Kamis, 10 November 2011

The Parallax View - Pengantar


Kamerads,
Posting ini adalah pengantar dari salah satu buku yang, menurutku, kayaknya adalah salah satu buku terbaik Zizek (dan Zizek sendiri pernah bilang klo buku ini adalah salah satu buku yang dia paling suka nulisnya, karena full theory, alias buerat), yaitu The ParallaxView, Terbitan MIT Press, 2006. Buku ini banyak mengupas penjelasan filosofis dari sejumlah fenomena penting hari ini yang dibagi dalam tiga tema utama, yaitu; problema ontologis masyarakat modern, perkembangan sains terbaru, dan masalah kebuntuan politik global.
Bagian pengantar ini berisi penjelasan konseptual tentang apa yang dimaksud dengan paralaks, yaitu kira2, sebuah cara memandang dua buah fenomena berbeda, yang sebenarnya mungkin dengan cara pandang biasa kita akan kesulitan menemukan titik temunya, tapi kalau kita lihat dengan cara paralaks ini, ternyata saling terkait erat.
Zizek kemudian memakai berbagai contoh dari bagaimana cara pandang paralaks ini bekerja, dimulai dengan berita di media tentang dua kejadian yang tampaknya sama sekali tidak berkaitan, yaitu tentang pemakaian pertama seni modern sebagai bagian dari alat penyiksaan dan kabar tentang kejadian yang sebenarnya dari kematian Walter Benjamin, tokoh Marxist di sekitar 1940an, sampai dengan, dan bukan Zizek namanya kalau tidak memakai contoh yang saru, menjlentrehkan tentang berbagai tafsir atas tindakan seksual, yang dibahas habis di 3 bab penghujung pengantar ini.
Dan karena saya juga, mengklaim diri, sebagai Zizekian par excellence, tentu saja bagian ini adalah yang saya highlight dengan satu kutipan panjang:
...‘progres’ dialektisnya harus melalui serangkaian variasi terkait dengan relasi antara wajah, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya, dan cara pemakaian masing-masing; organ tetap sebagai phallus, tapi bukaan/lubang [opening] yang akan dimasuki (dipenetrasi) berubah (anus, mulut). Lantas, melalui semacam ‘negasi dari negasi’, tidak hanya obyek yang harus dipenetrasi saja yang berubah, tapi totalitas dari orang yang menjadi pasangan juga beralih menjadi kebalikannya (homoseksualitas). Dengan perkembangan yang lebih lanjut, tujuan seks itu sendiri bukan lagi orgasme (fetisisme). Ngobek [fist-fucking] melengkapi rangkaian ini dengan sebuah sintesis yang mustahil dari tangan (organ dari kegiatan instrumental, untuk bekerja keras) dan vagina (organ penghasil sikap pasif ‘spontan’). Tangan (fokus dari kerja yang terencana, tangan sebagai bagian organ tubuh kita yang paling terkontrol dan terlatih) menggantikan phallus (wujud par excellence dari organ tubuh yang diluar kendali pikiran kita, karena ereksi bisa terjadi datang dan pergi diluar kehendak kita. Salah satu guyonan tentu saja, benda apa yang paling ringan? Penis, karena dia bisa kita angkat hanya dengan pikiran)
...dalam masturbasi maskulin, vagina, organ pasif paripurna, digantikan oleh tangan, organ aktif paripurna yang mempasifkan phallus itu sendiri.
Namun, ada kesimpulan yang kemudian ditarik oleh Zizek, yang membuat saya langsung lemes dan tidak lagi merasa percaya diri untuk bisa menjadi seorang Zizekian yang taat, karena Zizek lantas bilang:
bagi seorang filsuf sejati ada lebih banyak hal lain yang lebih menarik daripada seks.
Diamput, Ampun Slavojjjj....

 
Materialisme Dialektis Sudah didepan Pintu
Ada dua berita menarik yang dimuat media pada tahun 2003.
Seorang sejarawan Spanyol menemukan, untuk pertama kalinya seni modern dipakai sebagai alat penyiksaan: Kandinsky dan Klee, juga Bunuel dan Dali, adalah inspirasi dibalik serangkaian sel rahasia dan tempat penyiksaan di Barcelona pada 1938, karya dari seorang Anarkis Prancis, Alphonse Laurencic (sebuah nama marga Slovenia!), yang menemukan semacam siksaan ‘psikoteknis’: dia menciptakan apa yang disebut sebagai ‘sel berwarna’ sebagai sumbangsihnya untuk melawan kekuatan rejim Franco.[1] Sel itu diilhami oleh ide abstraksi geometris dan surealism, dalam perspektif yang biasa dipahami oleh para pemikir seni Avant-Garde tentang karakter psikologis warna. Ranjangnya dipasang dengan sudut 20 derajat, membuat pemakainya mustahil untuk bisa tidur, dan lantai sel yang berukuran 6 kali 3 kaki dihiasi dengan batu bata dan blok geometris, guna mencegah tahanan agar tidak berjalan-jalan ke depan dan ke belakang. Satu-satunya pilihan yang tersisa bagi tahanan adalah menatap tembok, yang dibentuk melengkung dan dipenuhi oleh pola-pola yang menggangu otak berbentuk kubus, segi-empat, garis lurus dan spiral, yang memanfaatkan tipuan warna, perspektif dan ukuran guna memicu gangguan dan stress mental. Efek pencahayaan memberi kesan bahwa pola yang membingungkan di dinding itu sedang bergerak. Laurencic banyak memakai warna hijau sebab, menurut teori dampak psikologis tentang bermacam warna yang dia tahu, itu bisa memicu perasaan melankolis dan kesedihan.

Berita kedua: Walter Benjamin yang bunuh diri di sebuah desa perbatasan Spanyol pada 1940 ternyata bukan karena takut bahwa dia akan dikirim ke Prancis, dan diserahkan kepada agen2 Nazi – dia sebenarnya dibunuh oleh agen2 Stalin.[2] Beberapa bulan menjelang kematiannya, Benjamin menulis “Theses on the Philosophy of History” [Tesis Filsafat Sejarah], analisa pendek tapi menohok yang dia tulis tentang kegagalan Marxisme; ini ditulis di masa ketika banyak mantan loyalis Soviet merasa kecewa terhadap Moskow akibat pakta Hitler-Stalin. Akibatnya, salah satu “killerati” (agen Stalinis yang direkrut dari kalangan intelektual sosialis yang melaksanakan berbagai pembunuhan) menembak mati Benjamin. Pemicu utama pembunuhannya adalah bahwa, ketika Benjamin melarikan diri melalui pegunungan dari Prancis menuju Spanyol, dia sedang mendekap sebuah manuskrip – sebuah karya besar yang selama ini dia kerjakan di Bibliotheque Nationale di Paris, sebuah elaborasi dari “Theses”. Koper yang berisi manuskrip ini dia titipkan kepada rekan sesama pengungsi, yang ternyata kemudian menghilangkannya dalam kereta dari Barcelona menuju Madrid. Singkatnya, Stalin membaca “Theses” Benjamin, dia tahu tentang proyek buku baru berdasarkan pada “Theses”, dan dia ingin mencegah penerbitan buku ini, apapun caranya...

Kesamaan dari kedua berita ini tidak hanya dalam hal keterkaitan yang mengagetkan antara budaya tinggi (seni dan teori adiluhung) dan politik brutal rendahan (pembunuhan, penyiksaan). Di level ini, kaitannya bahkan tidak semengherankan seperti tampaknya: bukankah sudah menjadi opini umum bahwa seni abstrak (seperti mendengarkan musik atonal) adalah hal yang menyiksa (dengan argumen ini, kita bisa dengan mudah membayangkan sebuah penjara dimana tahanan secara terus menerus diperdengarkan musik atonal)? Disisi lain, opini umum yang ‘lebih mendalam’ adalah bahwa Schoenberg, musiknya, mengekespresikan kengerian dari holocaust dan pemboman massal, sebelum peristiwa ini benar-benar terjadi. Lebih radikal lagi, yang menjadi kesamaan dari kedua berita ini adalah bahwa kaitan antara keduanya adalah sebuah korslet yang mustahil [impossible short circuit] dari dua tingkatan yang, karena alasan struktural, tidak akan bisa bertemu: memang tidak mungkin, misalkan, apa yang direpresentasikan oleh ‘Stalin’ bisa berada di tingkatan yang sama dengan ‘Benjamin,’ dalam artian, untuk memahami dimensi yang sebenarnya dari “Theses” Benjamin dari perspektif Stalinis. Ilusi yang menjadi penopang kedua kisah ini, yaitu menempatkan dua fenomena yang inkompatibel di tingkatan yang sama, adalah analogi yang persis sama dengan apa yang disebut Kant ‘ilusi transendental’, ilusi dimana kita merasa mampu untuk memakai bahasa yang sama untuk fenomena yang sama-sama tidak bisa diterjemahkan dan hanya bisa dipahami dengan semacam pandangan paralaks, perspektif yang terus bergonta-ganti antara dua titik yang tidak memungkinkan adanya sintesis atau mediasi. Sehingga tidak ada dua laporan dari kedua tingkatan, tidak ada ruang kesamaan – sekalipun mereka terkait erat, bahkan dalam hal tertentu identik, keduanya, bisa dibilang, berada pada dua sisi yang berseberangan dari sebuah jalur Moebius. Perjumpaan antara politik Leninis dan seni modern (yang disimbolkan oleh fantasi dimana Lenin menemui kaum Dadais di Cabaret Voltaire di Zurich) secara struktural tidak mungkin terjadi; lebih radikal lagi, politik revolusioner dan seni revolusioner bergerak dalam temporalitas yang berbeda – sekalipun mereka memang terkait, keduanya adalah dua sisi dari fenomena yang sama yang, justru karena dua sisi yang berseberangan, tidak akan pernah bisa menyatu.[3] Ada lebih dari sekedar kebetulan sejarah pada fakta bahwa, dalam aspek budaya, kaum Leninis mengagumi seni klasik besar, sementara banyak kaum modernis secara politik bersikap konservatif, bahkan proto-Fasis. Bukankah ini sudah merupakan pelajaran dari kaitan antara Revolusi Prancis dan Idealisme Jerman? Sekalipun mereka adalah dua sisi yang sama dari momen historis yang sama, mereka tidak bisa bertemu secara langsung – dengan kata lain, Idealisme Jerman hanya bisa muncul dalam kondisi Jerman yang ‘terbelakang’, dimana tidak terjadi revolusi politik.
Singkatnya, apa yang menjadi kesamaan dari kedua kisah ini adalah terjadinya sebuah gap paralaks yang tak-terjembatani, konfrontasi antara dua perspektif yang terikat erat dari dua hal yang tidak mungkin ada kesamaan landasannya.[4] Selintas, konsep gap paralaks semacam ini mau tidak mau tampak seperti pembalasan Kantian terhadap Hegel: bukankah ‘paralaks’ adalah nama lain dari antinomy fundamental yang secara dialektis tidak pernah bisa ‘dimediasi/disublasi’ menjadi sintesis yang lebih tinggi, karena tidak ada kesamaan bahasa, tidak ada kesamaan landasan, antara kedua tingkatan? Karena itu, yang menjadi taruhan buku ini adalah, bukannya mengajukan sebuah hambatan yang tak-teratasi terhadap dialektika, konsep gap paralaks menjadi kunci yang memungkinkan kita untuk memahami inti subversifnya. Memberi penjelasan teoritis atas gap paralaks ini secara memadai adalah langkah pertama yang diperlukan dalam proses pemulihan filsafat materialisme dialektis.[5] Disini kita menemui sebuah paradoks mendasar: sementara banyak sains hari ini yang secara spontan menerapkan materialis dialektik, secara filosofis mereka saling bergonta-ganti antara materialisme mekanis dan obskurantisme idealis. Disini tidak ada ruang untuk kompromi, tidak ada ‘dialog’, tidak mungkin mencari sekutu di masa yang sulit – hari ini, dalam sebuah epos penarikan diri sementara dari materialisme dialektis, gagasan strategis Lenin menjadi hal yang penting: “Ketika pasukan tengah mundur, justru diperlukan disiplin ratusan kali lebih kuat dibandingkan ketika pasukan tengah maju... Ketika seorang Menshevik bilang, ‘Sekarang kalian mundur; Saya sudah sering mengajak kita mundur; Saya setuju dengan kalian, saya memang anggota kalian, mari kita mundur bersama-sama,’ dan kami balas dengan, ‘Sebagai manifestasi publik bagi Menshevisme, pengadilan revolusiner kita harus memberikan hukuman mati, kalau tidak pastinya itu bukan pengadilan kita, tapi mungkin Tuhan yang lebih tahu.’[6]
Krisis Marxisme hari ini bukan hanya disebabkan oleh kekalahan sosio-politik gerakan Marxist; di tingkatan teoritis yang inheren, krisis itu bisa (dan seharusnya) juga dipahami melalui penurunan (bahkan, kelenyapan virtual) dari materialisme dialektis sebagai landasan filosofis dari Marxisme – materialisme dialektis, bukan dialektis materialis (yang lebih bisa diterima dan tidak terlalu memalukan): disinilah pentingnya pergeseran dari refleksi penentu/refleksi yang utama [determinate reflection] ke penentu refleksi/tekad untuk ber-refleksi [reflective determination] – ini adalah contoh lain dimana sebuah kata atau posisi kata2 menentukan segalanya.[7] Pergeseran yang dimaksud disini adalah pergeseran dialektis kunci – yang paling sulit dipahami sebab ‘dialektik negatif’ bersinggungan dengan ledakan negativitas, dengan semua bentuk ‘perlawanan’ dan ‘subversi’ yang dimungkinkan, namun tidak mampu mengatasi pemarasitan dirinya sendiri terhadap tatanan nyata yang mendahuluinya – dari tarian kegirangan karena terbebas dari Sistem (yang menindas) kearah (apa yang disebut pengusung Idealis Jerman sebagai) Sistem yang merdeka. Dua contoh dari politik revolusioner bisa menjelaskan hal  ini: memang mudah untuk menyukai barisan pemikir yang bermunculan di masa Prancis pra-revolusi di akhir abad 18, dari perdebatan libertarian di salon2, yang menikmati paradoks dari ketidak konsistenan mereka sendiri, sampai kepada seniman rendahan yang menghibur penguasa dengan protes mereka sendiri terhadap kekuasaan; yang jauh lebih sulit adalah untuk sepenuhnya menerima peralihan pergolakan ini kepada tatanan Baru yang brutal dalam bentuk Teror revolusioner. Serupa dengan hal ini, memang mudah untuk menyukai pergolakan kreatif gila2an pada tahun2 pertama setelah Revolusi Oktober, kaum suprematis, futuris, konstruktivis, dan sebagainya, yang saling bersaing untuk menjadi yang terdepan dalam gelombang revolusi; yang jauh lebih sulit adalah mengakui kengerian dari kolektivisasi paksa pada akhir 1920an sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan gairah revolusi ini menjadi sebuah tatanan sosial yang nyata. Tidak ada yang secara etis lebih memuakkan daripada sindrom Jiwa Suci [Revolutionary Beautiful Soul] dari Revolusi, yang menolak mengakui, dalam persimpangan pasca-revolusi hari ini, kebenaran dari mimpi berbunga2 mereka akan kebebasan.
Sikap, dalam artian filosofis, Stalinis ‘materialisme dialektis’ itu adalah bentuk inkarnasi ketololan, bukanlah hal yang terlalu mengada-ada, tapi justru, memang intinya itu sendiri [the point itself], karena maksud saya adalah memang justru untuk memahami identitas dari sikap Hegelian-Lacanian saya dan filsafat materialisme dialektik sebagai sebuah penilaian abadi Hegelian, artinya, sebagai sebuah identitas spekulatif dari yang terendah dan tertinggi, seperti halnya rumusan prenologi “Jiwa adalah sebuah rangka”. Lantas, dimana letak perbedaan antara pembacaan yang ‘tertinggi’ dan ‘terendah’ akan materialisme dialektis? Guru Keempat[8] yang tegas melakukan sejumlah kesalahan filosofis ketika dia meng-ontologis-kan perbedaan antara materialisme dialektis dan historis, memahaminya sebagai perbedaan antara metaphysica universalis dan metaphysica specialis, ontologi universal dan penerapannya terhadap bagian tertentu di masyarakat. Agar kita bisa beralih dari yang ‘terendah’ menuju yang ‘tertinggi’, kita perlu menggantikan perbedaan antara yang universal dan yang partikular ini menjadi yang partikular itu sendiri: ‘materialisme dialektis’ menyediakan pandangan lain akan kemanusiaan itu sendiri, yang berbeda dari materialisme historis... ya, sekali lagi, hubungan antara materialisme historis dan dialektis adalah hubungan paralaks; mereka secara substansial adalah hal yang sama, pergeseran dari satu bentuk kepada bentuk murni lainnya adalah pergeseran perspektif. Ini bisa menjelaskan kita soal dorongan kematian [death drive], inti ‘tak-manusiawi’ dari manusia, yang menjangkau horison dari praxis kolektif umat manusia; sehingga, gap ini dipahami sebagai hal yang inheren dari kemanusiaan itu sendiri, sebagai gap antara kemanusiaan dan ekses ‘tak-manusiawi’-nya sendiri.
Ada analogi struktural antara hubungan materialisme historis dan dialektis ini dengan tanggapan psikoanalitis yang tepat terhadap kritik standar soal pemakaian psikoanalisa terhadap proses sosio-ideologis: apakah ‘absah’ untuk meluaskan pemakaian konsep yang pada awalnya dipakai untuk menangani manusia secara individual menjadi untuk menjelaskan entitas kolektif, dan untuk menyoal masalah agama, misalnya, sebagai sebuah ‘neurosis kompulsif kolektif’? Fokus dari psikoanalisa justru terdapat di tempat lain: masalah sosial, bidang praktek sosial dan keyakinan yang dipegang secara sosial, bukan sekedar terletak di tingkatan yang berbeda dari pengalaman individu, tapi sesuatu yang individu itu sendiri harus pikirkan, yang harus dialami oleh individu itu-sendiri sebagai sebuah tatanan yang, setidaknya ‘tereifikasi,’ tereksternalkan. Sehingga masalahnya bukan ‘bagaimana beralih dari tingkatan individu ke tingkatan sosial’: masalahnya adalah, bagaimana agar tananan sosio-simbolis yang eksternal-impersonal dari praktek dan keyakinan yang terlembagakan ini disusun, agar subyek bisa mendapatkan ‘kewarasannya’, agar dia bisa berfungsi secara normal? (Ambil contoh klasik seorang egois, yang dengan sinis menafikan sistem norma moral publik: aturannya, subyek semacam itu hanya bisa berfungsi selama sistem ini ‘ada diluar sana’, secara publik diakui – dengan kata lain, agar kita bisa menjadi seorang pribadi yang sinis, dia harus mempunyai pra-anggapan adanya liyan yang naif yang ‘benar-benar punya keyakinan’) Dengan kata lain, gap antara yang individu dan dimensi sosial yang ‘impersonal harus dipatrikan kedalam individu itu sendiri: tatanan Substansi sosial yang ‘obyektif’ ini hanya ada sepanjang setiap individu memperlakukannya dengan apa adanya, menghubungkan diri dengannya apa adanya. Dan bukankah, contoh paripurna dari hal ini adalah Yesus sendiri: dalam diri Yesus, perbedaan antara Tuhan dan manusia mewujud dalam dirinya sendiri sebagai manusia.
Terkait dengan hubungan antara pemikiran dan Being, baik materialisme historis maupun dialektik, tentu saja, sama-sama menyisakan konsep ‘materialis dialektis’ yang naif secara politik tentang pikiran sebagai refleksi/cerminan dari Being (akan adanya sebuah realitas obyektif yang merdeka); namun, keduanya mencapainya dengan cara yang berbeda. Materialisme historis mengatasi paralelisme eksternal pikian ini, dan pikiran sebagai sebuah pencerminan pasif dari ‘realitas obyektif’, melalui konsep pemikiran (‘kesadaran’) sebagai bagian inheren dari justru proses Being (yang sosial), sebuah praxis kolektif, sebagai sebuah proses yang terikat dalam realitas sosial (sekalipun hari ini, setelah invasi Amerika ke Iraq, entah kenapa kita jadi merasa malu memakai istilah ini), sebagai momen aktif-nya. Pembahasan George Lukacs akan penguasaan ini dalam bukunya History and Class Consciousness disini masih belum tertandingi: ‘kesadaran’ (menjadi-sadar akan posisi sosial konkret seseorang dan potensi revolusionernya) merubah Being itu sendiri – dengan kata lain, itu merubah ‘kelas pekerja’ yang pasif, sebuah strata dalam tatanan kehidupan sosial, menjadi ‘proletariat’ sebagai sebuah subyek revolusioner. Karena itu, materialisme dialektis, mendekati titik yang sama dari dua sisi: masalahnya bukan bagaimana mengatasi oposisi eksternal antara pikiran dan being ini dengan memakai mediasi practis-ideologis mereka, tapi bagaimana, dari dalam tatanan being yang berlaku, yaitu persis dari gap antara pikiran dan being ini, bisa muncul negativitas pikiran. Dengan kata lain, sementara Lukacs et al, mencoba menunjukkan bagaimana pikiran adalah sebuah momen penyusun-aktif dari sebuah sosial-being, kategori2 fundamental dari materialisme dialektis (seperti negativitas dari ‘dorongan kematian’) mengarah pada aspek ‘praktis’ dari pasivitas pikiran ini: bagaimana mungkin, bagi sebuah mahluk hidup, untuk melepaskan diri/menunda siklus reproduksi kehidupan, untuk meng-install sebuah sikap non-aksi, sebuah sikap penarikan diri kedalam jarak refleksif dari being, sebagai bentuk intervensi yang paling radikal? Memakai istilah Kierkegaard: maksudnya bukan untuk mengatasi gap yang memisahkan pikiran dari being, tapi untuk memahaminya dalam prosesnya ketika dia mewujud [becoming]. Tentu saja, filsafat praxis Lukacsian mengandung penjelasannya sendiri soal bagaimana gap antara pikiran dan being ini muncul: sosok dari subyek yang mengamati, yang ditarik dari proses obyektif dan didalamnya berlangsung sebagai sebuah manipulator eksternal, adalah dengan sendirinya sebuah dampak dari alienasi/reifikasi sosial; namun, penjelasan ini – yang beralih dari dalam bidang praxis sosial sebagai horison yang tak terjembatani – menanggalkan pertimbangan dari justru kemunculan praxis ini, yaitu ‘muasal transendental’-nya yang terpendam. Pelengkap dari materialisme historis ini adalah hal yang penting: tanpanya, kita tidak akan bisa merubah masyarakat menjadi sebuah Subyek pseudo-Hegelian absolut; atau membiarkan terbukanya ruang bagi semacam ontologi yang lebih umum dan lebih luas.
Masalah utamanya disini adalah bahwa ‘kaidah’ dasar dari materialisme dialektis, pertarungan antara dua kubu yang berlawanan, telah dijajah/dikaburkan oleh konsep New Age tentang polaritas dari yang berlawanan (yin-yang, dan sebagainya). Langkah kritis pertamanya disini adalah untuk mengganti topik mengenai polaritas dari yang berseberangan ini dengan konsep ‘tarik-menarik’, gap, non-koinsidensi inheren dari yang Satu [the One] itu sendiri. Buku ini didasarkan pada sebuah sikap politico-filosofis strategis untuk mengatasi gap yang memisahkan yang Satu dari dirinya sendiri ini, dengan memakai apa yang disebut paralaks.[9] Ada serangkaian mode paralaks di berbagai domain yang berbeda dari teori modern; di fisika quantum (dualitas gelombang-partikel); paralaks neurobiologi (kesadaran bahwa, ketika kita melihat ke dalam tengkorak dibelakang wajah, kita tidak menemukan apapun; ‘tidak ada orang dirumah’, disana hanya seonggok materi abu-abu – sulit untuk menjelaskan gap antara makna dan yang Real murni); paralaks perbedaan ontologis, dari keterputusan antara yang ontis [ontic], dan transendental-ontologis (kita tidak bisa mereduksi khasanah ontologis menjadi ‘akar’ ontisnya, tapi pada saat yang sama kita juga tidak bisa mendeduksi domain ontis ini dari khasanah ontologisnya; dengan kata lain, konsitusi transendental bukan penciptaan); paralaks dari yang Real (yang Real Lacanian tidak memiliki konsistensi substansialnya yang nyata, ini hanya sekedar gap antara berbagai perspektif didalamnya); sifat paralaks dari gap antara hasrat dan dorongan [desire and drive] (kita bisa bayangkan seorang individu mencoba melakukan tugas tangan sederhana – misal, memegang sebuah obyek yang terus-menerus menghindar: begitu dia mengubah perilakunya, mulai menikmati hanya mengulangi tugasnya yang gagal ini, memegang obyek yang, lagi dan lagi, menghindarinya, dia beralih dari hasrat menjadi dorongan;[10] paralaks dari bawah sadar (hilangnya aturan bersama antara dua aspek dari bangunan teoritis Freud, tafsir dari formasi bawah-sadar [The Interpretation of Dreams, The Psychopathology of Everyday Life, Jokes and Their Relation to the Unconscious] dan teori tentang dorongan [Three Essays on the Theory of Sexuality, dan sebagainya]; sampai – terakhir dan paling tidak penting – paralaks dari vagina [peralihan dari obyek tertinggi dari penetrasi seksual, perwujudan dari misteri seksualitas, menjadi organ inti dari maternalitas [kelahiran]).
Dan, terakhir tapi bukan yang tidak paling penting, kita perlu menilai status paralaks dari filsafat itu sendiri. Tepat pada titik kelahirannya (Ionian pra-Socrates), filsafat muncul dalam rajutan dari komunitas sosial yang substansial, sebagai pemikiran dari mereka yang terjebak dalam posisi ‘paralaks’, tidak mampu sepenuhnya mengidentikkan diri dengan identitas sosial positif apapun. Dalam On Tyranny, Leo Strauss menjawab pertanyaan ‘Dimana letak politik filsafat berada?’ dengan ‘Dalam memuaskan kota dengan mengira bahwa filsafat itu bukan atheis, bahwa mereka tidak melecehkan semua hal yang dianggap suci bagi kota, bahwa mereka juga merujuk pada apa yang dipercayai oleh kota, bahwa mereka tidak melakukan hal yang subversif, pendeknya mereka bukan pengelana yang tak-bertanggungjawab, tapi warga terbaik.’[11] Ini, tentu saja, adalah strategi survival untuk mengaburkan sifat subversif dari filsafat. Dimensi krusial ini hilang dalam penjelasan Heidegger: bagaimana, semenjak masa pra-Sokrates yang dia sukai, berfilsafat meliputi sebuah posisi ‘mustahil’ yang digantikan oleh pertimbangan terhadap identitas komunal, baik itu ‘ekonomi’ (oikos, pengaturan rumah tangga) atau polis (negara-kota). Sama halnya dengan pertukaran menurut Marx, filsafat muncul dalam rajutan antara berbagai komunitas yang berbeda, dalam ruang rapuh pertukaran dan sirkulasi diantara mereka, sebuah ruang yang kehilangan identitas positif apapun. Bukankah ini secara khusus begitu jelas pada diri Descartes? Pengalaman yang membumi dari posisi keraguan universalnya adalah persis sebuah pengalaman ‘multikultural’ ketika bagaimana tradisi kita sendiri ternyata tidak lebih baik daripada apa yang tampak bagi kita sebagai tradisi ‘eksentris’ dari liyan:
Saya telah diajari, bahkan di bangku kuliah, bahwa tidak ada yang bisa dibayangkan akan begitu aneh atau begitu kredible yang itu belum dijelaskan oleh salah satu filsuf atau lainnya, dan saya juga terus menemui hal ini ketika saya berkelana bahwa mereka semua yang perasaannya sangat berbeda dari kita adalah bukan orang barbar atau biadab, tapi mungkin dikuasai oleh nalar yang sama besarnya atau bahkan lebih besar daripada nalar kita sendiri. Saya juga melihat bagaimana inti dari orang yang berbeda, sama dalam hal pikiran dan ruh, mungkin menjadi, sesuai dengan bagaimana dia dibesarkan sejak masa kanak-kanak, apakah dilingkungan orang Prancis atau Jerman, atau telah melewati seumur hidupnya diantara orang China atau Kanibal.
Saya juga melihat bagaimana bahkan dalam hal fesyen, baju kita yang sepuluh tahun lalu ngetrend, dan mungkin akan ngetrend lagi sepuluh tahun yang akan datang, pada saat ini tampak berlebihan dan konyol. Karenanya saya menyimpulkan bahwa lebih banyak memang masalah kebiasaan dan contoh yang mempengaruhi kita dibandingkan pengetahuan tertentu apapun, dan tetap saja, meskipun mendapat suara mayoritas tidak serta merta menjadi bukti dari kebenaran apapun yang sulit untuk ditemukan, karena kebenaran semacam itu jauh lebih mungkin telah ditemukan oleh seseorang dibandingkan oleh sebuah bangsa. Namun, saya tidak bisa menunjuk satu orang yang pendapatnya tampak lebih disukai dibanding yang lain, dan saya mendapati bahwa saya, bisa dibilang, membatasi diri saya sendiri untuk menjalani arah dari prosedur saya sendiri.[12]
Sehingga, Karatani benar dalam nenekankan karakter in-substansial dari cogito: ‘Dia tidak bisa diomongkan secara positif; begitu itu kita lakukan, fungsinya akan hilang.’[13] Cogito itu bukan sebuah entitas substansial, tapi sebuah fungsi yang murni struktural, sebuah ruang kosong ($-nya Lacan) – karena itu, dia hanya bisa muncul dalam rajutan dari sistem komunal substansial. Kaitan antara munculnya cogito dan disintegrasi dan hilangnya identitas komunal substansial karena itu adalah sesuatu yang inheren, dan ini berlaku bahkan lebih di diri Spinoza daripada di Descartes: meskipun Spinoza mengkritik cogito Cartesian, dia mengkritiknya sebagai entitas ontologis yang nyata – tapi dia secara implisit sepenuhnya mendukung hal ini sebagai ‘posisi terucap’, yang bicara dari keraguan-diri yang radikal, karena, bahkan lebih daripada Descartes, Spinoza bicara dari rajutan ruang sosial, yang bukan seorang Yahudi maupun seorang Kristen.
Akibatnya, Spinoza adalah ‘filsuf itu sendir’, dengan posisi subyektif berupa pelarian ganda (dikucilkan bahkan dari para pelarian peradaban Barat); inilah kenapa kita perlu memakai Spinoza sebagai paradigma yang memungkinkan kita menemukan jejak dari penggusuran serupa, ‘keterputusan’ komunal,’ terkait dengan semua filsuf besar lainnya, sampai Nietzsche, yang merasa malu dengan Jerman dan dengan bangga menekankan akar Polandianya. Bagi seorang filsuf, akar etnis, identitas nasional, dan sebagainya, adalah bukan kategori kebenaran – atau, memakai istilah yang persis Kantian, ketika kita merefleksi terhadap akar etnis kita, kita terlibat dalam sebuah penalaran privat, dibatasi oleh pra-anggapan dogmatis yang kontinjen; dengan kata lain, kita bertindak layaknya seorang individu yang ‘tidak-matang’, bukan sebagai manusia bebas yang berada dalam dimensi universalitas nalar. Ini, tentu saja, sama sekali tidak bermaksud bahwa kita harus merasa malu dengan akar etnis kita; kita bisa saja mencintainya, bangga atasnya; pulang kembali kerumah mungkin akan menyenangkan hati kita – namun faktanya tetap bahwa semuanya pada akhirnya adalah irrelevan. Kita harus bertindak seperti halnya Saint Paul yang, meskipun dia bangga dengan identitas partikularnya (seorang Yahudi dan warga Romawi), tetap saja sadar bahwa, dalam ruang kebenaran absolut Kristen, ‘tidak ada orang Yahudi atau Yunani’,.... Pertarungan yang benar-benar menarik hatinya bukan sekedar ‘lebih universal’ dibandingkan salah satu kelompok etnis menghadapi kelompok etnis lainnya; ini adalah sebuah perjuangan yang mematuhi logika yang sepenuhnya berbeda: bukan lagi logika identitas-diri kelompok substansial milik kita sendiri melawan kelompok lain, tapi sebuah antagonisme yang secara diagonal memotong semua kelompok tertentu.
Memang mudah untuk membantah disini bahwa ruangan multikulturalis Cartesian ini dan merelatifkan posisi kita sendiri adalah sekedar langkah pertama meninggalkan opini yang kita warisi, yang seharusnya memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan filosofis yang benar-benar pasti – meninggalkan yang palsu, rumah yang tidak-stabil guna mencapai rumah sejati kita. Bukankah Hegel sendiri juga membandingkan dirinya dengan penemuan cogito Descartes dari seorang pelaut yang, setelah terombang-ambing di lautan dalam waktu yang lama, akhirnya melihat daratan? Bukankah kegelandangan [homelesness] Cartesian ini adalah gerakan strategis yang menipu? Bukankah disini kita mendapati sebuah konsep ‘negasi atas negasi’ Hegelian, Aufhebung dari rumah tradisional palsu dalam rumah sejati konseptual yang akhirnya kita temukan? Dalam artian ini, bukankah Heidegger benar ketika menyetujui determinasi filsafat dari Novalis sebagai yang mendambakan rumah sejatinya? Kita perlu menambahkan dua hal disini. Pertama, Kant sendiri pada dasarnya memang unik terkait dengan topik ini; dalam filsafat transendentalnya, kegelandangan tetap tak-tereduksi; kita selamanya tetap terpecah, terjebak dalam sebuah posisi rapuh diantara dua dimensi, dan untuk ‘melakukan lompatan iman’ tanpa jaminan apapun. Kedua, bukankah situasi Hegeliannya disini begitu jelas? Bukankah bagi Hegel, ‘rumah’ baru ini adalah dalam artian tertentu, kegelandangan itu sendiri, inti dari gerakan terbuka dari negativitas?
Senada dengan pandangan ‘kegelandangan’ konstitutif dari filsafat ini, Karatani membandingkan pandangan Kant – dari Hegel – tentang ‘masyarakat-sipil-dunia/Weltburgergsellschaft’ kosmopolitan, yang bukan sekedar perluasan dari kewargaan dari negara tertentu dari sebuah Negara transnasional global; dia meliputi pergeseran dari prinsip identifikasi dengan substansi etnis ‘organis’ seseorang yang diaktualkan dalam tradisi partikular, kepada sebuah prinsip identifikasi yang berbeda secara radikal – Karatani disini merujuk pada konsep Deleuze tentang singularitas universal melawan triade individualitas-partikularitas-generalitas Hegelian; perbedaan ini adalah perbedaan antara Kant dan Hegel. Bagi Hegel ‘masyarakat-sipil-dunia’ adalah sebuah konsepsi abstrak tanpa konten substansial, kehilangan mediasi terhadap yang partikular, dan karenanya menjadi kekuatan dari aktualitas penuhnya – dengan kata lain, dia meliputi sebuah identifikasi abstrak yang tidak menangkap subyek secara substansial; karena itu, satu-satunya cara seorang individu terlibat secara efektif dalam kemanusiaan universal adalah melalui identifikasi penuh terhadap sebuah negara-bangsa tertentu (partikular): saya adalah ‘manusia’ hanya sebagai orang Jerman, Inggris...[14] Bagi Kant, sebaliknya, ‘masyarakat-sipil-dunia’ merujuk pada paradoks singularitas universal, sebuah obyek singular yang, dalam semacam korslet, melewati mediasi dari yang partikular, secara langsung terlibat dalam yang universal. Identifikasi dengan yang universal ini bukan identifikasi dengan sebuah Substansi yang secara global mencakup semua hal (‘umat manusia’), namun identifikasi dengan sebuah prinsip etiko-politis universal – sebuah kolektivitas agama yang universal, kolektivitas ilmiah, organisasi revolusioner global, semua hal yang pada prinsipnya bisa diakses oleh semua orang. Inilah apa yang dimaksudkan Kant, dalam tulisannya yang terkenal ‘What is Enlightment?’ [Apa itu pencerahan?], dengan ‘publik’ sebagai lawan dari ‘privat’; ‘privat’ itu bukan seorang individu tertentu yang dilawankan dengan komunalitas, tapi justru tatanan komunal-institusional dari identifikasi partikular seseorang; sementara ‘publik’ adalah universalitas transnasional dari pemakaian nalar seseorang. Sehingga paradoksnya disini adalah bahwa kita terlibat dalam dimensi universal dari ranah ‘publik’ justru sebagai individu singular yang ditarik dari atau bahkan dilawankan dengan identifikasi komunal substansial kita sendiri – kita menjadi benar-benar universal hanya sebagai singular yang radikal, dalam rajutan identitas komunal.[15]
Memang akan mudah bagi kita untuk tersesat dalam penjelasan non-sistematis dari beragam gap paralaks ini; tujuan saya disini adalah untuk memperkenalkan tatanan konseptual minimal kedalam keragaman ini dengan memfokuskan diri pada tiga pola utamanya; filosofis, ilmiah dan politis. Pertama, terdapat perbedaan ontologis itu sendiri sebagai paralaks tertinggi yang mengkondisikan akses kita sendiri terhadap realitas; kemudian ada paralaks ilmiah, sebuah gap yang tak-tereduksi antara pengalaman realitas fenomenal dengan penjelasan ilmiahnya, yang mencapai puncaknya dalam kognitivisme, dengan upayanya untuk menyediakan penjelasan neurobiologis ‘pihak-ketiga’ terhadap pengalaman ‘pihak-pertama’ kita; dan terakhir, tapi bukan yang ter-remeh, ada paralaks politis, yaitu antagonisme sosial yang tidak memungkinkan adanya landasan bersama antara berbagai agen yang berhadapan (suatu ketika, ini disebut sebagai ‘perjuangan kelas), dengan dua pola eksistensi utama yang akan menjadi fokus dari dua bab terakhir buku ini (gap paralaks antara hukum publik dan penerapan nyeleneh dari superego-nya; gap paralaks antara perilaku ‘Battleby’ dalam bentuk penarikan diri dari keterlibatan dan kolektivitas tindakan sosial). Ketiga model ini menjelaskan tentang struktur tripartit dari buku ini; diantara setiap bagian, ditambahkan bagian interlude yang menerapkan jaringan konseptual kepada domain yang lebih spesifik (novel Henry James; kaitan antara kapitalisme dan anti-semitisme).
Dalam setiap ketiga bagian, operasi formal yang sama dipakai dan diterapkan, masing-masing dengan tingkatan yang berbeda: sebuah gap dianggap tidak-tereduksi dan tak-terjembatani, sebuah gap yang mengandung batasan terhadap bidang realitas. Filsafat berkutat diseputar perbedaan ontologis, gap antara horison ontologis dan realitas ontis ‘obyektif’; otak sains dari kalangan kognitivis berkutat diseputar gap antara keterkaitan-diri subyek fenomenal dengan realitas biofisik dari otak; pertarungan politik berkutat diseputar gap antara antagonisme dan realitas sosio-ekonomis. Triade ini, tentu saja, adalah Universal-Partikular-Singular; universalitas filsafat, partikularitas sains, dan singularitas politik.[16] Dalam ketiga kasus, masalahnya adalah bagaimana memahami gap ini dengan cara materialis, yang berarti: tidak cukup sekedar menekankan pada fakta bahwa horison ontologis tidak bisa direduksi sebagai dampak dari kejadian ontis; kesadaran fenomena-diri tidak bisa direduksi menjadi epiphenomena ‘obyektif’ dari proses otak; bahwa antagonisme sosial (‘pertarungan kelas’) tidak bisa direduksi menjadi sekedar sebagai dampak dari kekuatan sosio-ekonomis obyektif. Kita perlu melangkah lebih jauh dan menjangkau melebihi dualisme ini sendiri, kedalam ‘perbedaan minimal’ (non-koinsidensi dari Sesuatu dengan dirinya sendiri) yang melahirkannya. Karena saya banyak menulis materi yang berkaitan dengan karya Derrida, sekarang – ketika mode Derridean mulai luntur – adalah mungkin saat yang tepat untuk memberi penghormatan kepada pemikirannya dengan menunjukkan kedekatan dari ‘perbedaan minimal’ ini dengan apa yang dia sebut sebagai differance, sebuah neologisme yang tingkat kesulitannya mengaburkan potensi materialisnya yang sangat besar dan belum pernah ada sebelumnya.
Namun, pembahasan ini dimaksudkan untuk menarik garis demarkasi yang lebih tegas dari tersangka biasanya dari geng demokrasi-yang-akan-datang-dekonstruksionis-postsekuler-Levinasian-penghormatan-atas-Liyan. Jadi – memparafrase peringatan anti-Freudian terkenal dari Vladimir Nabokov, yang diambil dari Pengantar terjemahan Inggris dari karyanya King, Queen, Knave – seperti biasanya, saya akan menunjukkan bahwa, seperti biasanya (dan, seperti biasanya, sejumlah orang yang sensitif yang saya sukai akan kaget), delegasi demokrasi-yang-akan-datang tidak akan diundang. Namun, jika kelompok demokrat-yang-akan-datang yang gigih berhasil menyelinap, dia harus ingat bahwa banyak jebakan telah dipasang disana-sini disepanjang buku ini.

Pengalaman akademis sehari-hari kita menyediakan contoh yang menarik terkait dengan perbedaan Lacanian antara subyek terucap [subject of enunciated] dan subyek pengucap [subject of enunciation]. Ketika, di sebuah konferensi, seorang pembicara bertanya kepada saya: ‘Apakah anda menyukai ceramah saya?’, bagaimana saya menanggapinya dengan sopan bahwa ceramahnya membosankan dan bodoh? Dengan bilang: ‘Menarik....” Paradoksnya adalah, jika saya mengatakan ini secara langsung, saya akan menyatakan hal yang berlebihan: ucapan saya akan dipahami sebagai sebuah serangan pribadi kepada inti dari jantung si pembicara, sebagai bentuk kebencian kepadanya, bukan sekedar tidak menyukai ceramahnya – dalam hal ini, si pembicara akan berhak untuk protes: ‘Kalau sebenarnya anda hanya ingin bilang bahwa ceramah saya membosankan dan bodoh, kenapa tidak bilang saja bahwa ceramahnya menarik?’... Namun, jika saya dengan tulus berharap bahwa pembaca akan mendapati buku ini menarik, maka saya akan memakai ungkapan ini dengan artian yang dialektis: penjelasan dari sebuah konsep universal menjadi ‘menarik’ ketika kasus tertentu yang mengingatkannya pada konsep itu berbeda dengan universalitas mereka – bagaimana?
Di toko buku besar manapun di Amerika, sangat mungkin kita menemukan buku Shakespeare Made Easy, sebuah serial unik yang diedit oleh John Durband dan diterbitkan oleh Barron: sebuah edisi ‘bilingual’ dari drama Shakespeare, dengan bahasa Inggris klasik yang asli di sisi kiri halaman, dan terjemahan kedalam bahasa Inggris kontemporer di sebelah kanan halaman. Kepuasan aneh yang didapat dengan membaca buku ini dihasilkan dari fakta bahwa apa yang dimaksudkan sebagai sekedar tafsir kedalam bahasa Inggris kontemporer ternyata membawa sesuatu yang lebih; sebagai aturan, Durband mencoba memformulasikan secara langsung, dengan contoh kasus sehari-hari (apa yang dianggap sebagai) pemikiran yang disampaikan Shakespeare dengan memakai idiom metafora – “To be or not to be, that is the question” menjadi kira-kira: “Yang membingungkan saya sekarang adalah: Apakah saya harus bunuh diri atau tidak?” Mungkin satu-satunya cara men-dejargon-kan contoh sastra klasik adalah dengan menerima taruhan gila ini, yaitu ‘menafsirkan-ulang’ teks itu kedalam bahasa ujaran sehari-hari.
Kita bisa membayangkan terjemahan dari syair Holderlin yang paling sublim kedalam bahasa Jerman sehari-hari: “Wo aber Gefahr ist, wachst das Rettende auch” – “Ketika anda sedang berada dalam masalah serius, jangan cepat putus asa, lihat sekeliling dengan seksama, solusinya mungkin ada di depan pintu”. Atau, dengan prosedur serupa, kita bisa membayangkan melengkapi komentar Heideggerian terhadap kalimat pra-Sokrates dengan tambahan sentuhan yang nakal. Ketika dalam Holzwege, merujuk pada Anaximander, Heidegger menerapkan semua dimensi dari kata Fug, Fugen, tarik menarik antara Fug dan Unfug, perjumpaan dan perpisahan ontologis, gimana kalau kita coba-coba berspekulasi soal bagaimana kata f... sendiri berakar pada fug kosmis ini, senada dengan konsepsi pagan tentang alam semesta sebagai hasil dari persetubuhan primordial antara prinsip kosmis maskulin dan feminin (yin dan yang, dan sebagainya) – nah, memakai istilah Heideggerian, esensi dari bersetubuh [fucking] tidak ada kaitannya dengan laku ontis dari setubuh [fuck] itu sendiri; justru, ini terkait dengan pertarungan-merebut-harmoni yang menjadikan dasar dari komposisi semesta itu sendiri.
Dalam film dokumenter Derrida, menjawab pertanyaan tentang apa yang akan dia tanyakan jika dia bisa bertemu sejumlah filsuf klasik besar, dengan segera dia menyahuti, ‘Tentang kehidupan seksual mereka.’ Disini mungkin kita perlu melengkapi Derrida: kalau kita tanyakan pertanyaan ini secara langsung, kita mungkin mendapat jawaban umum; yang perlu kita cari tahu, justru, adalah bagaimana teori tentang seksualitas di level masing-masing filsafat. Mungkin fantasi filosifis tertinggi disini adalah penemuan sebuah manuskrip dimana Hegel, si ahli sistematisasi par excellence, membangun sebuah sistem seksualitas, tentang praktek seksual yang saling berlawanan, bertabrakan, bersinggungan, mendeduksi semua bentuk (yang normal dan yang ‘cabul’) dari kebuntuan dasar.[17] Seperti dalam Encyclopedia Hegel, kita pertama akan mendapati deduksi dari ‘perilaku subyektif terhadap seks’ (pasangan binatang, nafsu eksesif murni, ekspresi rasa cinta manusia, gairah metafisis), diikuti oleh ‘sistem seksualitas’, diorganisir, seperti yang biasa kita harapkan dari seorang Hegel, kedalam sebuah susunan Triad. Titik tolaknya adalah senggama a tergo, laku seksual dalam bentuk kebinatangan, pre-subyektif nya; lantas kita beranjak ke negasi (abstrak) berikutnya; masturbasi, dimana pemuasan-diri solo dilengkapi dengan berfantasi. (Jean Laplanche berpendapat bahwa masturbasi-dengan-berfantasi adalah bentuk, tingkatan dasar dari dorongan manusia yang berlawanan dengan nafsu binatang). Berikutnya adalah sintesis dari keduanya: laku seksual itu sendiri, dengan posisi misionaris, dimana kontak muka-ketemu-muka menjamin bahwa kontak seluruh anggota tubuh (penetrasi) tetap dilengkapi oleh berfantasi. Ini berarti bahwa laku seksual ‘normal’ manusia memiliki struktur masturbasi ganda: masing-masing pihak bermasturbasi dengan pasangan yang nyata. Namun, gap antara realitas mentah bersenggama dengan pelengkap fantasmisnya tidak bisa lagi ditutup; semua variasi dan penggantian dari praktek seksual yang mengikutinya adalah sekedar bentuk dari berbagai upaya sia-sia untuk memulihkan keseimbangan diantara keduanya.
Sehingga ‘progres’ dialektisnya harus melalui serangkaian variasi terkait dengan relasi antara wajah, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya, dan cara pemakaian masing-masing; organ tetap sebagai phallus, tapi bukaan/lubang [opening] yang akan dimasuki (dipenetrasi) berubah (anus, mulut). Lantas, melalui semacam ‘negasi dari negasi’, tidak hanya obyek yang harus dipenetrasi saja yang berubah, tapi totalitas dari orang yang menjadi pasangan juga beralih menjadi kebalikannya (homoseksualitas). Dengan perkembangan yang lebih lanjut, tujuan seks itu sendiri bukan lagi orgasme (fetisisme). Ngobek [fist-fucking] melengkapi rangkaian ini dengan sebuah sintesis yang mustahil dari tangan (organ dari kegiatan instrumental, untuk bekerja keras) dan vagina (organ penghasil sikap pasif ‘spontan’). Tangan (fokus dari kerja yang terencana, tangan sebagai bagian organ tubuh kita yang paling terkontrol dan terlatih) menggantikan phallus (wujud par excellence dari organ tubuh yang diluar kendali pikiran kita, karena ereksi bisa terjadi datang dan pergi diluar kehendak kita. Salah satu guyonan tentu saja, benda apa yang paling ringan? Penis, karena dia bisa kita angkat hanya dengan pikiran), dalam semacam situasi yang berkaitan dengan seseorang yang mendekati sebuah kondisi yang harus muncul ‘secara spontan’ dengan cara yang terencana (seorang penyair yang menulis puisinya dengan cara yang rasional, misalnya, adalah seorang penyair fist-fucker). Tentu saja, ada variasi berikutnya yang mengarah pada deduksi spekulatif: dalam masturbasi maskulin, vagina, organ pasif paripurna, digantikan oleh tangan, organ aktif paripurna yang mempasifkan phallus itu sendiri. Selain itu, ketika phallus mempenetrasi anus, kita mendapatkan wawasan yang tepat terkait dengan identitas spekulatif dari pembuangan dan pembuatan (insemination), yang tertinggi dan terendah. Kayaknya sudah tidak ada ruang untuk mengeksplorasi lebih jauh variasi lain untuk dideduksi: bersetubuh dengan binatang, dengan boneka mesin, bersetubuh dengan banyak orang, sadisme, masokisme... Poin utamanya adalah bahwa justru ‘progres’ dari satu bentuk ke bentuk lainnya didorong oleh ketidak-seimbangan struktural dari hubungan seksual (konsep Lacan il n’y a pas de rapport sexuel – tidak ada yang namanya hubungan seksual), yang mengutuk setiap praktek seksual menjadi persimpangan abadi antara perusakan-diri pathos yang ‘spontan’ dengan logika ritual eksternal (mengikuti aturan). Sehingga hasil akhirnya adalah bahwa seksualitas adalah domain dari ‘ketakterbatasan ngaco’ yang logikanya, kalau kita terapkan secara ekstrim, mau tidak mau mengandung ekses tanpa-cita rasa seperti halnya kontes ‘spermathon’ – berapa banyak perempuan yang bisa dibikin orgasme oleh seorang pria dalam sejam, dan sebagainya... bagi seorang filsuf sejati, ada lebih banyak hal lain yang lebih menarik daripada seks.
Penjelasan dari sifat aneh (kalau tidak dibilang – setidaknya bagi beberapa orang – rendahan) dari latihan ini bukan soal ngomongin masalah seks-nya, tapi korslet antara dua hal yang biasanya dilihat sebagai hal yang tidak mungkin saling melengkapi, karena bergerak di tingkatan ontologis yang berbeda; yaitu spekulasi filosofis yang sublim dengan detil dari praktek seksual. Bahkan jika tidak ada yang, secara a priori, melarang penerapan perangkat konseptual Hegelian terhadap masalah seksual, tetap saja tampaknya bahwa seluruh proses latihan diatas adalah hal yang sia-sia, sebuah guyonan (yang agak ngaco). Dampak yang aneh, dan mengganggu dari korslet semacam itu menunjukkan bahwa hal ini memainkan peranan symptomal dalam ranah simbolis kita; mereka membawa larangan implisit, tasit kedalam hal yang menjadi penopang ranah ini. Kita menerapkan universalitas konkret dengan menghadapi sebuah universalitas dengan contohnya yang ‘tak-tertahankan’. Tentu saja, dialektika Hegelian bisa dipakai untuk menganalisa apapun – namun, kita secara diam-diam [tacitly] terpanggil untuk tidak menerapkannya dalam hal seksualitas, seolah menjadikan konsep analisa dialektis itu sendiri akan tampak konyol; memang, semua orang sederajat – namun, kita diam-diam terpanggil untuk memperlakukan beberapa orang tertentu sebagai ‘lebih rendah’, seolah menerima kesetaraan mereka sepenuhnya akan menafikan konsep kesetaraan itu sendiri.
Karena itu, artian non-trivial yang akan ditemukan pembaca di buku ini saya harap akan menjadi sesuatu yang menarik; sepanjang saya berhasil dalam upaya saya mempraktekkan universalitas konkret – untuk terlibat dalam apa yang oleh Deleuze, si anti-Hegelian  hebat itu, disebut dengan ‘memperluas konsepnya’.




[1] Lihat Giles Tremlett, “Anarchists and the Fine Art of Torture,” The Guardian, January 27, 2003.
[2] Lihat Stuart Jeffries, “Did Stalin’s Killers Liquidate Walter Benjamin?,” The Observer, July 8, 2003
[3] Mungkin, definisi yang paling tepat dari utopia revolusioner adalah sebuah tatanan sosial dimana dualitas ini, gap paralaks ini, tidak lagi berfungsi – sebuah ruang dimana Lenin bisa dan bahkan bertemu dan berdebat dengan pengikut Dadais
[4] Kalau kita cermati, semakin jelas bahwa justru relasi antara kedua cerita ini adalah sebuah paralaks: simetrinya tidak persis benar, karena cerita Laurencic jelas adalah soal politik (teror dan siksaan politik), memakai seni modern sebagai titikbalik komikal; sementara cerita Benjamin adalah tentang ‘teori tinggi’, memakai, kebalikannya, Stalin sebagai titik balik komikalnya.
[5] Saya memiliki keyakinan yang sama dengan Alain Badiou bahwa sekarang sudah waktunya untuk memakai istilah problematis ini (dalam bukunya yang akan terbit, La Logique des mondes, Badiou menjelaskan tarik-menarik politico-filosopico hari ini dalam wuju ‘materialisme demokratis’ dan ‘dialektis materialis’
[6] V.I. Lenin, Collected Works, vol. 33 (Moscow: Progress Publishers, 1966), p. 282
[7] Yang sama juga berlaku bagi kebenaran: penting untuk beralih dari proposisi yang benar kepada kebenaran itu sendiri yang berbicara.
[8] Yang sampai sekarang tetap tidak boleh disebut namanya, seperti halnya kurcaci yang tersembunyi dalam boneka materialisme historis.
[9] Disini saya harus mengakui hutang saya kepada karya Kojin Karatani, Transcritique: On Kant and Marx (Cambridge, MA: MIT Press, 2003)
[10] Sehingga dorongan muncul sebagai sebuah strategi untuk mengambil untung dari kegagalan mencapai tujuan dari dorongan
[11] Dikutip dari Anne Norton, Leo Strauss and the Politics of American Empire (New Haven: Yale University Press, 2004), p.
[12] Rene Descartes, Discourse on Method (South Bend: University of Notre Dame Press, 1994), p.33
[13] Karatanim, Transcritique, p.33
[14] Lantas, apakah totalitas Hegelian adalah totalitas ‘organis’ yang bergantung pada yang Partikular sebagai perantara antara yang Universal dan Individual? Sebaliknya, bukankah ‘kontradiksi’ (tidak)terkenal yang mendorong gerakan dialektis adalah justru kontradiksi antara Kesatuan ‘organis’ (struktur U-P-I) dan singularitas yang secara langsung – tanpa mediasi – mewakili yang Universal?
[15] Namun, kita tidak boleh lupa bahwa sebuah versi (palsu) dari ‘masyarakat-sipil-dunia’ Kantian sudah ada – yang tersamar dalam apa yang disebut ‘kelas simbolis’ dari para eksekutif, jurnalis, saintis, pekerja kultural, dan sebagainya, yang secara langsung terlibat dalam sebuah jaringan profesional atau kultural diseluruh dunia. Masalah dengan ‘kelas simbolis’ universal ini adalah bahwa inti universalitas mereka justru didasarkan pada sebuah pembagian radikal dalam masing-masing masyarakat partikular: dengan sebuah cara yang emblematis Hegelian, universalitas terpatri kedalam setiap situasi partikular sebagai pemisahan internalnya.
[16] Lantas, apakah ketiga momen ini adalah perwujudan dari triade Absolut (Being) – obyek (Sains) – Subyek (Politik)? Justru, lebih kebalikannya yang berlaku, yang bersifat Hegelian: Subyek-Obyek-Absolut. Sesuatu yang berbeda dari dirinya sendiri adalah Absolut qua Subyek: sains berupaya memahaminya sebagai obyek; politik adalah yang Absolut ‘itu sendiri’, sebuah kontinjensi, proses rapuh dimana yang dipertaruhkan adalah nasib dari yang Absolut.
[17] Senada dengan hal ini, kita bisa membayangkan bagaimana bentuk sebuah catatan baru Heidegger soal seksualitas. Esensi dari seorang wanita adalah sich anzustellen, untuk membuka diri-sendiri, sich anzubieten, untuk menawarkan/mengusulkan dirinya sendiri; nih aku, pilih aku, tangkap aku, bawa aku. Kebalikan dari sikap keterbukaan provokatif ini, Herausforderung, seorang pria yang nampang didepan mata seorang wanita: sikapnya adalah sich aufstellen, dalam artian sich aufspielen, sich brusten. Seorang pria stellt sich auf; seorang wanita stellt sich an. Dari sini, kita bisa membayangkan sebuah posisi erotis Heideggerian soal penutupan/penarikan-diri; Being memprovokasi kita dengan pembukaannya, dia memprovokasi kita melalui penarikan diri dijantung dari pembukaannya; esensi dari Sich Anzuztellen adalah Sich-Anzustellen dari esensi itu sendiri, takdir dari pria adalah mengacaukan segala hal, untuk gagal dalam upayanya secara layak merespon pembukaan provokatif ini... Lantas, kenapa tidak mengambil resiko merekonstruksi pembalikan dari retorika Heidegger (“esensi dari kebenaran adalah kebenaran dari esensi itu sendiri”) juga terkait dengan Abort (toilet): esensi dari abort adalah ab-ort (dis-placing – pemindahan) dari esensi itu sendiri... Senada dengan hal ini, Er-Orterung (ex-plaining [menjelaskan], secara harfiah berarti; menempatkan sesuatu pada tempatnya), sebuah puisi secara bersamaan adalah Ab-Orterung-nya (menggelontor toilet). Dan bagaimana dengan aborsi itu sendiri? Bagaimana jika esensi dari aborsi (Ab-Treibung, Fehl-Geburt) adalah bukan sesuatu yang ontis, tapi pengaborsian terhadap esensi itu sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar