Kerusuhan di Inggris beberapa waktu yang lalu, bagi banyak bagi banyak golongan Kiri, dianggap sebagai sebuah pertanda yang sangat positif akan meluasnya pergolakan dan ketidakpuasan atas kondisi sosio-politik dunia kapitalisme global saat ini.
Menyusul kerusuhan di sejumlah negara Islam di Afrika Utara, serta kriris keuangan yang mengguncang sejumlah negara Eropa, yang banyak diwarnai oleh demonstrasi berkepanjangan, seperti Yunani, Spanyol, Prancis dan di bekas negara-negara Sosialis Eropa Timur, kerusuhan di Inggris banyak dipandang sebagai indikasi bahwa ketidakpuasan atas kapitalisme dan potensi dari akan munculnya gerakan kiri yang bersatu di seluruh dunia sudah benar-benar menjadi sesuatu yang universal.
Menyusul kerusuhan di sejumlah negara Islam di Afrika Utara, serta kriris keuangan yang mengguncang sejumlah negara Eropa, yang banyak diwarnai oleh demonstrasi berkepanjangan, seperti Yunani, Spanyol, Prancis dan di bekas negara-negara Sosialis Eropa Timur, kerusuhan di Inggris banyak dipandang sebagai indikasi bahwa ketidakpuasan atas kapitalisme dan potensi dari akan munculnya gerakan kiri yang bersatu di seluruh dunia sudah benar-benar menjadi sesuatu yang universal.
Diilhami oleh judul lagu dari band Inggris the Smiths pada medio 1980an yang berjudul sama, Slavoj Zizek, yang dengan wawasan tajam seperti biasanya, menganalisa bahwa kerusuhan Inggris tidak serta merta membawa potensi gerakan emansipatoris, tapi hanya ledakan tanpa arah, sebuah "semangat berontak tanpa revolusi", yang tanpa sebuah otoritas yang mampu "mengambil keputusan cepat dan menerapkannya dengan segala konsekuensinya", tidak akan membawa perubahan apa-apa, selain hanya kekerasan itu sendiri.
Monggo di-Enjoy!
Pengulangan, menurut Hegel, memainkan peran penting dalam sejarah: ketika sesuatu terjadi hanya sekali, itu bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan, sesuatu yang mungkin bisa dihindarkan jika saja ditangani dengan cara yang berbeda; tapi ketika kejadian yang sama terulang, itu menandai terjadinya sebuah proses historis yang lebih mendalam. Ketika Napoleon kalah di Leipzig pada 1813, itu tampak sebagai sekedar kesialan; ketika dia kalah lagi di Waterloo, menjadi jelas bahwa kejayaannya telah usai. Yang sama juga berlaku bagi krisis keuangan yang tengah berlangsung. Pada September 2008, ini dilihat sebagai sebuah anomali yang bisa dibenahi dengan regulasi yang lebih baik, dsb; sekarang dengan semakin banyaknya bukti keberlanjutan krisis keuangan, jelas bahwa kita tengah menghadapi sebuah fenomena struktural.
Kita terus menerus diberitahu bahwa kita tengah hidup dalam krisis hutang, dan bahwa kita semua harus bersama-sama menanggung beban dan mengencangkan ikat pinggang. Semua, kecuali, mereka yang (sangat) kaya. Ide untuk membebani mereka dengan lebih banyak pajak dianggap sebagai sebuah hal yang tabu: kalau itu dilakukan, menurut pandangan itu, para orang kaya tidak akan punya insentif untuk berinvestasi, sehingga akan semakin sedikit lapangan pekerjaan yang bisa disediakan, dan kita akan semakin menderita. Satu-satunya cara agar kita bisa selamat dari situasi sulit ini adalah dengan cara membuat si miskin menjadi lebih miskin dan si kaya menjadi lebih kaya. Apa yang harus dilakukan si miskin? Apa yang bisa mereka perbuat?
Meskipun kerusuhan di Inggris dipicu oleh penembakan terhadap Mark Duggan, semua orang sepakat bahwa kerusuhan ini menandai sebuah ketidakpuasan yang lebih mendalam – tapi ketidakpuasan yang seperti apa persisnya? Seperti halnya dengan kerusuhan di pinggiran Paris pada 2005, kerusuhan di Inggris tidak memunculkan sebuah tuntutan. (Ada perbedaan yang jelas dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran pada November 2010, yang juga berujung dengan kerusuhan. Para mahasiswa membawa pesan yang jelas bahwa mereka menentang rencana reformasi pendidikan tinggi.) Inilah kenapa sulit untuk menjelaskan kerusuhan di Inggris dengan kerangka Marxist, sebagai sebuah contoh dari munculnya subyek revolusioner; mereka justru lebih sesuai dengan apa yang disebut dalam konsep Hegelian sebagai ‘rabble’, mereka yang berada diluar ruang sosial yang ada, yang hanya bisa menunjukkan ketidakpuasan melalui ledakan ‘irasional’ berupa kekerasan yang destruktif – apa yang disebut Hegel sebagai ‘negativitas abstrak’.
Ada sebuah kisah lama tentang seorang pekerja yang dicurigai melakukan pencurian: setiap sore, ketika dia meninggalkan pabrik, gerobak yang dia dorong diperiksa dengan cermat. Satpam tidak mendapati apapun; gerobak itu selalu kosong. Akhirnnya, baru diketahui: yang dicuri oleh si pekerja itu adalah gerobak itu sendiri. Para penjaga tidak memahami fakta yang sangat gamblang, seperti halnya para pengamat yang mengomentari kerusuhan. Kita diberitahu bahwa ambruknya rejim Komunis pada awal 1990an sebagai tanda dari berakhirnya ideologi: masa dimana proyek ideologis besar yang berujung pada bencana totaliter sudah berakhir; kita sudah memasuki sebuah era politik baru yang rasional dan pragmatis. Jika beneran ada ruang bersama tempat kita tinggal di masa pasca-ideologi ini, maka kerusuhan Inggris inilah buktinya. Ini adalah sebuah protes di titik nol, sebuah tindak kekerasan yang tidak menuntut apapun. Dalam upayanya untuk memahami makna dari kerusuhan ini, para sosiolog dan penulis-editor mengaburkan enigma yang tampak dari protes ini.
Para pendemo, sekalipun adalah kelompok miskin dan pada dasarnya secara sosial terpinggirkan, tidak benar-benar diambang kelaparan. Kelompok yang mengalami kondisi yang lebih buruk, ditambah dengan penindasan fisik dan ideologis, banyak yang mampu mengorganisir diri menjadi kekuatan politik dengan agenda yang jelas. Fakta bahwa para perusuh tidak memiliki agenda dengan sendirinya adalah sebuah fakta yang berarti sesuatu: ini menandakan bagaimana kondisi keterpurukan kita secara ideologis-politis dan menandakan bentuk masyarakat yang kita tinggali sekarang, masyarakat yang mengagungkan banyaknya pilihan, namun pada saat yang sama satu-satunya alternatif yang ada untuk mencapai konsensus demokratis adalah dengan sebuah tindakan yang membabi-buta. Penentangan terhadap sistem tidak lagi bisa disampaikan dalam bentuk alternatif yang realistic, atau bahkan sebuah proyek utopia, tapi hanya bisa berwujud dalam bentuk ledakan yang tanpa-makna. Lantas, apa gunanya kita mengagungkan kebebasan untuk memilih jika satu-satunya pilihan yang tersedia hanya antara mengikuti aturan atau kekerasan yang merusak?
Alain Badiou berpandangan bahwa kita hidup di ruang sosial yang semakin dirasakan sebagai ‘nir-duniawi’: dalam ruang semacam itu, protes hanya bisa mewujud dalam bentuk kekerasan tanpa-makna. Mungkin ini adalah bahaya terbesar dari kapitalisme: sekalipun manfaat dari wujud globalnya dia bisa menjangkau seluruh dunia, tapi dia menopang sebuah konstelasi ideologi yang ‘nir-duniawi’, dimana orang dirampas dari kemampuannya untuk mencari makna. Pelajaran mendasar dari globalisasi adalah bahwa kapitalisme bisa menyesuaikan dirinya dengan semua peradaban, dari peradaban Kristen sampai Hindu atau Budha, dari dunia Barat hingga Timur: tidak ada ‘pandangan-hidup kapitalis’, tidak ada ‘peradaban kapitalis’ yang sejati. Dimensi global kapitalisme hanya menampilkan kebenaran kosong tanpa-makna.
Sehingga kesimpulan pertama yang bisa ditarik dari kerusuhan ini adalah, bahwa reaksi terhadap kerusuhan ini dari baik kalangan konservatif liberal sebenarnya tidak memadai. Reaksi konservatif tentu saja gampang ditebak: tidak ada pembenaran terhadap vandalisme semacam itu; kita perlu memakai segala cara untuk memulihkan keadaan; guna mencegah ledakan semacam yang lebih luas, kita tidak memerlukan lebih banyak toleransi dan tolong menolong, namun lebih banyak disiplin, kerja keras dan rasa tanggungjawab. Yang salah dari pandangan semacam ini tidak hanya bahwa ini mengabaikan situasi sosial yang mengenaskan yang telah mendorong para pemuda kearah ledakan kekerasan ini, namun, dan mungkin yang lebih penting lagi, dia mengabaikan cara bagaimana ledakan ini menggemakan agenda tersembunyi dari ideologi konservatif itu sendiri. Ketika, pada 1990an, kalangan Konservatif melancarkan kampanya ‘kembali ke asal’, pesan tambahannya yang nyeleneh dibeber oleh Norman Tebbit: ‘Manusia bukan hanya makluk sosial, namun juga mahluk territorial; sudah menjadi bagian dari agenda manusia untuk memuaskan nafsu akan kesukuan dan teritorialitas’. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan ‘kembali ke asal’: lepas dari kerangkengnya sifat barbar manusia yang tersembunyi dibalik topeng masyarakat borjuis yang beradab, guna memuaskan ‘nafsu’ barbarnya. Pada 1960an, Herbert Marcuse mengajukan konsep ‘desublimasi represif’ guna menjelaskan tentang ‘revolusi sosial’: nafsu manusia bisa saja di-desublimasi, memungkinkan terjadinya kebebasan, tapi tetap dalam kendali kapitalis – misalnya, industri pornografi. Di jalanan Inggris selama kerusuhan berlangsung, yang kita lihat bukan manusia yang terpuruk menjadi binatang, namun bentuk ‘binatang’ yang sudah ditelanjangi sebagai hasil dari ideologi kapitalis.
Sementara di kalangan liberal Kiri, yang juga tidak kalah mudah ditebaknya, tetap kukuh dengan mantra mereka akan perlunya program sosial dan proyek integrasi, bahwa sikap acuh yang selama ini berlangsung telah merampas peluang ekonomi dan sosial dari generasi kedua dan ketiga kaum imigran: kerusuhan dengan kekerasan adalah satu-satunya cara menyampaikan ketidakpuasan mereka. Bukannya terlena dengan fantasi balas dendam, kita perlu lebih berusaha untuk memahami penyebab yang lebih mendalam dari kerusuhan ini. Bisakah kita bahkan membayangkan bagaimana rasanya menjadi generasi muda yang hidup di kawasan miskin dan bercampur secara rasial, yang selalu tanpa alasan dicurigai dan dilecehkan oleh polisi, yang tidak hanya menganggur tapi seringkali sama sekali tidak bisa dipekerjakan, tanpa harapan akan masa depan? Akibatnya, keadaan yang harus mereka jalani menyebabkan mereka mau tidak mau harus turun ke jalan. Namun, yang tidak lengkap dari penjelasan semacam ini adalah, dia hanya menjelaskan penyebab obyektif dari kerusuhan. Berbuat rusuh pada dasarnya adalah membuat pernyataan subyektif, secara implisit menjelaskan bagaimana posisinya dalam kondisi obyektif tertentu.
Kita hidup di era yang sinis, dan mudah membayangkan seorang pendemo yang, ketika kepergok tengah menjarah dan membakar toko dan ditanya alasannya, akan menjawab dengan bahasa yang dipakai oleh kalangan pekerja sosial dan sosiolog, mengutip masalah hilangnya mobilitas sosial, meningkatnya ketidakpastian, meredupnya otoritas paternal, kurangnya kasih sayang ibu semasa kecil. Dia sadar apa yang dia lakukan, tapi tetap saja dia lakukan.
Akan sia-sia untuk menarik kesimpulan dari dua reaksi ini, dari kalangan konservatif dan liberal, mana yang lebih buruk: seperti yang mungkin akan dikatakan Stalin, keduanya buruk, dan keduanya juga mengandung peringatan dari kedua kubu bahwa bahaya sebenarnya dari kerusuhan itu terletak pada reaksi rasis seperti biasanya dari ‘kelompok silent majority’. Salah satu bentuk reaksinya adalah kegiatan ‘kesukuan’ dari masyarakat lokal (Orang Turki, Karibia, Sikh) yang segera membentuk kelompok peronda guna melindungi daerah mereka. Apakah para pemilik toko merupakan golongan borjuis kecil yang membela milik mereka melawan protes yang tulus, meski memakai kekerasan, terhadap sistem yang berkuasa; atau apakah mereka merupakan perwakilan dari kelas pekerja, melawan kekuatan disintegrasi sosial? Pun disini kita perlu menolak dorongan untuk memihak. Yang sebenarnya adalah bahwa konflik yang terjadi merupakan pertarungan antara dua kutub dari kelas yang terpinggirkan; mereka yang berhasil dalam sistem yang ada melawan mereka yang merasa terlalu frustasi untuk terus berupaya. Kekerasan dari para perusuh hampir seluruhnya diarahkan kepada golongan mereka sendiri. Mobil-mobil yang dibakar dan toko-toko yang dijarah tidak terletak di daerah kaya, tapi di lingkungan para perusuh sendiri. Konflik yang terjadi bukanlah antara kelas yang berbeda di masyarakat; itu adalah, dan dalam bentuknya yang paling radikal, konflik antara satu kelompok masyarakat dengan sesame kelompoknya, antara mereka bisa kehilangan segalanya, dan mereka yang tidak takut kehilangan apapun; antara mereka yang tidak memiliki peran di masyarakat, dan mereka yang taruhannya paling tinggi.
Zygmunt Bauman menyebut kerusuhan sebagai tindakan ‘konsumen yang defektif dan terdiskualifikasi’, yang lebih dari apapun, mereka adalah perwujudan dari hasrat konsumeris yang secara kejam mewujud ketika tidak mampu merealisasikan diri secara wajar – dengan cara berbelanja. Karena itu, peristiwa ini juga mengandung protes yang murni, dalam bentuk tanggapan yang ironis terhadap ideologi konsumeris. ‘Kalian mengajak kami untuk membeli sambil pada saat yang sama merampas dari kami kemampuan untuk membeli – karenanya kami melakukannya dengan satu-satunya cara yang kami bisa! Kerusuhan itu adalah pertunjukan dari kekuatan material dari ideologi – yang, rasanya, begitu berlebihan, di masyarakat yang katanya ‘masyarakat pasca-ideologis’. Dari sudut pandang revolusioner, yang salah dari kerusuhan itu adalah bukan kekerasannya, namun fakta bahwa kekerasan itu tidak benar-benar mewujud dengan sendirinya. Itu adalah bentuk kemarahan dan .keputusasaan yang berkedok kekerasan; itu adalah rasa dengki yang berkedok pawai yang megah.
Kekerasan itu seharusnya tidak ditempatkan dalam kaitannya dengan bentuk kekerasan yang lain, yaitu oleh kalangan mayoritas liberal hari ini dilihat sebagai ancaman terhadap jalan hidup kital; serangan teroris dan bom bunuh diri. Dalam kedua kasus, kekerasan dan kontra-kekerasan terjebak dalam lingkaran setan, masing-masing memicu kekuatan yang dia coba lawan. Dalam kedua kasus, kita menghadapi passages à l’acte buta, dimana kekerasan adalah pengakuan implisit akan ketidakmampuan. Perbedaannya adalah, berbeda dengan kekerasan di Inggris atau Paris, serangan teoris dilakukan untuk melayani Kebenaran tertinggi yang didapat melalui agama.
Tapi bukankah pergolakan di dunia Arab merupakan bentuk perlawanan kolektif yang tidak mengandung kekerasan yang merusak dan fundamentalisme agama? Sayangnya, Musim Panas di Mesir pada 2011 akan dikenang sebagai penanda dari akhir sebuah revolusi, sebuah masa ketika potensi emansipatorisnya pupus. Penggali kuburnya adalah militer dan kalangan Islamis. Wujud pakta antara militer (yaitu tentara Mubarak) dan Islamis (yang terpinggirkan pada bulan-bulan awal pergolakan, tapi sekarang semakin mendapat momentum) semakin terang; kaum Islamis menolerir kewenangan istimewa tentara dan sebagai imbalannya akan mengamankan hegemoni ideologis. Disini yang menjadi pecundang adalah kaum liberal pro-Barat, yang terlalu lemah – sekalipun mendapat dukungan dana dari CIA – untuk mendorong demokrasi, disamping sebagai pelaku utama dari peristiwa di musim semi itu, kekuatan sekuler kiri yang muncul dan mencoba untuk membangun jaringan organisasi masyarakat sipil, mulai dari serikat pekerja hingga kaum feminis. Situasi ekonomi yang semakin memburuk juga cepat atau lambat akan menarik kaum miskin, yang secara umum tidak terlibat dalam demonstrasi di musim semi itu, untuk ikut turun kejalan. Akan sangat mungkin terjadi pergolakan baru, dan pertanyaan sulit yang dihadapi oleh subyek politik Mesir adalah siapa yang akan mampu mengarahkan kemarahan dari kaum miskin? Siapa yang mampu merubahnya menjadi sebuah program politis: apakah kaum sekuler Kiri atau golongan Islamis?
Sebagian besar reaksi dari opini public di Barat terhadap pakta antara golongan Islamis dan militer, tidak diragukan lagi merupakan bukti gemilang dari kebajikan sinis: kita akan diberitahu jika, seperti halnya yang jelas nampak dari kasus di Iran, pergolakan rakyat di negara-negara Arab akan selalu berujung dengan Islamisme militan. Mubarak akan tampak sebagai pihak yang tidak terlalu jahat – lebih baik berteman dengan setan yang kita kenal daripada bermain-main dengan emansipasi. Menghadapi sinisisme semacam ini, kita perlu dengan tanpa-syarat tetap setiap terhadap inti emansipatoris-radikal dari pergolakan di Mesir.
Tapi kita juga perlu menghindari tantangan narsisisme akan Cita-cita yang kalah: adalah mudah untuk mengagumi keindahan sublime dari pergolakan yang gagal. Golongan Kiri hari ini menghadapi masalah ’kepastian negasi’: rejim baru seperti apa yang akan menggantikan rejim lama, ketika antusiasme sublim dari pergolakan awal sudah berakhir? Dalam konteks ini, manifesto dari kelompok demonstran di Spanyol, indignados, yang dikeluarkan setelah demonstrasi yang mereka adakan pada bulan Mei, menjadi indikasinya yang jelas. Hal pertama yang mencolok mata adalah nada yang jelas-jelas apolitis: ’Sebagian dari kami menganggap diri sebagai kelompok progresif, sementara yang lain tergolong konservatif. Beberapa dari kami beragama, yang lain tidak. Beberapa dari kami jelas memiliki tujuan ideologi yang pasti, sementara yang lain apolitis, tapi kami semua merasa peduli dan marah terhadap gambaran politik, ekonomi dan sosial yang kami berlangsung di sekitar kami: korupsi diantara para politisi, pebisnis, bankir, yang membuat kita tak berdaya, tanpa suara.’ Mereka melakukan protes atas nama ’kebenaran yang tak terelakkan bahwa dimasyarakat kita seharusnya menyediakan: hak atas perumahan, pekerjaan, kebudayaan, kesehatan, pendidikan, partisipasi politik, perkembangan pribadi dan hak menikmati hidup yang sehat dan sejahtera.’ Dengan menolak kekerasan, mereka menyerukan akan sebuah ’evolusi etis. Bukannya menempatkan uang diatas kemanusiaan, kita seharusnya menjadikannya pelayan bagi kita. Kita adalah manusia, bukan barang. Saya bukan produk dari apa yang saya beli, kenapa saya beli dan dari mana saya beli’. Siapa yang akan menjadi agen dari revolusi ini? Kelompok indignados menolak seluruh kelas politik, baik kanan maupun kiri, sebagai kekuatan yang korup dan dikuasai oleh nafsu kekuasaan, namun tetap saja manifesto itu berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada – siapa? Bukan kepada rakyat sendiri: indignados memang masih tidak (belum) mengklaim bahwa akan ada pihak lain yang mewakili mereka, bahwa mereka sendirilah yang akan menjalankan perubahan yang mereka tuntut. Dan inilah kelemahan fatal dari pergolakan yang terjadi baru-baru ini: mereka mewakili sebuah kemarahan otentik yang tidak mampu ditransformasi menjadi sebuah program perubahan sosio-politik yang nyata. Mereka menampilkan semangat berontak tanpa revolusi.
Situasi di Yunani tampak lebih menjanjikan, mungkin karena dipicu oleh faktor tradisi pengorganisasian-diri progresif yang muncul belakangan (yang di Spanyol sudah luntur sejak jatuhnya rejim Franco). Namun di Yunani sekalipun, gerakan protes ini menunjukkan gejala keterbatasan dari: para pemrotes membuat sebuah ruang kebebasan egalitarian tanpa sebuah otoritas terpusat yang mengaturnya, sebuah ruang public dimana semua orang diberikan waktu yang sama untuk berbicara dan sebagainya. Ketika para pemrotes mulai memperdebatkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, bagaimana agar beranjak dari hanya sekedar protes, consensus mayoritas yang muncul adalah bahwa apa yang diperlukan bukannya sebuah partai baru atau upaya langsung untuk mengambil alih kekuasaan negara, namun sebuah gerakan yang tujuannya adalah untuk memberikan tekanan terhadap partai-partai politik yang ada. Ini terang saja tidak cukup untuk mulai menjadikan reorgansiasi ulang kehidupan social. Agar itu bisa terjadi, kita perlu sebuah lembaga yang kuat yang mampu untuk mengambil keputusan cepat dan menerapkannya dengan segala konsekuensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar