Sabtu, 15 Oktober 2011

Siapa sih Zizek?

Beberapa kawan ngusulin, "Kang, mbok kita dikenalin dulu, siapa sih Zizek," sebelum dikasih tulisan-tulisan lain tentang pemikirannya. Dan siapa lagi yang paling tahu siapa Zizek selain dia sendiri. Makanya, pada kesempatan ini, aku mau nampilin wawancara Glyn Daly dengan Slavoj Zizek, yang menjadi bab pertama dari buku berjudul Conversations with Zizek, terbitan Polity, 2004, yang berbentuk semacam semi-auto-biografi dari Zizek.
Ada beberapa highlights dari perjalanan hidup Zizek yang patut disebut, diantaranya, ternyata dia sempat nganggur selama 4 tahun seusai bergelar Doktor karena dianggap kurang Marxist, suka ngakali prosedur demi tujuan yang baik, sempat menjadi kandidat presiden Slovenia dan hanya kalah tipis dari pesaingnya, dan pilihan jika dia diangkat menjadi menteri adalah Kepala BIN. Tapi kalau saja Zizek ditanya betapa beragamnya warna hidup Zizek, dia mungkin akan bilang, "Ya, memang gila, tapi begitulah hidup"
So, mudah-mudahan bisa membantu mulai mengakrabi, siapa sih sebenarnya sosok pemikir yang dijuluki "Elvis Presley-nya teori-teori kontemporer" dan "Marxist paling berbahaya di Barat saat ini", tapi sekaligus pernah menikahi model Lingerie dan sempat diisukan dekat dengan Lady Gaga ini.

Monggo Enjoy!



GLYN DALY Anda besar di Lubljana, ibukota Slovenia, di era Yugoslavia pasca perang dunia. Pada akhir usia belasan, anda sudah memutuskan untuk menjadi filsuf. Apa yang mendorong keputusan ini?

ZIZEK- Yang pertama perlu saya sampaikan adalah bahwa filsafat sebenarnya bukan pilihan pertama saya. Claude Levi Strauss pernah menyampaikan hipotesa bahwa semua filsuf, pemikir, sebelumnya selalu memiliki profesi lain dimana dia gagal, dan kegagalan itu lantas menentukan keberadaannya yang sekarang, sebagai filsuf. Bagi Levi-Strauss sendiri, pilihan pertamanya adalah menjadi musisi. Ini adalah semacam faktor yang aspek penentu yang mewarnai karya-karyanya. Sedangkan saya, sebagaimana jelas terlihat di berbagai tulisan saya, pilihan pertama saya adalah film. Itu bermula ketika saya berusia 13 atau 14 tahun, bahkan saya masih ingat film apa yang paling menarik perhatian saya kala itu. Dua diantaranya yang paling membekas adalah: Psycho dari Hitchcock's dan Last Year at Marienbad dari Alain Resnais. Masing-masing saya tonton paling tidak sudah lima belas kali. Saya juga punya sebuah kamera 8 mm. Jadi memang, pilihan awal saya bukan sebagai filsuf; ini semacam pilihan kedua, yang terbaik kedua.

Apakah anda membuat film dengan kamera Super 8 itu ?

Ya, tapi ini benar-benar rahasia. Saya membuat film amatir berdurasi 20 – 30 menit, dan seingat saya, filmnya sudah saya buang; atau tidak, entahlah, saya nggak yakin. Tapi seandainya saja hari ini seseorang muncul dengan film itu, dia pasti akan saya sikat! Itu benar-benar rahasia negara, karena tentu saja itu kayak kisah cinta konyol masa awal remaja– periode traumatis remaja yang sebaiknya dilupakan saja. Jadi, untuk menegaskan saja, struktur melankolik ini sudah ada sejak awal. Filsafat datang belakangan, sebagai pengganti dari, memakai istilah Judith Butler, 'keterikatan yang primordial dan intim’. Seolah saya memang memerlukan struktur itu.
Meskipun dalam psikoanalisa kita tahu bahwa setiap gejala negatif [symptom] memiliki struktur kehilangan primordial, saya kira tidak banyak rahasia yang bisa digali dari pengalaman saya. Sebelum menerjuni filsafat, saya sudah, di akhir usia belasan tahun, menulis sejumlah review film – bahkan mencoba menulis teori – di Jurnal Film Slovenia. Ironisnya, pengalaman saya sebenarnya bisa dibandingkan dengan St Paulus, ketika dia masih menjadi pemungut pajak di Damaskus, sebelum dia masuk Kristen. Bukankah sangat menarik, seandainya saja hari ini, kita menemukan ternyata dia meninggalkan sejumlah catatan tentang, bagaimana cara menarik pajak di jalanan, dan menerbitkannya sebagai karya awalnya? Tahu ndak, St Paulus, ketika menggambarkan penebusan melalui iman – makna dari pengorbanan Yesus – sering memakai istilah finansial: Yesus membayar dosa2 kita. Sekarang saya bisa membayangkan penafsiran dari kalangan dekonstruksionis terhadap karya-karya awal imajiner ini, tentunya akan menemukan kemiripan struktur paradigma: satu anggota keluarga membayar pajak, sehingga membayar kebebasan bagi seluruh anggota keluarga lainnya. Tapi sudahlah, ini tidak perlu kita bahas lebih jauh.
Poin kedua yang perlu saya sampaikan adalah, menarik bahwa ternyata tahapan demi tahapan perkembangan filosofis saya, seolah mengikuti tren apa yang tengah terjadi di Eropa Timur pada saat itu. Saya mulai dari sekitar usia 15 tahun, dengan bacaan klasik Marxist – dialektika dan sebagainya – dan terobosan pertama saya terjadi ketika saya tertarik dengan kelompok Praxis (ini adalah jurnal semi resmi dari kelompok Humanist Marxist di Slovenia), dan mulai memisahkan diri dengan ideologi resmi. Saya mulai membaca jurnal ini, dan karena di Slovenia Heideggerian cukup dominan, saya lantas beralih ke Heidegger. Lalu tahapan berikutnya, saya berjumpa dengan apa yang disebut revolusi strukturalis Prancis. Jadi seolah ada urutan yang jelas. Yang menarik, meskipun saya cukup mengenal Mahzab Frankfurt, tapi saya tidak pernah tertarik dengan mereka.

Menurut anda, apa tujuan filsafat dan peranan anda sebagai seorang filsuf?

Ya ampun, saya tidak memiliki pandangan yang jelas apa tujuan filsafat itu. Hampir saja saya tergoda untuk mengutip jargon Lacanian, ‘yang memutuskan adalah yang ada dalam diriku, bukan aku-nya’, karena memang tidak jelas. Tapi kalau diminta menjelaskan apa faktor yang mempengaruhi, menurut saya, dan ini masih saya percayai sampai sekarang, saya sedikit memahami arti filsafat ketika mempelajari dimensi transendental Kantian. Artinya, ketika saya memahami bahwa makna utama dari filsafat bukan hanya upaya megalomania –“ayo kita cari tahu apa struktur dasar dunia ini” – filsafat tidak seperti itu. Atau dengan istilah Heideggerian: meskipun ada kebutuhan mendasar untuk memahami struktur dunia, istilah dunia disini bukan hanya alam dan apapun yang ada didalamnya. ’Dunia’ disini lebih sebagai sebuah kategori historis, dan memahami apa makna dunia, dalam istilah transendental, berarti memahami prakondisi, paling tidak secara historis, struktur pemahaman yang menentukan cara kita memahami dunia yang hadir di hadapan kita. Bagi saya, ini adalah titik penting dalam memahami filsafat.
Begitu saya memahami bahwa ini tidak ada hubungannya dengan upaya megalomania –seperti yang menjadi landasan kritik ilmuwan sains, ‘kami membahas fakta nyata, dengan hipotesa rasional, sementara kalian para filsuf, kalian hanya memimpikan struktur dari segala hal’ – saya baru menyadari bahwa filsafat ternyata lebih kritis, bahkan lebih teliti dibanding sains. Filsafat bahkan menelisik pertanyaan yang lebih mendasar. Misalnya, ketika ilmuwan mengajukan suatu pertanyaan, maka filsafat tidak hanya membahas ‘apa struktur dari segala hal?’ tapi lebih jauh, ‘konsep apa yang dipahami oleh ilmuwan itu sehingga dia sampai mengajukan pertanyaan itu?’. Artinya menanyakan pra-konsepsi apa sehingga anda mengatakan, memahami dan anda tahu bahwa anda melakukan sesuatu.
Dalam konteks ini, Kant adalah filsuf teladan. Misalnya, dalam karyanya Critique of Practical Reason, masalah yang dibahas Kant bukannya spekulasi dari kefanaan jiwa. Dia mengajukan pertanyaan sederhana, ‘apa yang kita pahami dari fakta bahwa kita berperan sebagai agen etika?’ Jawaban Kant cukup konsekuen, dan dalam derajat yang berbeda, hal itu juga diamini oleh Derrida. Menurutnya, paling tidak dalam pemahaman umum tentang etika, bahwa orang cenderung mempercayai keabadian jiwa dan keberadaan Tuhan; diam-diam kita mempercayai hal ini. Inilah makna filsafat, bukannya ‘saya filsuf menjelaskan struktur dunia dan sebagainya’, tapi sebuah proses eksplorasi terhadap apa yang sebelumnya diterima begitu saja, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi upaya filsafat hari ini tidak berupa pertanyaan besar semacam itu, tapi apa yang melatarbelakanginya, apa yang membuatnya terbentuk?

Ya, dan dalam hal ini menurut saya bahwa dari perspektif modern, hal ini cukup jelas. Saya bahkan akan mengatakan sesuatu yang mengejutkan, yang mungkin akan membuat sejumlah sejarawan ramai-ramai mengeroyok saya, bahwa filsuf sejati yang pertama sebenarnya adalah Kant. Dengan penjelasan transendennya, menurut saya Kant sudah membuka khazanah baru yang membuat kita bisa memahami keseluruhan ajaran filsafat sejak masa awal sejarah. Filsafat pra-Kantian tidak pernah bisa memhami aspek transendental ini. Dan menariknya, kalau anda baca dengan teliti, tahukah anda siapa yang berpendapat sama dengan saya? Heidegger, di masa-masa awalnya. Terlihat jelas bahwa dia menganggap bahwa Kant membuat terobosan besar dengan menggali tentang kondisi dari kemungkinan. Masalahnya, menurut Heidegger, Kant kurang radikal; bahwa dia masih terikat dengan ontologi substansialis yang terlalu naïf. Tapi intinya, upaya Heidegger adalah memakai pandangan Kant ini kedalam kondisi dari kemungkinan – atau yang dia sebut khazanah waktu (horizons of minute) – dan lalu kembali untuk membaca Descartes dan Aristoteles. Inilah kenapa awalnya saya menduga bahwa Heidegger sebenarnya sedang mengerjakan sesuatu yang penting sebelum dia tiba-tiba merubah posisinya – di periode Heidegger-akhir pada awal 1930an. Belakangan, Heidegger meninggalkan orientasi awalnya terhadap Kant itu. Pada titik itu, bagi Heidegger, transendensi Kant semata hanya kemunduran menuju metafisik, nihilisme subyektifis. Tapi menurut saya, ini adalah kekeliruan yang besar. Menurut saya, kontribusi penting dari Heidegger-awal adalah bahwa keseluruhan sejarah metafisik harus dibaca ulang dengan kacamata transendental Kant itu.
Demikian juga dengan keseluruhan karya dari para filsuf sebelumnya. Mari kita ambil contoh Aristoteles. Disini saya sependapat dengan Heidegger dan Lacan, yang menyebut bahwa kuncinya adalah, apa yang biasa disebut karya-karya biologis Aritoteles. Yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam deskripsinya tentang struktur makhluk hidup, yaitu sesuatu yang membuat dirinya keluar dari dirinya, bukanlah teori tentang dunia dalam artian apa yang kita pahami ketika menyebut sesuatu sebagai hidup. Dengan kata lain, sebenarnya dia sedang menjelaskan pemahaman awal kita, ketika kita menyebut bahwa sesuatu itu sebagai makhluk hidup. Dalam konteks inilah prosedur hermeneutika tidak selalu ontologis. Ini bukan masalah apa yang secara obyektif ilmiah dianggap hidup. Tetapi, lebih pada pertanyaan bagaimana – dalam kehidupan sehari-hari ketika kita mengalami sesuatu yang hidup (binatang hidup, batu tidak) – kita menerapkan kriteria tertentu yang sebelumnya sudah kita ketahui; inilah yang dimaksudkan dengan pendekatan hermeunitis . Dan dalam kerangka ini, sekali lagi, diantara sejumlah nama yang saya sebut, posisi Kant sangat penting.

Anda belajar filsafat di Universitas Lubljana dan menulis disertasi doktoral tentang Heidegger. Kenapa anda memilih Heidegger?

Mungkin perlu saya tambahkan, meskipun disertasi saya tentang Heidegger, namun buku pertama saya – diterbitkan ketika saya berusia 22 tahun – bukan dari disertasi ini, tapi dari skripsi sarjana saya. Isinya membahas karya Heidegger dan Derrida dengan judul yang, kalau saya lihat lagi sekarang sebenarnya sangat memalukan: The Pain of the Difference. Inilah diantara dari salah satu buku yang anda jangan sekali-sekali berani membahasnya di depan saya! Ini adalah karya awal, dan cukup membingungkan. Setelah itu, tesis master saya membahas tentang teori pemikir-pemikir Prancis mengenai praktek simbolis, meliputi Derrida, Kristeva, Lacan, Foucault dan lainnya, tapi orientasinya tidak cukup jelas. Baru di disertasi kedua saya, di akhir 1970an, orientasi Lacanian yang jelas mulai muncul. Tetapi karena kita sering menyebut Heidegger, perlu saya bahas, kenapa Heidegger? Harus saya katakan bahwa, saya semakin yakin jika Heidegger, (terlepas dari berbagai kritik yang memang pantas dia terima), adalah filsuf yang menghubungkan kami ke semua filsuf saat itu; dalam artian, hampir seluruh pemikiran yang bisa dianggap penting saat itu, sebenarnya menegaskan keterkaitan, ataupun sebaliknya, perbedaannya, dengan pandangan Heidegger. Saya mengungkapkan ini seperti halnya dalam pandangan Foucault, yang menyebut bahwa disuatu titik, semua pemikiran filsafat sebenarnya adalah anti-Platonis (semua filsuf harus menegaskan perbedaan posisinya dari Plato); atau dalam kerangka abad 19 ketika lumrah menyebut diri anti-Hegelian, yang artinya tentu saja mengambil jarak dari Hegel. Dalam konteks kami saat itu, menurut saya jarak dari Heidegger-lah yang penting. Dan dalam upaya mengambil jarak ini, berlaku kebiasaan untuk tidak memberi batasan tegas, tetapi menerapkan syarat tertentu; bisa saja anda menyetujui poin tertentu dari Heidegger, tapi lalu menambahkan bahwa dia kurang jauh dalam membahasnya. Misalnya, kalangan Marxist akan bilang, ’memang Being and Time adalah terobosan penting, dengan bahasan teori abstrak tentang ego sebagai sebyek dari persepsi, Dasein, yang muncul ke dunia,’ tapi mereka akan menambahkan bahwa Heidegger toh luput untuk membahas tentang dimensi sosialnya.
Bahkan, saya bayangkan, seseorang seperti Derrida mungkin akan bilang, ‘ya, Heidegger memang memulai kritik terhadap metafisik kehadiran, tapi penjelasannya terhadap momen penyandangan [event of appropriation] masih terlalu tertutup’. Heidegger hampir melakukannya, tapi dia kurang maju. Dalam hal ini, menurut saya Heidegger adalah figur kunci disini. Kembali ke situasi di Slovenia pada saat itu, saya kira, saya beruntung karena Slovenia tidak didominasi oleh salah satu mahzab filsafat internasional (di negara bagian lain, seperti Kroasia dan Serbia, ini terjadi dalam bentuk Mahzab Praxis Marxisme Humanis), sehingga terdapat semua aliran filsafat penting. Kami memiliki Mahzab Frankfurt, Marxists, Heideggerian, filsafat analitis dan sebagainya. Jadi saya cukup beruntung bisa belajar semua aliran dominan ini.

Seberapa jauh anda menyadari terhadap interpretasi Derridean terhadap Heidegger ketika melakukan penelitian anda?

Sangat besar. Saya ingat betul terjadinya pergeseran penting, penemuan besar, yang saya alami, sudah terjadi sejak awal 1968, ketika tahun pertama saya menjadi mahasiswa. Kalau boleh sedikit quasi-religius, rasanya kayak misterius, bayangkan saja, saya sedikit mengerti bahasa Prancis, tapi bersama-sama dengan kawan-kawan yang Bahasa Prancisnya lebih baik, kami mulai membaca Grammatology-nya Derrida. Ketika itu rasanya seperti tahun yang begitu ajaib ketika, pada saat yang praktis bersamaan, terbit tiga buku: Grammatology, Voice and Phenomenon dan Writing and Difference. Kami benar-benar mengalami pencerahan (meskipun belakangan saya berpaling dari Derrida); itu adalah momen: ‘Ya ini!’ – kami bahkan tahu bahwa ini penting, bahkan sebelum kami benar-benar paham apa isinya. Belakangan ketika membaca ulang, baru saya sadari bahwa banyak konsep yang saat itu sebenarnya saya keliru memahaminya, tapi pandangan pada saat itu adalah, ‘Ya ampun, ya ini yang bener!’ dan entah bagaimana, kami tahu bahwa kami harus mengikutinya. Jadi tidak hanya saya tahu bacaan Derrida terhadap Heidegger, tapi justru hal inilah yang membuat saya tertarik. Bahkan, saya kira, tanpa Derrida saya mungkin akan menjadi Heideggerian. Derrida-lah yang membuka jalan bagi saya untuk menjauh dari Heidegger. Yang saya cari dari Derrida saat itu adalah bagaimana memisahkan diri dari Heidegger, dan saya ingat betapa kecewanya saya ketika di buku pertama yang hebat ini, Derrida sendiri tampaknya menghindari topik tentang Heidegger. Baru di sejumlah karyanya yang belakangan, menurut saya di awal 1970an, Derrida membahas Heidegger secara langsung.
Jadi, ya, Derrida berperan penting dalam upaya saya menjauh dari Heidegger. Bahkan, selama beberapa tahun, dibawah pengaruh Derrida, saya dan kelompok saya mengarah ke semangat taqlid yang naif, menerima apa saja yang berasal dari pemikir Prancis: Levi-Strauss, Foucault, Kristeva, Lacan dan sebagainya.
Pada awalnya, tentu saja Lacan benar-benar sulit dipahami, dan perlu beberapa tahun – jujur saja perlu waktu sampai sekitar Bulan Juni 1975 – sebelum, dengan sekali lagi melewati pencerahan quasi-religius, kami memutuskan: Lacan! Jadi periode ini adalah salah satu masa yang penuh dengan kebingungan dan coba-coba. Tapi menarik dicatat bahwa pada edisi musim dingin Bulan Agustus tahun 1967, di jurnal Slovenia kami, Problemi, yang sampai sekarang masih menjadi jurnal kami, kami sudah menerbitkan terjemahan dua bab dari Grammatology. Menurut saya, ini mungkin terjemahan pertama, bukan keseluruhan buku tapi beberapa bab, dari buku ini ke bahasa asing.

Awal 1970an anda sudah menyelesaikan disertasi tentang Heidegger dan menerbitkan buku pertama. Bagi sebagian mahasiswa pasca-sarjana, ini biasanya menandakan akan datangnya karir yang cemerlang di perguruan tinggi, tapi anda justru berada dalam posisi terpinggirkan di kalangan akademis Yugoslavia. Bisakah anda menjelaskan kondisi ini?

Ya – bahkan saya menjadi pengangguran. Periode Februari 1971 sampai akhir 1970an adalah masa-masa sulit komunisme, dan saat itu sangat sulit mendapatkan pekerjaan – praktis mustahil untuk bisa menjadi dosen – kalau anda bukan seorang Marxist. Para profesor di kampus sudah menjanjikan pekerjaan dan saya bahkan sudah mengajukan lamaran sebagai asisten dosen di Fakultas Filsafat. Posisinya adalah asisten dosen mata kuliah Filsafat Borjuis Kontemporer Modern – Modern Contemporary Bourgeois Philosophy (saya suka namanya – tapi memang saat itu kan era Marxisme). Sampai suatu ketika saya mendengar desas-desus bahwa ada yang salah dengan pandangan-pandangan saya, dan lalu tiba-tiba saja, saya diberi tahu bahwa ’Kamu Keluar!’. Setelah itu saya menganggur selama empat tahun, dari 1973 sampai akhir 1977.

Kenapa anda dianggap bukan seorang Marxist?

Menurut saya karena dua hal. Pertama, dalam arti tertentu saya memang bukan seorang Marxist; saya lebih pada posisi antara Heidegger dan Derrida, dan bahkan ketika saya mendekat ke pemikiran orang seperti Althusser, sulit rasanya untuk mengaku bahwa saya seorang Marxist. Tapi penyebab yang lebih berat adalah bahwa semua orientasi filsafat dominan di Slovenia – Marxists, Mahzab Frankfurt, filsuf analitis, Heideggerian dan sebagainya – sangat membenci pemikiran Perancis: strukturalisme, post-strukturalisme dan sebagainya. Jadi faktor yang kedualah yang menurut saya lebih menjadi masalah dibandingkan fakta bahwa saya yang bukan seorang Marxist Ortodoks.

Ketertarikan anda terhadap pemikiran Perancis dianggap sebagai ancaman?

Tepat sekali, ya. Tentu saja secara formal mereka tidak menyatakan demikian. Bagi mereka, masalah saya adalah hal yang sepele dan tidak perlu ditanggapi dengan serius. Jadi saya hanya ditolak begitu saja. Saya ingat ketika menyelesaikan tesis master, saya harus menulis tambahan khusus karena versi aslinya ditolak dengan alasan kurang Marxist! Jadilah saya menganggur selama empat tahun, sampai kemudian terjadi paradoks ini. Saya kemudian diterima bekerja selama dua tahun di lembaga yang bernama Pusat Kajian Marxis [The Marxist Centre] di Komite Pusat [Central Committee] Partai. Ini adalah paradoks khas Yugoslavia. Dari kacamata Marxist, saya dianggap tidak cukup mampu untuk bekerja di kampus, tapi saya cukup baik untuk bekerja di Central Committee – meskipun jenis pekerjaannya remeh yang tugasnya hanya mencatat pertemuan-pertemuan kecil di berbagai departemen. Rasanya sinis sekali.

Mungkin mereka ingin terus mengawasi anda?

Tentu saja. Meski begitu, para profesor yang mengatur ini, saya kira memang pada dasarnya ingin membantu saya. Saya masih muda, punya seorang anak dan menganggur, dan atas jasa mereka, mereka cukup membantu dengan kondisi saya. Mereka menyatakan bahwa dalam situasi politik saat itu, mustahil bagi saya menjadi pengajar; akan terlalu bermasalah dan secara politik akan terlalu beresiko. Maka kemudian mereka mencoba mencarikan saya posisi peneliti sebagai langkah sementara. Tapi lalu muncul masalah lain, sehingga saya tidak mungkin menempati posisi yang mereka siapkan untuk saya sebagai peneliti filsafat. Lalu, ketika saya melihat jalan buntu ini, melalui seorang teman sesama Heideggerian, pada tahun 1979 saya mendapat pekerjaan di Fakultas Sosiologi di Institute for Social Sciences, University of Ljubljana. Dan selama sebelas tahun kemudian, saya tidak bekerja di bidang saya. Semua orang tahu bahwa saya adalah seorang filsuf, dan saya sama sekali tidak tertarik dengan Sosiologi, tapi saya harus berpura-pura.
Sementara itu saya sebenarnya terus melakukan apa yang sebelumnya saya lakukan – filsafat – dan mereka membiarkannya begitu saja. Jadi saya tidak mengeluh. Saya kira, semua ini – sekali lagi, saya dalam mood religius – diatur oleh tangan takdir yang tersembunyi. Saya kira semuanya adalah berkah yang tersembunyi. Anda tahu, ketika muda, saya membaca cerita tentang seorang verger – seseorang yang membantu pendeta. Ini adalah cerita yang menarik tentang seseorang yang sudah melakukan pekerjaannya selama dua puluh tahun, ketika tiba-tiba ada perintah dari Gereja pusat bahwa semua yang bekerja di gereja harus bisa baca tulis. Si pendeta mengetahui bahwa si verger ternyata buta huruf sehingga terpaksa bilang ‘Saya sangat menyesal, kamu harus saya pecat; kamu tidak bisa lagi bekerja disini’. Dengan rasa marah, si verger pun pulang dan ingin membeli rokok. Tapi dia baru menyadari bahwa di sepanjang perjalanan pulang dari gereja, dia tidak melihat ada satupun toko tembakau. Maka dia mengumpulkan sedikit uang dan membuka toko, lalu berhasil membuka satu lagi, dan lagi dan lagi, sampai setelah beberapa tahun, dia menjadi kaya raya. Karena uangnya begitu banyak, diapun memutuskan untuk menyimpan uangnya di bank, dan diajak menemui pimpinan bank. Ketika pimpinan bank mengetahui bahwa si verger tidak tahu bagaimana cara mengisi formulir atau membuat tanda tangan, si pemimpin bank berkata ‘Ya Tuhan, meskipun buta huruf, anda bisa memiliki uang sebanyak ini; bayangkan seandainya anda bisa baca tulis’. Dan si velger menjawab, ‘ya, saya tahu persis saya akan jadi apa: pembantu di gereja berupah rendah yang miskin.’
Saya kira cerita ini persis terjadi dengan saya. Seandainya saya dapat pekerjaan sebagai pengajar pada saat itu, saya rasa sekarang saya hanya akan menjadi seorang professor yang miskin, bodoh, dan tidak terkenal di Ljubljana, mungkin berkutat dengan sedikit pemikiran Derrida, sedikit pemikiran Heidegger, sedikit pemikiran Marxism dan sebagainya. Jadi, tidak diragukan lagi ini adalah berkah tersembunyi, tidak hanya karena ini mendorong saya untuk pergi keluar negeri – saya pergi ke Paris, memberi kuliah disana untuk bertahan hidup, lalu belajar dengan Miller dan lainnya – tapi yang lebih penting lagi adalah fakta bahwa saya tidak diperbolehkan mengajar dan diberi jabatan peneliti, dan mulai saat itu saya selalu berusaha untuk bertahan dalam posisi peneliti ini. Tentu saja ini berarti cuti permanen. Jadi kalau dilihat lagi kebelakang, dari perspektif teologis, ini adalah sebuah campur tangan Tuhan, saya hampir yakin bahwa semua hal yang awalnya kelihatan sebagai kesialan, ternyata menjadi berkah tersembunyi bagi saya.

Ini sama dengan cerita Kieslowski, Three Colours White?

Bisa dibilang begitu: tanpa kesalahpahaman itu, yang mestinya hanya seorang penata rambut miskin di Paris, kini menjadi seorang jutawan di Polandia. Ya, cerita yang sama persis.

Di awal 1980an anda melanjutkan doktoral kedua anda di Universite de Paris VIII – kali ini tentang psikoanalisa Lacanian. Apa latar belakang keputusan ini dan apa yang menarik anda ke Mahzab Psikoanalisa Paris?

Oke, kini kita membahas periode awal 1980an: ya, saya memiliki gelar Doktor, dan bekerja di lembaga pinggiran – tidak dalam artian negatif secara kualitas lembaga, tapi karena banyak yang bekerja disana adalah orang buangan, yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di bidang yang sesuai. Kenapa Paris? Salah satu alasan adalah karena berharap untuk maju di Slovenia itu sangat sulit. Saya tidak melihat adanya prospek bagi saya di sana. Yang kedua adalah pada saat itu, kami (saya dan kelompok saya) telah menjadi Lacanian Ultra-ortodoks sejak kira-kira pertengahan 1970. Kami mulai membangun hubungan dengan Jacques-Alain Miller dan kami mengadakan seminar besar, yang dengan sedikit curang dan keajaiban akhirnya mampu mendapat cukup uang untuk mengadakannya. Seingat saya, temanya adalah ’Psikoanalisa dan Budaya’ – atau semacam itulah (kami selalu harus mencantumkan istilah budaya di judulnya). Kami mengundang J. -A. Miller dan beberapa Lacanian lainnya seperti Gerard Miller dan Alain Grosrichard. Suasananya terasa seperti acara publik yang besar. Antusiasmenya luar biasa, orang-orang berdiri di luar ruangan di koridor untuk mendengarkan presentasi2nya. Acara itu menjadi semacam kegiatan legendaries yang mengawali mahzab Lacanian Slovenia. Setelah itu, Miller menawari salah satu dari kami posisi sebagai Foreign Assistant di Paris-VIII – setiap tahun ada satu atau dua posisi – dan tahun itu dia menawarkannya kepada saya. Saya tinggal setahun disana, lalu beberapa kali lagi, selama satu semester, dan pernah sekali bahkan setahun penuh di Paris. Dan disanalah saya mendapatkan penggemblengan Lacanian saya selama beberapa tahun.
Saya merasa bahwa selama tahun-tahun itu di Paris, saya belajar lebih banyak, dan bahkan dalam arti tertentu, inilah pendidikan saya yang sebenarnya. Apapun anggapan orang terhadap J.-A. Miller, dia adalah pendidik terbaik yang saya kenal. Dia memiliki kemampuan menjelaskan yang luar biasa. Misalnya, anda menemui satu halaman Lacan yang bagi anda benar-benar membingungkan, lalu anda bicara dengan dia, tidak hanya anda akan jadi paham, tapi rasanya seolah benar-benar gamblang, dan membuat anda berujar kepada diri sendiri, ‘ya ampun, bagaimana bisa aku tadi tidak paham, ini kan jelas sekali!’ Jadi saya bisa menyatakan secara terbuka bahwa Lacan saya adalah Lacannya Miller. Sebelum Miller, saya tidak begitu memahami Lacan, dan bagi saya saat itu adalah masa pendidikan terbaik saya. Pada saat itu, Miller juga mengadakan sejumlah seminar publik yang melibatkan peserta ratusan orang. Lalu ada lagi seminar tertutup, jumlahnya hanya 15 atau 20 orang, berdiskusi dengan intens, saling menanggapi, benar-benar saat yang luar biasa. Selama satu semester penuh, kami mempelajari Kant dengan Sade, kalimat demi kalimat, lalu kami melanjutkan dengan 'Subversion of the Subject’ [Subversi Subyek] dan the Dialectic of Desire' [Dialektika Hasrat], dan sebagainya. Sekali lagi, ini benar-benar membuka Lacan bagi saya. Tanpa proses ini, mungkin jadinya akan lain sama sekali. Ini benar-benar pengalaman yang membentuk saya.
Kembali ke eks-Yugoslavia, bisa dibilang ada dua pengalaman lain yang juga sangat mempengaruhi saya, dan bahkan sampai sekarang mewarnai pendekatan saya terhadap ideologi: Menjalani sebagai wamil di Yugoslavia, dan bekerja di Central Committee sambil melihat langsung bagaimana mesin internal Partai Komunis bekerja dari dalam. Disana saya belajar langsung dari pengalaman mekanisme dasar bagaimana penerapan ideologi; yaitu bahwa agar bisa berfungsi, ideologi seharusnya tidak ditanggapi terlalu serius. Yang mengagetkan saya ternyata adalah, tidak hanya ketentuan dasar Partai tidak menganggap serius ideologi resmi, tapi mereka yang menganggapnya terlalu serius justru akan dianggap sebagai ancaman. Dengan kata lain, justru adalah positif untuk menyepelekan ideologi. Sehingga kalau anda terlalu serius menanggapi sesuatu, itu berarti langkah awal untuk nantinya anda akan dibuang.
Pernah dalam satu acara, ketika salah satu petinggi Partai Komunis Slovenia berpidato kepada kami para Komunis Muda, dia menekankan bahwa kami harus membaca kedua volume Das Kapital, dan kami harus menjalani hidup kami mengikuti tesis keempat Feuerbach: bahwa kamu tidak hanya harus memahami dunia, tapi juga mengubahnya. Tentu saja kalimatnya dirubah menjadi, 'mari kita tidak hanya bicara dan berpikir, mari kita bekerja’. Setelah itu, saya mendekati dia dan bertanya: ’Anda tahu ndak, yang benar itu ada tiga volume Das Kapital-nya Marx, dan prinsip itu adalah tesis ke 11, bukan tesis ke 4 dari Feurbach?’ Dan saya memperoleh jawaban yang mengagumkan, ‘Aku sudah tahu, tapi ya itu pesanku, tidak penting siapa yang tahu akan hal ini.’ Ini adalah contoh yang luar biasa bagaimana ideologi bekerja. Pesannya adalah, ini tidak penting dan saya tidak peduli.

Apa terjadi dinamika psikoanalisa disini, bahwa seseorang tidak boleh terlalu dekat dengan sesuatu (yang Stalinis) itu sendiri?

Kalaupun ada dinamika psikoanalisa, maka ini adalah sesuatu yang aneh, yang sampai sekarang masih terus terjadi, karena semua kawan saya tahu dan menertawakannya, bahwa saya sampai sekarang masih dalam dunia metafora Stalinis. Saya benar-benar terobsesi dengan hal ini. Film-film yang saya tonton sering film-film tua Stalinis, lagu-lagu yang saya dengarkan adalah lagu-lagu tua komunis, dan bahkan dalam kegiatan sehari-hari saya sering memakai ungkapan Stalinis – anda tahulah – pengkhianat, kebenaran obyektif, penyimpangan dan sebagainya, sebanyak mungkin dalam kehidupan sehari-hari saya. Jadi proses ini masih terus berlangsung, dan saya masih belum melewatinya. Saya mengakui sepenuhnya, tapi ini sumber kesenangan saya.

Di akhir 1970an, bersama dengan beberapa rekan, anda mendirikan Society for Theoretical Psychoanalysis [Masyarakat Psikoanalisa Teoritis]. Apa alasan dan tujuan utama dari lembaga ini? Bagaimana pengelolaannya?

Alasan utama kami mendirikannya adalah karena kami terpinggirkan dalam dunia akademik – paling tidak kelompok Lacanian saat itu. Dengan menjadi lembaga, maka kami akan berhak untuk mengadakan kuliah dan membuka jurusan, yang kami lakukan untuk mengembangkan teori. Tapi saat itu masih masa komunis, dan anda tidak bisa begitu saja melakukan sesuatu; anda perlu payung lembaga. Ini salah satu alasan. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan otonomi bagi penerbitan yang kami lakukan, karena sekali lagi, dengan berbentuk lembaga, kami berhak untuk menerbitkan sesuatu.
Tapi membentuk organisasi bukan perkara mudah, dan ini tercermin dari nama yang agak aneh yang kami pilih: Society for Theoretical Psychoanalysis. Prosedur yang berlaku adalah proposal bagi lembaga baru harus dikirim ke sejumlah lembaga sosialis yang menaungi, yang lantas akan menanyakan ke organisasi serupa – dalam hal ini, organisasi filsafat, sosiologi dan psikologi – apakah perlu lembaga baru. Ini adalah saat yang menegangkan bagi kami. Kami beruntung karena organisasi filsafat dan sosiologi tidak menghalangi kami. Masalahnya adalah dengan organisasi psikologi, terutama dengan kalangan psikiatri, yang khawatir bahwa kami akan menyaingi mereka. Karena itu, kami perlu untuk menambahkan kata 'theoretical' di namanya: dengan kata lain, tidak ada hubungannya dengan praktek, atau klinis. Ini tentu saja untuk tujuan pragmatis.
Pengelolaan lembaga ini sendiri pada dasarnya tidak berjalan. Di sepanjang sejarah lembaga ini, seingat saya, tidak pernah sekalipun diadakan rapat resmi. Tidak pernah, semuanya dilakukan benar-benar serabutan. Praktis sayalah yang mengelola bersama dengan satu atau dua orang sejawat. Tujuannya semata hanya untuk mengelola anggaran, mendorong penerbitan (jurnal Problemi dan serial buku, Analecta) dan sebagainya. Saya sampai tertawa dan ini contoh kekonyolan kami, ketika sejumlah kolega asing saya, yang masih mahasiswa dan lebih muda dari saya, menyampaikan “kami ingin menulis sejarah mahzab Lacanian, bisakah kami mempelajari arsip lembaga anda?’ Ya ampun – tidak ada apapun, tidak ada arsip!

Tidakkah anda memanfaatkan keahlian Central Committee anda?

Ya, dalam beberapa kasus, kami menggunakan beberapa keahlian Central Committee ini untuk tujuan Stalinis yang baik. Misalnya, kami sering memberi keterangan bahwa seseorang memiliki jabatan tertentu, merubah mundur sebuah tanggal dan sebagainya. Dalam hal ini, kami cukup manipulatif, tapi memang lembaga ini semata alat untuk membangun penerbitan, sesekali mengadakan konferensi dan sebagainya. Di Slovenia, untungnya masih ada dukungan yang besar dari negara bagi pubikasi dan jurnal, tapi mereka tidak memberikannya ke individu, tapi harus kepada jurnal dari lembaga. Jadi kami perlu lembaga untuk memperoleh dana ini.
Dalam banyak hal, ini secara tepat mencerminkan struktur Lacanian; ide bahwa das Ding (Sesuatu) – di tengahnya kosong, tidak ada. Banyak Kawan saya yang menganggap bahwa kalau ada mahzab Lacanian Slovenia, dan kami banyak menerbitkan keluar negeri, pasti banyak yang terjadi di dalamnya? Jawabannya adalah tidak ada, benar2 tidak ada. Memang di satu sisi ini tragis. Rasanya seperti tertangkap basah, ketika seseorang datang ke Ljubljana dan kami hanya mampu bilang tidak ada apapun disini. Hanya ada kami bertiga yang hanya bergaul sebagai teman, hanya itu. Disini anda bisa menyamakan kami dengan troika KGB-nya Stalinis – tahu kan bagaimana komunis selalu diorganisir secara troika, sebagai satu unit yang terdiri dari tiga, untuk membunuh orang atau apapun. Dalam konteks kami, benar2 sebuah troika, Alenka Zupancic, Mladen Dolar dan saya sendiri.
Situasi ini, dalam hal tertentu, memang akibat dari kelemahan saya. Maksud saya adalah saya sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau ritual. Misalnya saya sering keberatan ketika saya ditunjuk dalam komisi yang menguji tesis mahasiswa. Pertanyaan saya selalu, kenapa melakukan ini? Ide saya selalu, kenapa perlu melewati ritual ini? Ayo kita tanda tangani saja dan pergi ke restoran dan makan2 enak. Namun kebanyakan orang ternyata suka dengan hal ini, ritualnya, kalau tidak mereka akan kecewa. Bagi saya, saya selalu enggan dengan ritual ini.
Karena itulah, sekali lagi, kenapa lembaga ini ideal, karena tidak ada apapun. Tapi kami bisa menghasilkan berapapun dokumen yang anda inginkan dalam setahun. Ini selalu menjadi kesenangan saya. Sebagai contoh saja – saya tidak akan menyebut nama, orang bisa menuntut saya – setiap kali saya berkunjung ke kampus di AS, dan saya barangkali mengunjungi lebih dari 100 kampus, dengan alasan ’ya ampun, saya perlu kertas untuk menulis’, saya selalu mencoba, selama memungkinkan, untuk mengambil kertas dengan kop surat sekaligus amplopnya dari lembaga itu. Dengan cara ini, sepanjang 1990an, dirumah saya selalu ada kertas resmi dari 30 atau 40 kampus yang berbeda.
Di Slovenia, prosedur yang berlaku adalah kalau anda ingin pergi keluar negeri sebagai peneliti, anda harus menunjukkan dokumen undangan dan kalau undangan itu dinilai penting, maka otomatis anda akan mendapat dana. Jadi suatu ketika, seorang kolega saya datang dan bilang dia ingin pergi ke luar negeri. Saya akan bilang, ’baik, kamu ingin pergi kemana?’ Dia bilang, ’Chicago’ Saya katakan, ’coba kita lihat saya punya apa untuk Chicago’. Pada saat itu saya punya kertas dari German Department di University of Chicago dan juga dari Northwestern University. ‘OK, ini pilihannya, mana yang kamu lebih suka?’ Dia memilih satu, dan lalu saya tanyakan, acara apa yang dia ingin diundang? Jadi kami memalsukan semuanya, apapun yang diperlukan, semua data – tentunya kami selalu mengarang kegiatannya. Maksud saya, saya hanya mencantumkan, ’atas nama’ dan saya palsukan namanya supaya teman-teman saya tidak tersinggung kalau nantinya ketahuan. Suatu ketikam saya ingat sekali memang ada kegiatan yang sebenarnya, tapi saya lantas bilang, tidak, ini tidak etis maka kami mengarang kegiatan lain. Saya bilang, saya tidak bisa menulis yang sebenarnya, harus bohong. Jadi meskipun akan lebih mudah untuk menyebutkan kegiatan yang sebenarnya, tapi kami mengarang kegiatan baru. Saya adalah seorang yang gila kerja. Saya menyelesaikan semua tugas saya, tapi saya punya dorongan yang jelek ini untuk memalsukan hal-hal yang terkait dengan kelembagaan. Saya merasa bahwa semua yang terkait dengan lembaga harus dipalsukan. Saya tidak tahu ini apa artinya. Saya tidak pernah menganalisa diri saya sendiri, bahkan membayangkannya saja saya tidak mau.

Jadi pengelolaan lembaga secara Lacanian ini juga memunculkan konsep surat yang selalu sampai ke tujuannya ini?

Ya, ya, tapi sekali lagi, meskipun terdengar gila, pengelolaan semacam ini ternyata sangat praktis. Tidak muncul masalah seperti ‘bagaimana kalau ada kelompok yang berbeda? ‘Bagaimana kalau ada yang tidak setuju?’ Semua hal bisa dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Misalnya, suatu ketika kami perlu dana untuk penerbitan dan kami diberitahu bahwa karena ini adalah proyek yang besar, kami harus memiliki komite editorial di dalam lembaga yang harus membahas dan menyetujui proyek ini. Saya bilang OK, kami punya. Lalu saya pulang dan dalam waktu setengah jam, saya menulis dokumen, mencantumkan tanggalnya mundur dan selesai, memalsukan semuanya dalam waktu kurang dari setengah jam. Semuanya berjalan dengan baik, sehingga dalam hal ini, menurut saya sebenarnya saya tidak curang. Pekerjaannya selalu selesai, yang karena itulah sekarang saya menyampaikan ini secara terbuka. Kalau ada yang menanyakan, ”tapi tetap saja kamu curang, bagaimana dengan kesempatan yang hilang bagi proyek lain?’ saya akan jawab, pemerintah Slovenia mendapatkan lebih banyak publikasi dari kami dibandingkan seandainya mereka memberikan ke penerbitan lain. Secara formal, ini memang curang, tapi sangat efisien.

Pada tahun 1989, buku The Sublime Object of Ideology diterbitkan oleh Verso dan langsung dianggap karya klasik. Bagaimana anda menjelaskan keberhasilan ini?

Yang menarik adalah, jauh sebelumnya saya sudah mempunyai beberapa terbitan dalam bahasa Prancis, tapi tidak begitu berhasil. Kalau anda bilang Sublime Object adalah karya klasik, tentu saja bukan saya yang menilai, tapi yang bisa saya katakan adalah lebih pada posisi yang ditempati dari buku ini. Tidak semata kualitasnya, tapi lebh pada secara tidak sengaja, saya berhasil menyentil nada atau titik yang tepat. Menurut saya, saat itu orang mungkin sudah bosan dengan analisa dan diskursif standar, sehingga, hanya sesederhana waktunya tepat untuk buku semacam itu – saya kebetulan ada di tempat yang tepat. Selalu ada momen keberuntungan ini. Misalnya, buku Being and Time dari Heidegger – memang ini buku yang hebat, tapi juga dipengaruhi momen keberuntungan dalam arti hadir di momen yang tepat.
Kalau anda tahu, menurut saya buku kedua For They Know Not What They Do, justru lebih penting secara teoritis tapi kurang terkenal, dengan guyonan vulgar yang lebih sedikit dan sebagainya. Jadi sebagian besar tergantung situasi. Anda tahu, buku pertama saya yang berbahasa Prancis (tidak termasuk karya yang tentang Hitchcock), Le Plus Sublime des Hystenques, hampir dua per tiga menyerupai The Sublime Object, tapi toh tidak banyak berdampak. Jadi anda bisa lihat disini betapa fana hal-hal ini sebenarnya. Sesuatu yang meledak disini, bisa hilang begitu saja di tempat lain.

Buku2 anda sangat terkenal diantara mahasiswa?

Ya, saya bisa katakan inilah yang saya sukai dari kepopuleran buku ini, semacam solidaritas kelas pekerja; semakin rendah tingkat akademik dari cara penyampaian anda, akan semakin terkenal. Saya sudah banyak mendengar cerita yang sama; basis pendukung saya ada dikalangan mahasiswa, bukan diantara para professor. Dan saya menyukainya

Segera setelah penerbitan The Sublime Object, anda membuat serial buku bersama Verso dengan judul Wo es War. Bisakah anda jelaskan tentang proyek ini dan apa tujuannya?

Serial Wo es War mewakili pembacaan tertentu terhadap Lacan secara filosofis sekaligus melebihi dari batasan standar cultural studies dalam hal orientasi politisnya. Keinginan saya adalah memberi jalan orang2 terdekat saya, khususnya kawan2 Slovenia saya Alenka Zupancic dan Mladen Dolar, agar bisa menerbitkan di luar negeri. Inilah alasan lain saya mengerjakan proyek ini. Tapi tujuan mendasarnya adalah pembacaan filosofis atas Lacan ditambah dengan tema2 politis ini. Untuk itu, saya perlu serial ini guna mengembangkan proyek yang koheren dengan arah yang jelas. Saya percaya bahwa saya adalah semacam Stalinis dalam arti saya percaya dengan kolektivitas; tidak dalam arti menulis bersama – saya tidak percaya anda bisa menulis bersama dengan orang lain – tapi harus ada proyek bersama. Di sini saya sangat dogmatis, dan perlu beberapa waktu untuk menyadarinya. Saya kira, saya benar2 menjadi filsuf ketika menyadari bahwa tidak ada dialog dalam filsafat. Dialog Plato misalnya, jelas adalah dialog palsu dimana satu orang bicara banyak sekali sementara yang lain hanya membalas dengan ‘ya, oh begitu, ya tentu saja seperti yang kamu bilang’ Saya sepakat sepenuhnya dengan Deleuze yang mengatakan bahwa ketika filsuf sejati mendengar ungkapan seperti ‘ayo kita diskusikan hal ini’, dia seharusnya menanggapinya dengan ‘ayo kita segera pergi dari sini’. Tunjukkan kepada saya satu saja dialog yang benar2 berjalan. Tidak ada satupun.
Maksud saya, tentu saja ada pengaruh dari satu filsuf kepada filsuf lainnya, tapi bisa ditunjukkan bahwa pada dasarnya ini lebih sebagai beda pemahaman. Bagi filsuf radikal dan sejati, ada momen kebuntuan, dan ini adalah resiko yang harus kita tanggung. Saya tidak percaya filsafat sebagai proyek interdisipliner – ini akan menjadi mimpi buruk yang sebenarnya. Itu bukan filsafat. Kami, para filsuf, adalah orang gila; kami mempercayai sesuatu yang terus kami ulangi, lagi dan lagi. Inilah kenapa, meskipun ada kesalahpahaman politis dan teoritis antara Ernesto Laclau dan saya, saya kira anda bisa lihat disini bahwa dia adalah seorang filsuf sejati. Dia memiliki, apa yang secara menarik disebut orang Jerman sebagai, semacam Gnmdeinsicht, pandangan fundamental, dan dia terus memperjelasnya lagi dan lagi: antagonisme, hegemoni, penanda kosong. Bukankah pada dasarnya dia menceritakan cerita yang sama, lagi dan lagi? Ini bukannya kritik, tapi lebih sebagai sebuah bukti bahwa dia adalah benar-benar seorang filsuf, benar2 hebat. Maksud saya, seorang filsuf bukan seseorang yang berkata, ayo menulis tentang ini dan itu, dan sebagainya.
Dalam kerangka inilah kami (troika bersama dengan Mladen Dolar and Alenka Zupancic) bekerja. Ya begini ini menurut saya komunitas filsafat itu. Kami memang banyak bicara dan diskusi, tapi pada dasarnya kami adalah sendiri, dan ini bisa berjalan dengan sangat baik. Kami tidak melakukan kerja bersama2. Saat perlu bicara, kami bicara. Ada rumus kuno, persahabatan sejati adalah ketika anda bisa berbagi kediamdirian (solitude) dengan teman anda. Dan begitulah cara kami bekerja.

Sejak The Sublime Object, anda menerbitkan rata2 satu buku tiap tahun, ditambah dengan tulisan pelengkap lainnya. Apakah ini wujud dari dorongan psikiatris?

Ya, dan tahukah anda dalam hal apa? Referensi saya dalam hal ini adalah karya Stephen King berjudul Shining. Orang cenderung lupa bahwa novel ini pada dasarnya adalah tentang hambatan penulis. Di dalam versi filmnya, karakter Jack Nicholson selalu menulis kalimat yang sama, tidak bisa memulai tulisannya, lalu situasi berujung pada pembunuhan dengan kapak. Tapi menurut saya horor yang sebenarnya justru jika terjadi sebaliknya: bahwa anda memiliki dorongan untuk terus menulis. Saya kira ini akan lebih mengerikan dibandingkan dengan hambatan penulis. Ini sama dengan ketika Kierkegaard menjelaskan tentang manusia sebagai makhluk yang terus sakit sampai meninggalnya, maka horor yang sebenarnya adalah keabadian, bahwa ini tidak akan berhenti. Dan inilah horor yang saya alami – saya tidak bisa berhenti.
Dan saya benci menulis. Begitu bencinya saya dengan menulis – sampai sulit menjelaskan seberapa benci. Begitu mendekati akhir sebuah proyek penulisan, saya selalu merasa bahwa saya tidak cukup berhasil menyampaikan apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan, sehingga perlu proyek baru – benar2 sebuah mimpi buruk. Tapi keseluruhan cara saya menulis adalah didasarkan pada ritual obsesif untuk menghindari proses menulis itu sendiri. Saya tidak pernah memulai menulis dengan pikiran bahwa saya akan menulis tentang sesuatu. Saya selalu memulai dengan satu atau dua pengamatan yang akhirnya akan mengarah ke poin berikutnya – begitu seterusnya.

Jadi semacam menipu diri anda sendiri untuk menulis?

Ya, tepat sekali.

Apakah karena itu banyak sekali contoh2 populer dalam tulisan anda?

Ya. Dan ada perubahan dialektik di dalam tulisan saya yang rasanya mirip dengan Lacan. Yang menarik ketika anda membaca Lacan adalah bagaimana dia memakai contoh tertentu, dimana kemudian dia kembali lagi dan lagi. Selalu ada banyak yang didapat dari contoh dari sekedar sebagai contoh. Misalnya, kisah tentang tiga tahanan di karya2 awalnya tentang logika sementara dan tiga momen dasar: saat untuk melihat, memahami dan menyimpulkan. Menarik bagaimana, dari interpretasi awalnya pada tahun 1945, dia kemudian kembali ke logika ini lagi dan lagi, dan menghasilkan penafsiran yang sangat berbeda. Bahkan ketika anda membaca dengan cermat bagaimana Lacan mengartikan permainan fort/da1 dari Freud, juga tidak selalu sama, ketika dia terus membahasnya lagi dan lagi, setiap kali dengan sudut pandang yang berbeda. Pada akhirnya, elemen dari permainan fort/da – sepotong kayu kecil yang dilemparkan si bocah ke dalam air, dipungut, lalu dilempar lagi – tidak lagi berperan hanya sebagai penanda, tapi justru sebagai obyek; lenyapnya sebuah obyek. Sekali lagi saya perhatikan bahwa hal yang sama terjadi dengan diri saya sendiri. Ketika pertama memakai contoh, biasanya saya terlalu bodoh untuk memahami sepenuhnya artinya. Baru pada buku atau tulisan berikutnya, atau bahkan beberapa, ketika saya memakai contoh yang sama baru saya kembangkan potensi sepenuhnya dari contoh itu.
Inilah alasan kenapa pembaca saya, sering merasa kesal, bahwa beberapa buku saya terkesan banyak pengulangan. Tapi ini bukan sekedar pengulangan, dan perlu saya klarifikasi disini, melainkan karena saya perlu menegaskan maksud yang sebelumnya tidak tersampaikan. Jadi inilah alasan rujukan saya kepada contoh2, sebagai bagian yang tak terpisah dari upaya untuk lebih memperjelas sesuatu.
Pada saat yang sama, dalam konteks Hegelian, salah satu cara untuk menjelaskan sebuah ide adalah dengan mencontohkannya. Tapi sebuah contoh tidak hanya sekedar mencontohkan; dia biasanya juga menunjukkan apa yang menjadi masalah dengan konsep atau pemikiran yang hendak disampaikan. Cara inilah yang sering dilakukan Hegel Phenomenology of Spirit. Dia membahas konsep tertentu misalnya estetika atau stoikisme. Lalu bagaimana cara dia mengkritiknya? Sesederhana dengan cara menunjukkan bagaimana hal itu dipraktekkan dalam kehidupan sehari2 di dunia nyata. Dengan cara ini, dia bisa menunjukkan bagaimana ternyata penerapan konsep itu ternyata menghasilkan sesuatu yang membantah keberadaannya sendiri. Dengan cara ini, sebuah contoh akan membantah apa yang dicontohkannya.
Tapi hal lain dari kesukaan saya memberi contoh adalah untuk memuaskan, memenuhi semacam kebutuhan dengan memakai contoh2 itu. Alasannya adalah tentu saja karena saya juga memiliki kepribadian superego – bahkan, bentuk superego yang paling dasar, yang menentang semua bentuk kenikmatan. Anda perlu paham bahwa saya hanya bisa menikmati sesuatu kalau saya sendiri yakin bahwa kenikmatan ini punya arti tertentu, memiliki tujuan teori. Misalnya, saya tidak langsung bisa menikmati film detektif yang bagus. Saya baru bisa menikmatinya kalau saya bisa bilang, ‘OK, mungkin saya bisa memakainya untuk contoh.’ Jadinya saya selalu berada dalam tekanan ini, bahkan hampir setiap hari. Saya benar-benar tidak bisa hanya sekedar secara langsung, dan naïf, menikmati sebuah film. Cepat atau lambat pasti akan timbul kesadaran yang mengganggu ini di pikiran saya, tunggu dulu, saya harus bisa memakai ini, begitu seterusnya.
Jadi sekali lagi, ini memang kompleks. Tapi alasan lainnya adalah karena ketidakpercayaan saya yang mendalam terhadap pola Heideggerian. Saya memiliki dorongan yang besar untuk memvulgarkan sesuatu, tidak dalam arti menyederhanakan, tapi dalam arti mengacaukan identfikasi ideal akan sesuatu, yang karena itu saya suka untuk tiba2 terjun dari teori tertinggi ke contoh yang serendah mungkin. Misalnya dalam buku yang saya tulis bersama dengan Mladen Dolar tentang Opera, saya berpendapat bahwa pertentangan antara Rossini dan Wagner harus dipahami dalam kerangka dua model sublime, yang matematis dan dinamis. Untuk memperjelas pendapat saya, saya mengambil contoh yang sangat gamblang seperti yang pernah baca di tempat lain, yaitu praktek cunnilingus [menjilat kemaluan]. Ketika seorang lelaki melakukan cunnilingus terhadap perempuan, ketika yang dilakukan tepat dan si wanita berkata, ’ya, ya, terus’, lalu biasanya yang terjadi adalah si lelaki akan melakukannya lebih cepat dan lebih kuat – tapi ini tentu saja ini keliru. Mereka seharusnya hanya melakukannya lebih lama. Disini bedanya adalah, si wanita berpikir secara sublime matematis, sementara si lelaki berpikir secara sublime dinamis, maka kacaulah semuanya. Contoh ini dibenarkan oleh banyak teman saya. Kesalahan umumnya adalah bahwa ketika si wanita bilang ‘ya, ya, begitu’, si lelaki mengira mereka meminta lebih cepat dan kuat – padahal maksudnya sama sekali bukan itu.

Anda terkenal karena posisi yang tegas dalam filsafat anda. Apakah ini strategi yang disengaja berhadapan dengan pemikiran postmodern dan poststruktural yang berpendekatan lebih multidisipliner?

Di satu sisi, saya menganggap diri saya seorang filsuf Stalinis ekstrem. Artinya, jelas sekali dimana saya berpijak. Saya tidak percaya dengan mengkombinasikan segala sesuatu. Saya benci dengan pendekatan, ambil sedikit dari Lacan, sedikit Foucault, sedikit Derrida dan sebagainya. Tidak, saya tidak percaya dengan itu; saya percaya dengan posisi yang tegas. Menurut saya justru posisi yang paling arogan adalah sikap kerendahhatian multidipliner ini, ‘yang saya katakana tentu saja bukan harga mati, ini hanya sebuah hipotesis,’ dan sebagainya. Menurut saya posisi ini sangat arogan. Menurut saya satu-satunya cara untuk jujur dan membuka diri terhadap kritik adalah dengan menyatakan secara jelas dan dogmatis posisi anda. Anda harus mengambil resiko dan posisi.
Disisi lain, seperti jelas terlihat di semua karya saya, yang saya lawan adalah semacam klasifikasi sederhana, yang muncul sekitar 15 atau 20 tahun yang lalu, paling tidak dalam ranah Anglo-Saxon, bahwa Lacan dianggap sebagai seorang post-strukturalis. Menurut saya, istilah 'post-strukturalisme' itu sendiri adalah palsu. Menurut saya, istilah ini sebenarnya tidak pernah ada. Bahkan di Prancis sendiri, tidak ada yang memakai istilah 'dekonstruksionism' atau 'post-strukturalism'. Ini murni, dalam istilah Hegelian, kategori refleksif. Post-strukturalism hanya muncul dari pihak Jerman Anglo-Saxon. Memang aneh bagaimana semua orang membicarakan ini sebagai bentuk kategori dari filsafat Prancis, tapi di Prancis sendiri orang tidak pernah membicarakannya. Masih tetap dalam pola pikir yang sama, muncul juga kategori Heideggerian, Mahzab Frankfurt, Habermasians, lalu dekonstruksionis dan poststrukturalis, dimana Lacan dimasukkan didalamnya. Yang saya coba lakukan sekarang adalah kenapa, guna memahami Lacan sepenuhnya, perlu merubah keseluruhan peta pemikiran filsafat. Bahkan menurut saya pembedaan ini justru keliru.
Pertama, menurut saya – dan hal ini awalnya disampaikan kepada saya oleh Simon Critchley (meskipun dia sebenarnya lebih simpati dengan pendekatan dekonstruksionis) – sebenarnya, kalau dikaji lebih teliti, perbedaan antara Habermas dan Derrida sebenarnya tidak seradikal seperti yang selama ini dibicarakan. Saya kira bahkan mereka hampir seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Masalah yang mereka bahas adalah masalah yang sama, yaitu keterbukaan terhadap yang lain; bagaimana melepaskan diri dari ketertutupan subyektifitas; bagaimana membuka diri terhadap yang lain. Dan menurut saya – memakai istilah Lacanian – masing-masing saling mengirim pesan dan kebenarang terhadap satu sama lain. Artinya, ketika menanggapi Derrida, Habermas benar dengan pendapatnya bahwa ketika anda menekankan hanya pada keterbukaan radikal terhadap yang lain, ini bisa berubah menjadi ketertutupan ekstrim kalau tidak melakukan keterbukaan ini dalam kerangka aturan tertentu. Kalau tidak, anda hanya akan menghasilkan keterbukaan radikal terhadap yang lain, dan ini juga sebentuk ketertutupan. Di sisi lain, saya kira Derrida juga benar ketika menanggapi Habermas, bahwa ketika anda menerjemahkan keterbukaan terhadap yang lain dalam serangkaian norma komunikasi positif, maka anda akan menutup dimensi atau menolak keberadaan dari yang lain ini. Dalam kerangka seperti ini, bisa dibilang sebenarnya mereka pada dasarnya saling melengkapi. Jadi poin pertama saya disini adalah bahwa sebenarnya Habermas dan Derrida sama sekali tidak berlawanan.
Saya akan membahas lebih jauh. Ambil contoh perkembangan terkini konsep Derridean dalam hal kejutan teologis Levinasian – tidak dalam arti teologi metafisik, tapi lebih pada pemikiran tentang batasan mutlak dekonstruksi terhadap yang lain apa adanya. Dimana landasan etika adalah sesuatu yang hakiki dalam arti tanggungjawab mutlak terhadap keseluruhan dari yang lain yang kita hadapi. Hal ini ternyata tidak berlaku dalam khazanah etika Lacan. Disini sekali lagi, kita perlu merubah petanya. Sering kawan2 Derridean saya menyerang saya, dengan mengatakan: ‘tapi kenapa kamu selalu bersikeras dengan perbedaan terhadap Derrida ini?’, bukankah kita pada dasarnya memiliki tujuan umum yang sama?’. Tidak, menurut saya tidak demikian. Dan saya tidak sedang menekankan perbedaan kecil yang narsistis belaka. Saya kira, kapanpun muncul anggapan bahwa Lacan adalah salah seorang dekonstruksionis, dan tentu saja karena penggolongan ini sendiri tidak netral; maka sebenarnya pembela dekonstruksionis sudah menang. Konsekuensinya, jelas bahwa dalam kerangka ini, Lacan akan dianggap sebagai orang yang masih sedikit metafisik, agak aneh, dan kita akan mengenakan norma tertentu, sehingga apa yang mestinya bidang yang netral, sudah terhegemoni oleh bentuk dekonstruksi tertentu.
Saya perlu lebih tekankan lagi bahwa posisi Lacan sebenarnya sangat radikal. Dia tidak termasuk bidang hermeunitic, atau teori kritis standar Mahzab Frankfurt ataupun bidang dekonstruksionisme. Dia sepenuhnya diluar pengelompokan ini.
Dan terutama sekarang, ketika semua pilihan filsafat kebanyakan – terutama tiga mahzab yang dikaitkan dengan filsafat Eropa daratan diatas – sebenarnya sedang berada dalam situasi krisis dan tampaknya sudah kehabisan pilihan untuk dikembangkan lebih jauh, saya kira saatnya Lacanian mempertegas perbedaan dengan mereka agar tidak ikut terseret kedalam kemunduran yang sama.

Tapi disisi lain, anda juga mengkritik filsuf modern tertentu karena menciptakan krisis palsu. Apa yang anda maksud dengan hal ini?

Praktek intelektual yang banyak dilakukan disepanjang abad 20 – yang bisa dianggap sebagai gejala dari apa yang disebut Badiou 'hasrat terhadap yang Riil’ (la passion du reel) – adalah dorongan untuk ‘membencanakan’ situasi; apapun situasinya, harus dinyatakan sebagai sebuah bencana, dan semakin baik hasilnya, maka semakin sering praktek ini diulangi. Heidegger menyatakan bahwa masanya adalah saat yang paling ‘membahayakan’ dari tercapainya nihilism; Adorno dan Horkheimer melihatnya sebagai kulminasi dari dialektika pencerahan dari dunia yang diatur; sampai Giorgio Agamben, yang menggambarkan kamp konsentrasi sebagai hasil yang ‘sejati’ dari keseluruhan proyek politik Barat. Anda ingat sosok Horkheimer di Jerman Barat pada tahun 1950an: sembari mengutuk jaman ‘gerhana nalar’ dalam hal konsumsi masyarakat modern Barat, pada saat yang sama membela masyarakat yang sama sebagai satu-satunya pulau kebebasan ditengah samudera sistem totalitarian dan kediktatoran di seluruh penjuru dunia. Ini sama saja dengan ungkapan ironis dari Winston Churchill tentang demokrasi sebagai bentuk rejim politik paling buruk, tapi semua sistem yang lain malah jauh lebih buruk lagi, tapi diulangi dalam bentuk yang lebih serius: masyarakat Barat yang diatur adalah bentuk barbarisme yang tersembunyi dalam peradaban, titik tertinggi dari alienasi, disintegarsi dari individu2 merdeka, dan sebagainya; tapi semua rejim sosial politik lainnya justru lebih buruk, sehingga mau tidak mau harus dibela.
Jadinya saya tergoda justru untuk mengajukan pemaknaan radikal atas sindrom ini: bagaimana kalau ternyata yang sebenarnya tidak bisa diterima oleh para intelektual itu sebenarnya bahwa pada dasarnya mereka sedang hidup dalam situasi yang pada dasarnya menyenangkan, aman dan nyaman, sehingga untuk membenarkan dorongan nuraninya, mereka menciptakan semua situasi bencana yang radikal itu?

Memasuki akhir 1980an, perubahan mendasar terjadi dalam konstelasi sosial politik di Eropa Timur. Anda sudah aktif terlibat dalam ‘pergerakan alternatif’ Slovenia dan pada 1990 anda tampil sebagai kandidat dalam pemilu multi partai pertama di Republik Slovenia yang baru terbentuk. Apakah ini adalah upaya yang disengaja untuk memisahkan diri dari sindrom 'jiwa yang indah'? Bisakah anda menjelaskan kondisinya saat itu?

Harus saya katakan bahwa meskipun saya sebenarnya semi terbuang dan pengangguran, sebenarnya keterlibatan saya secara aktif dengan politik dimulai agak lambat, pada paruh kedua 1980an, karena sebelum itu kelompok buangan yang radikal biasanya kalangan Heideggerian atau post-Marxists, dan kami tidak berhubungan baik dengan mereka. Tujuan dari keterlibatan politik saya sebenarnya sangat terbatas. Yaitu hanya untuk mencegah agar Slovenia tidak berubah menjadi seperti negara lain seperti Kroasia atau Serbia, dimana pergerakan nasionalis besar mewarnai segala hal. Dalam hal ini, rasanya kami cukup berhasil. Slovenia adalah negara yang lebih tersebar dan dorongan nasionalis tidak cukup menguat. Jadi yang saya lakukan bukan keterlibatan politik secara mendasar.
Sedangkan untuk masalah kepresidenan yang cukup terkenal itu – pertama, ini adalah kelembagaan presiden, bukan seorang presiden. Pada tahun 1990, saya adalah calon untuk lembaga kolektif yang akan menjalankan kepresidenan. Saya hanya nomor 5, dan kalah. Dalam hal posisi politik, saya tidak pernah tertarik melakukan bentuk politik praktis apapun. Hal yang sebenarnya menarik bagi saya – sekali lagi cerita lama, tapi ini bukan guyonan – adalah menjadi menteri dalam negeri atau kepala badan intelejen, dan meskipun terdengar gila, sebenarnya saya dipertimbangkan untuk kedua jabatan itu. Mungkin, seandainya saya dulu mau, saya akan menjadi salah satu diantaranya.

Saya kira anda akan sangat tepat kalau menjadi kepala badan intelejen

Tapi tahukah anda apa yang dikatakan teman saya? Ok, tepat sekali, hanya saja, tolong beritahu kami seminggu sebelumnya, dan kami akan pergi dari negara ini. Ide ini sebenarnya agak gila, tapi sejujurnya saya memang serius mempertimbangkannya, sampai kemudian tentu saja saya tahu bahwa itu adalah jenis kerja 24 jam. Maksud saya, anda tidak akan bisa melakukan pekerjaan itu sambil terus mengerjakan bidang teori – padahal tidak mungkin bagi saya meninggalkan teori. Jadi, ya begitulah.
Tapi anda benar, ketika menanyakan apakah yang menarik saya ke dalam ‘real politik’ ini adalah dorongan untuk menghindari sindrom ‘jiwa yang indah’ – anda tahu, seperti pemikir yang paling kritis melakukan yang terbaik karena dengan demikian dia bisa menulis kritik yang bagus terhadap kondisi yang dia ciptakan itu. Saya kira kalau anda terjun ke politik, anda memang harus siap untuk menjalaninya sampai tuntas dalam bentuk pragmatis yang kejam sekalipun. Dan saya tidak masalah dengan itu.

Ini jugakah yang anda kagumi dari Lenin?

Benar, tapi dengan Lenin masalahnya selalu adalah komitmen utama. Saya selalu mengagumi orang yang menyadari bahwa seseorang harus membereskan pekerjaan. Yang saya benci dari kaum liberal, kiri-semu, akademisi berjiwa indah adalah mereka melakukan segala macam, sembari menyadari bahwa orang lainlah yang sebenarnya membereskan pekerjaan mereka. Misalnya, ini terjadi dengan sejumlah Kawan Amerika saya yang berpura2 beraliran kiri, anti kapitalis dan sebagainya, tapi juga bermain di pasar saham – sehingga mereka dalam hati berharap agar situasi berjalan normal, pasar saham berhasil dan sebagainya. Saya mengagumi orang yang siap mengambil alih dan membereskan pekerjaan kotor yang diperlukan, dan mungkin inilah salah satu alasan ketertarikan saya terhadap Lenin. Dia tidak pernah mengambil posisi ’oh, kami tidak bertanggungjawab, segala sesuatu berjalan dengan sendirinya, kami bisa apa?’. Tidak bisa begitu, dalam arti tertentu kita harus bertanggungjawab. Ini tidak berarti kompromi; sebaliknya bahkan. Kalau anda berkuasa, benar2 berkuasa, ini berarti sesuatu yang sangat radikal. Artinya anda tidak bisa beralasan. Anda tidak bisa bilang, ‘maaf, ini bukan kesalahan saya’. Saya selalu menghormati orang yang tidak kehilangan nyalinya; orang yang tahu tidak ada jalan keluar bagi mereka.

Terakhir, perbolehkan saya mengajukan pertanyaan populis klise: kalau anda hanya bisa membawa satu buku, satu CD dan satu video ke pulau terpencil, apa yang akan anda bawa?

Mungkin anda akan terkejut. Buku: Ayn Rand, Fountainhead – the proto-fassis klasik tentang seorang arsitek fanatik. Ya, benar yang itu. CDnya adalah salah satu karya Hanns
Eisler – pengarang lagu kebangsaan Jerman Timur. Ada salah satu CD-nya berjudul Historische Aufnahmen (Historical Recordings), yang umumnya memadukan teks dari Brecht dari masa setelah perang dunia II (sebagian besar direkam di awal 1950s), dan terutama lagu berjudul 'Mother', die Mutter, dinyanyikan oleh penyanyi Jerman Timur dan seorang Stalinis yang hebat, Ernst Busch. Dan untuk video tidak diragukan lagi adalah: Opfergang karya Veit Harlan. Veit Harlan adalah salah seorang sutradara Nazi yang hebat. Dia juga menyutradarai The Jew Suess dan Kolberg, tapi pada tahun 1944 dia membuat karya terhebatnya, sebuah melodrama romatik berjudul, Opfergang, yang artinya 'pengorbanan' Tidak diragukan lagi, saya akan membawa ketiganya – tidak ada pertanyaan lagi, tidak sedetikpun keraguan. Ini memang gila, tapi begitulah hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar