakin lama menjadi semakin mungkin (atau begitu dikatakan): “tidak ada yang mustahil”. Kita bisa menikmati seks dengan segala variasi nyelenehnya, seluruh koleksi musik, film dan TV tersedia untuk diunduh. Bahkan sekarang ada kemungkinan untuk memperluas kemampuan fisik dan mental kita, dengan memanipulasi ciri dasar kita melalui intervensi terhadap genome, sampai pada titik mimpi gnostic-tech guna mencapai kekekalan dengan cara sepenuhnya mentransformasi identitas kita kedalah sebuah software yang bisa diunduh dari satu hardware ke hardware lainnya…
Disisi lain, khususnya dalam domain relasi sosio-ekonomis, era kita hari ini memandang dirinya sebagai era kematangan dimana, dengan ambruknya negara Komunis, umat manusia sudah membuang mimpi utopia milenariannya dan menerima keterbatasan dari realitas (yaitu, realitas sosio-ekonomi kapitalis) dengan semua kemustahilannya.
Sehingga, hari ini kita tidak bisa terlibat dalam sebuah aksi kolektif akbar (yang niscaya akan berujung pada teror totalitarian), kukuh berpegang terhadap Negara Kesejahteraan lama (yang akan membuatnya tidak bisa bersaing dan berujung pada kriris ekonomi), mengucilkan diri dari pasar global, dan sebagainya dan seterusnya.
Disini penting untuk membedakan dua kemustahilan: kemustahilan dari antagonisne sosial dan kemustahilan dimana bidang ideologis dominan berfokus. Disini kemustahilan mengalami pengandaan, pertama berfungsi sebagai tabir dari ideologi itu sendiri; fungsi ideologis dari kemustahilan kedua adalah untuk mengaburkan yang real dari kemustahilan pertama.
Hari ini, ideologi yang berkuasa berupaya agar kita menerima ‘kemustahilan’ untuk perubahan radikal, menghapuskan kapitalisme, agar demokrasi tidak terbatas hanya pada permainan parlementer, guna menyembunyikan antagonisme yang membelah masyarakat kapitalis.
Yang real disini adalah mustahil dalam artian dia adalah yang kemustahilan dari tatanan sosial yang ada – yang, meski demikian, tidak mungkin berarti bahwa yang real/mustahil ini tidak bisa ditangani secara langsung dan dirubah secara radikal melalui sebuah aksi yang ‘gila’ yang bisa merubah koordinat ‘transendental’ dasar dari kehidupan sosial, sebuah aksi yang merubah justru koordinat dari apa yang mungkin, dan karena itu, secara restropektif, menciptakan kondisi kemungkinannya sendiri.
Inilah kenapa Komunisme akan berkaitan dengan yang Real: untuk bertindak layaknya seorang Komunis berarti untuk terlibat dalam yang real dari antagonisme dasar yang melandasi kapitalisme global hari ini.
Dalam Marxisme yang otentik, totalitas bukanlah sebuah gagasan, tapi konsep kritis – untuk mengenali fenomena dalam keutuhannya tidak berarti melihat harmoni tersembunyi dari Keutuhan, tapi untuk menyertakan kedalam sistem itu semua ‘gejala negatif’ [symptom], antagonisme dan inkonsistensi-nya, sebagai bagian integralnya.
Dalam atian ini, liberalisme dan fundamentalisme membentuk sebuah ‘totalitas’: oposisi antara liberalisme dan fundamentalisme tersusun sedemikian rupa sehingga liberalisme menciptakan kebalikannya sendiri. Lantas, bagaimana dengan nilai-nilai dasar liberalisme: kebebasan, keadilan, persaudaraan? Paradoksnya adalah bahwa liberalisme sendiri tidak cukup kuat untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari gempuran kaum fundamentalis.
Fundamentalisme adalah sebentuk reaksi – reaksi yang, tentu saja, keliru dan termistifikasi – atas kelemahan yang nyata dari liberalisme, dan inilah kenapa pula, dia selalu dihasilkan oleh liberalisme, lagi dan lagi. Jika dibiarkan begitu saja, liberalisme akan pelan-pelan menafikan dirinya sendiri – satu-satunya yang bisa menyelamatkan inti ajarannya adalah gerakan Kiri yang terbarukan.
Di Eropa Barat dan Timur, terdapat banyak tanda pengaturan-ulang jangka-panjang dari ruang politik. Sampai baru-baru ini, ruang politik didominasi oleh dua partai utama yang meliputi hampir semua suara pemilih: partai Kanan-tengah (Kristen Demokrat, atau liberal-konservatif) dan partai Kiri-Tengah (sosialis, sosial-Demokrat), dengan partai yang lebih kecil dengan jumlah pemilih tertentu (hijau, liberal, dsb).
Sekarang, dengan progresif muncul satu partai yang mewakili kapitalisme global, biasanya dengan ciri cukup toleran terhadap aborsi, hak gay, minoritas agama dan etnis; lawan dari partai ini adalah partai populis yang semakin lama semakin menguat sentimen anti-imigrannya, dan dalam kasus tertentu, dilengkapi langsung dengan kelompok neo-Fasis yang rasis. 
Contoh yang menonjol disini adalah Polandia: setelah ambruknya eks-Komunis, partai utamanya adalah partai liberal sentris yang ‘anti-ideologis’ yang dipimpin oleh Perdana Menteri Donald Dusk, dan partai Kristen konsevatif pimpinan Kaczynski bersaudara.
Silvio Berlusconi di Italia adalah bukti mutlak akan kacaunya pembagian ini: satu partai, partai Forza Italia, bisa sekaligus sebagai partai kapitalis-global dan berpadu dengan kecenderungan populis anti-imigran.
Dalam ranah depolitisasi dari pemerintahan yang pasca-ideologis, satu-satunya cara untuk memobilisasi rakyat adalah dengan menumbuhkan ketakutan (terhadap imigran – dengan kata lain, terhadap tetangga). Mengutip Gaspar Tamas, karenanya kita perlahan-lahan mendekati situasi dimana ‘tidak ada yang lain selain Tsar dan Lenin" – dimana situasi yang kompleks ini akan tereduksi menjadi pilihan dasar yang sederhana: komunitas atau kolektif, Sosialisme atau Komunisme.
Memakai istilah yang terkenal dari masa 1968, agar warisan kuncinya bisa diselamatkan, liberalisme butuh bantuan persaudaraan dari Radikal Kiri.
Karena itu tugas kita adalah untuk tetap setia dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai Gagasan abadi Komunisme: semangat egalitarian yang tetap ada selama ribuan tahun dalam bentuk pergolakan dan mimpi utopis, dalam gerakan radikal sejak Spartacus sampai Thomas Muntzer, sampai gerakan keagamaan (Budhisme versus Hinduisme, Daoisme atau Legalis versus Konfusianisme, dan sebagainya).
Masalahnya adalah bagaimana menghindari alternatif dari ledakan sosial radikan yang berujung pada kekalahan, tidak mampu menstabilkan diri menjadi sebuah tatanan baru, yang berkeadilan, tapi digantikan oleh domain diluar realitas sosial (dalam Budhisme, misalnya, kita semua akan sederajat di nirwana).
Disinilah masuk keorisinalan pemikiran Barat, dalam tiga patahan historis besar; pemisahan filsafat Yunani dengan semesta mistis; pemisahan Kristen dengan semesta pagan; pemisahan demokrasi modern dari otoritas tradisional.
Di semua kasus, semangat egalitarian dirubah menjadi sebuah tatanan baru – yang sekalipun terbatas, tapi tetap aktual – yang nyata.
Pendeknya, yang dipertaruhkan dari pemikiran Barat adalah negativitas radikal (yang bentuk awalnya adalah teror egalitarian) tidak terjerembab untuk tetap sebagai sekedar ledakan ekstatis sesaat yang setelah itu segala sesuatunya akan kembali ke situasi yang normal; sebaliknya, negativitas radikal, penafikan terhadap setiap tatanan hirarkis tradisional, bisa mengartikulasikan diri menjadi sebuah tatanan baru yang nyata dimana dia memperoleh kestabilan sebagai bentuk kehidupan baru.
Inilah makna dari Roh Kudus dalam ajaran Kristen: iman tidak bisa hanya diwujudkan di masing-masing, tapi mewujud dalam ruang kolektif, umat. Iman itu sendiri di dalamnya didasarkan pada ‘teror’ yang ditandai oleh ucapan Kristen sendiri bahwa dia membawakan pedang, bukan damai, bahwa siapapun yang tidak membenci ayah dan ibunya, bukanlah pengikut sejatinya – muatan dari teror ini adalah penolakan terhadap semua ikatan komunitas hirarkis tradisional, dengan pertaruhan bahwa kaitan kolektif yang lain akan dimungkinkan oleh teror ini, sebuah kaitan egalitarian diantara umat yang dihubungkan oleh agape sebagai cinta politis.
Contoh lain dari kaitan egalitarian berdasar teror semacam ini adalah demokrasi itu sendiri. Disini kita perlu memakai deskripsi demokrasi dari Claude Lefort: aksioma demokratis adalah bahwa ruang kekuasaan itu adalah kosong, bahwa tidak ada seorangpun yang secara langsung berhak atas posisi ini baik atas dasar tradisi, karisma atau karakter keahlian dan kepemimpinannya.
Inilah kenapa, sebelum demokrasi bisa dijalankan, teror harus bekerja, untuk selamanya memisahkan ruang kekuasaan dari berbagai macam penipu keabsahan alami atau langsung: gap antara ruang ini dan mereka yang akan menempatinya harus terus dipertahankan, dengan cara apapun.
Tapi kita bisa juga membayangkan sebuah prosedur demokratis mempertahankan gap yang sama dalam hal momen kesementaraan di setiap hasil pemilu: bukannya sesuatu yang menjadi kelemahan, fakta bahwa pemilu tidak berpura-pura untuk memilih sosok yang paling tepat adalah apa yang justru melindunginya dari godaan totalitarian – yang inilah kenapa, sebagaimana sudah jelas di masa Yunani Kuno, bentuk yang paling demokratis dalam memilih pemimpin adalah dengan undian.
Dengan kata lain, seperti ditunjukkan oleh Lefort, capaian demokrasi adalah dalam merubah apa yang dalam kekuasaan otoritarian tradisional sebagai momen krisis terbesarnya, momen transisi dari satu pemimpin kepada pemimpin lain yang, untuk sesaat, ‘singgasananya kosong’, yang memicu kepanikan, menjadi aspek kunci dari keunggulannya: pemilu demokratis adalah momen peralihan melalui titik-nol ketika jaringan kompleks dari kaitan sosial melarut menjadi multiplisitas individu yang murni kuantitatif, yang pilihannya dihitung secara mekanis.
Karena itu, momen teror, melarutnya semua kaitan hirarkis, lantas direka-ulang dan ditransformasi menjadi landasan dari sebuah tatanan politik baru yang nyata. Karena itu Hegel bisa jadi keliru ketika mengkhawatirkan sebuah pilihan demokratis yang universal (lihat penolakannya yang atas Undang-undang Reformasi Inggris pada 1831): justru demokrasilah yang berhasil memainkan trik ‘sulap’ guna merubah negativitas (kebebasan mutlak yang swa-destruktif yang beriringan dengan berkuasanya teror) menjadi sebuah tatanan politik baru yang stabil: dalam demokrasi.
Suatu ketika, kita menyebut hal ini sebagai Komunisme. Lantas, kenapa re-aktualisasinya begitu sulit kita bayangkan hari ini? Sebab sekarang kita tengah hidup di era naturalisasi: keputusan politik, aturannya, ditampilkan sebagai sebuah urusan yang murni ekonomis. Misalnya, ketika diberlakukan ketentuan penghematan, kita berulang kali diberitahu bahwa ini hanya sekedar sesuatu yang perlu dilakukan.
Pada bulan Mei 2010, dan sekali lagi pada Juni 2011, sebuah demonstrasi besar meledak di Yunani setelah pemerintah mengumumkan ketentuan penghematan yang harus diberlakukan guna memenuhi persyaratan dari Uni Eropa demi mendapatkan dana talangan untuk menghindari kebangkrutan finansial negara.
Kita kerap mendengar bahwa pesan sebenarnya dari krisis di Yunani adalah bahwa tidak hanya Euro, tapi proyek Eropa bersatu itu sendiri sudah mati. Tapi sebelum kita mendukung pernyataan yang menggampangkan semacam ini, kita perlu menambahkan sentuhan Leninis disini: Eropa memang sudah mati, OK, tapi – Eropa yang mana?
Jawabannya adalah: penerimaan Eropa pasca-politis terhadap pasar bebas, Eropa yang kerap menolak referendum, Eropa yang didominasi pakar-teknokrat di Brussel. Eropa yang menampilkan dirinya sebagai pembela nalar Eropa yang tegas daripada gairah dan korupsi Yunani, pembela matematika daripada yang konyol [word-play, mathematics against pathetics].
Tapi, seutopis apapun kelihatannya, masih terbuka ruang bagi wujud Eropa yang lain, sebuah Eropa yang ter-repolitisasi, sebuah Eropa yang dibangun atas dasar proyek emansipatoris bersama, sebuah Eropa yang melahirkan demokrasi Yunani Kuno, revolusi Prancis dan Oktober.
Inilah kenapa kita perlu menghindari godaan untuk menyikapi krisis finansial yang terus berlanjut ini dengan kembali ke wujud negara-bangsa yang berdaulat sepenuhnya, yang akan menjadi mangsa mudah bagi kapitalisme global yang bebas berseliweran yang bisa membenturkan satu negara atas negara lainnya.
Lebih dari sebelumnya, tanggapan atas setiap krisis seharusnya adalah perlunya kita untuk lebih internasioalis dan universalis dibandingkan universalitas dari kapitalisme global. Gagasan untuk menolak kapitalisme global atas dasar membela identitas etnis yang partikular akan menjadi upaya bunuh diri yang sia-sia, dengan hantu juche Korea Utara merayap dibaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar