Kawans,
kali ini aku mau nampilin bagian Interlude I dari buku Living in the End Times (LitET), yang oleh Zizek diberi judul Hollywood Today: Report from Ideological Battlefield.
Disini Zizek membedah sejumlah film, dari mulai film klasik seperti film karya John Frankenheimer, Seconds, sampai film kontemporer seperti sekuel Batman terakhir yang digarap dengan apik oleh Christopher Nolan (terutama karakter Joker yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger, dan sangat pantas diganjar Oscar, sekalipun sedihnya, post-mortum), Dark Knight, bahkan film yang oleh sebagian kita dianggap sebagai sekedar film kartun anak-anak Hollywood, Kung fu Panda, guna membedah apa motif ideologi dibalik-nya.
Dimulai dari film berlatar kisah spionase di seputar peristiwa sejarah Perang Dunia II, berjudul Enigma, dimana dalam usaha untuk memecahkan kode sandi rahasia Jerman, si tokoh, Jericho, yang didasarkan pada sosok historis betulan, Alan Touring, terjebak dalam dua rahasia besar; yang pertama, tentu saja mesin sandi enigma itu sendiri, dan yang kedua adalah 'enigma’ terbesar dalam sejarah umat manusia (yang bahkan bapak Psikoanalisa, Sigmund Freud pernah menyampaikan satu teka-teki (atau misteri) terbesar yang pernah ada yaitu what woman want? (cewek itu maunya apa sih?)) yaitu wanita.
Dan disini Zizek menempatkan bahwa misteri yang lebih besar dan tak-terselesaikan adalah (surprise...surprise...), wanita. "Betapapun kompleks sebuah kode militer, mereka masih bisa dipecahkan – enigma yang sejati yang tidak akan pernah bisa dipecahkan adalah Wanita.“ (jadi bagi kalian para cowok pencinta, jangan minder kalo gak paham sebenarnya apa sih yang dimau oleh cewek kalian!!!).
Selanjutnya, .... ah, baca ndiri deh. Klo kawans mau nulis ringkasan dari isi bagian ini, i’ll be more than happy to post it here, kalau mau ngirim ke aku tentunya... Oh ya, satu lagi, interlude ini juga aku potong jadi dua bagian, biar gak terlalu panjang bacanya.
Interlude I. Hollywood Hari Ini: Laporan dari Medan-perang IdeologisMari kita mulai dengan karya Michael Apted, Enigma (2001, ditulis oleh Tom Stoppard, berdasarkan novel ari Robert Harris), yang berlangsung pada tahun 1943, diantara kriptoanalis kode di Bletchley Park yang bekerja siang dan malam untuk memecahkan kode 'enigma’ dari Jerman. Ikut bergabung dengan mereka Tom Jericho, jenius matematika yang bandel dan berasal dari kelas-pekerja yang kembali setelah periode pemulihan akibat kebanyakan kerja dan hubungan yang tidak bahagia dengan Claire, seorang female fatale yang mudah bergaul, yang membuat Jericho mengalami tekanan mental. Segera setelah bergabung, Jericho mencoba kembali mencari Claire dan mendapati dia secara misterius menghilang. Jericho meminta pembantu Claire bernama Hester untuk mengikuti jejak dan mencari tahu apa yang terjadi dengan Claire; keduanya kerap melanggar aturan dari Bletchley Park dan hukum ketika perburuan mereka semakin intensif. Jericho diawasi dengan ketat oleh Wigram, agen M15 senior, yang disepanjang film bermain kucing dan tikus dengan Jericho. Jericho masih ditolerir di Bletchley Park, terlepas kenyentrikan-nya, karena rencana brilian yang dia ciptakan untuk memecahkan kode itu. Sementara itu pada saat yang sama, dia dan Hester mengetahui rencana pemerintah Inggris untuk mengubur informasi intelejen terkait pembantaian di Katyn, karena khawatir itu akan melemahkan kemauan Amerika untuk tetap berperang dalam satu barisan dengan Uni Sovyet. Ini akhirnya membuat mereka menemukan bahwa seorang kriptoanalis dari Polandia, Jozef Pukowski, ternyata begitu marah ketika mengetahui tentang pembantaian itu dan bersiap untuk mengkhianati rahasia Bletchley dan membocorkan kepada Nazi guna membalas dendam kepada Stalin. Nasib Claire tetap tidak jelas sampai akhir film: apakah dia terbunuh atau lenyap begitu saja? Yang kita tahu adalah bahwa dia sebenarnya ternyata juga agen M15 dibawah kendali Wigram.
Film ini dikritik karena manipulasinya terhadap fakta historis: terlepas dari sejumlah perubahan kecil (misalnya, satu-satunya penghianat yang diketahui di Bletchey Park adalah John Cairncross, yang bekerja untuk Uni Soviet), perubahan terbesar dari film itu terkait dengan karakter Jericho, yang jelas merupakan versi modifikasi dari Alan Turing yang legendaris, sosok kunci dari Bletchley Park yang asli, baik dalam memecahkan kode Enigma maupun dalam pengembangan komputer digital; pada tahun 1950an, Turing dituntut karena perilaku homoseksual, diambil ijin keamanan-nya, dan mendapat penanganan kimia yang brutal, yang mendorong dia bunuh diri pada 1954. Di dalam film, Turing/Jericho yang sangat heteroseksual akhirnya mengatasi traumanya akibat jatuh cinta terhadap Claire – di adegan terakhir, kita melihat dia di tahun 1946, menemui Hester, yang mengandung anak mereka, di depan Galeri Nasional di London.[1]
Namun, analisis semacam ini bermain di level yang biasa disebut sebagai ideologi pembentuk, mengikuti pembedaan yang diusulkan oleh Alain Badiou antara dua jenis (atau lebih tepatnya tingkat) dari korupsi di dalam demokrasi: korupsi empiris de facto, dan korupsi yang ada justru dari bentuk demokrasi itu sendiri akibat reduksi politik kepada negoisasi kepentingan privat. Dalam cara yang sama, kita harus membedakan antara ideologi yang terbentuk [constituted] – manipulasi empiris dan distorsi pada tingkat konten – dan ideologi pembentuk [constitutive] – bentuk ideologis yang menyediakan kordinat bagi ruang tempat konten itu berada.[2]
Untuk memahami kontur dari "ideologi pembentuk“ dari Enigma, kita perlu berfokus pada bagaimana film ini cukup jelas bermain diantara dua enigma: enigma dari kode rahasia Jerman dan enigma dari wanita. Betapapun kompleks sebuah kode militer, mereka masih bisa dipecahkan – enigma yang sejati yang tidak akan pernah bisa dipecahkan adalah Wanita. (Pemisahan antara Claire dan Hester disini krusial: satu-satunya cara bagi seorang pria untuk menormalkan relasi seksual-nya adalah menghapus Wanita yang enigmatis dan menerima wanita biasa sebagai partner.) Dengan merubah kerangka cerita untuk dari upaya untuk memecahkan kode 'enigma’ Jerman menjadi cerita tentang enigma wanita, yang ditambahkan film ini kepada narasi adalah surplus-kenikmatan ideologis; perubahan inilah yang menunjang kenikmatan kita dari hal yang semestinya membosankan dari upaya memecahkan kode rahasia. Aspek ini juga yang membuat film ini menjadi bagian dari lingkup ideologis Hollywood; kalau sebuah film dengan topik yang sama (pemecahan kode militer) dibuat oleh misalnya, Uni Soviet, maka tidak akan perlu ada penambahan aspek erotik dari 'enigma’ (yang kenapa film semacam itu juga akan jauh lebih membosankan...)
Apa Yang Diinginkan Joker?
Hari ini, level fundamental dari ideologi pembentuk ini mengambil bentuk yang justru kebalikannya: non-ideologi.
David Grossman mewakili perilaku Yahudi yang paling murni, seperti terdapat di dalam anekdot yang menarik: ketika, sesaat sebelum perang Israel-Arab tahun 1967, dia mendengar di radio tentang ancaman bahwa orang Arab akan melempar orang Yahudi ke laut, reaksinya adalah mengambil kursus berenang – reaksi Yahudi yang paradigmatis kalau memang pernah ada, di dalam semangat dari percakapan panjang antara Josef K. dan pendeta (di penjara) yang mengikuti perumpamaan tentang pintu hukum dalam karya Kafka, Trial. Karya Grossman ditandai oleh garis pemisah yang aneh. Teks non-fiksi-nya hampir seluruhnya berisi tentang apa yang disebut orang Israel sebagai hamatzav, ‘Situasi’, kata yang terdengar-netral yang meliputi semua hal mulai dari Intifada sampai pagar keamanan dan penarikan dari Gaza. (Bandingannya di Cuba adalah ‘periode khusus’, kode-kata untuk bencana ekonomi yang terjadi setelah disintegrasi blok Soviet). ‘Situasi’ bukan sebuah event spesifik tapi lebih pada semua event: dia meliputi semua aspek dalam kehidupan. Secara kontras, fiksi-nya menarik diri kedalam ruang klaustropobia [pobia akan ruangan tertutup] dari gairah dan obsesi pribadi, kecemburuan dan keibuan, loyalitas dan penghianatan, dia memetakan kegelisahan dan kerinduan dari seluruh negara. Bukannya secara eksplisit melaporkan fakta dari lapangan, Grossman membangun realitas alternatif-nya sendiri yang menjadikan ‘Situasi’ sebagai absennya Sebab-Nyata.
Karakter utama dari ‘Frenzy’, novel pertama dari karya Grossman, Her Body Knows, adalah Shaul, seorang pegawai di Kementrian Pendidikan, yang meyakinkan dirinya bahwa istrinya, Elisheva memiliki selingkuhan. Terobsesi oleh kecemburuan, dia membayangkan setiap detil dari perselingkuhan istrinya. Ketika Elisheve pergi untuk beberapa hari, Shaul berkeras untuk mengikutinya. Karena kakinya terluka dalam sebuah kecelakaan yang misterius, dia meminta bantuan dari istri kakaknya, Esti, yang setuju untuk mengantarkan dia kemanapun Elisha menginap. Dalam sebuah perjalanan halusinatif ini, Shaul yang biasanya pendiam tiba-tiba memberitahu Esti tentang perselingkuhan Elisheva. Apakah affair itu nyata atau hanya fantasi? Apakah ini berakar pada emosi nyata Elisha ataukah pada kecemburuan obsesif dari Shaul? Ditengah-tengah cerita, pembedaan ini tidak lagi penting: Shaul mengabur sebagai sosok dari kekasih gelap istrinya dan Elisheva di dalam imajinasinya mengabur menjadi Elisheva di kehidupan nyata. Esti juga berubah: ketika perjalanan mereka semakin jauh, cerita Shaul memicu kerinduan Esti sendiri akan cinta yang sudah lewat.
Novel kedua, ‘Her Body Knows’, juga tentang kecemburuan dan penghianatan; sentral cerita adalah dua orang wanita; seorang instruktur yoga bernama Nili yang sedang menderita kanker, dan putrinya yang tinggal jauh darinya bernama Rotem, penulis yang tinggal di London yang sudah kembali ke Israel untuk menceritakan kepada ibunya kisah yang sedang dia tulis, tentang seorang instruktur Yoga bernama Nili. Di dalam kisah itu, yang berlangsung ketika dia masih kecil, Nili diminta oleh ayah dari seorang bocah laki-laki pemalu untuk mengajak si bocah itu berhubungan seksual secara diam-diam sehingga ‘membuat dia menjadi pria dewasa’. Mudah untuk mengenali disini logika dari fantasi dalam bentuknya yang paling murni: membuat skenario yang menyentuh misteri dari kehidupan seksual orang tua.
Kedua novel ini sebenarnya adalah tentang kekuatan transformatif dari penceritaan, kebutuhan untuk menciptakan realitas fiksi yang alternatif: apa yang sebenarnya terjadi menjadi tidak penting, baik Shaul maupun Rotem menyusun ulang realitas untuk menciptakan cerita yang perlu mereka sampaikan. Menulis ulang masa llau adalah tindakan bermurah-hati yang memungkinkan subyek merubah masa depannya. Bahkan kalau realitas fiktif yang mereka bangun tidak selalu Indah (tidak ada pernikahan yang bahagia, tidak ada masa kecil yang ideal di dalam fantasi ini), bahkan kalau tampak bahwa kesedihan kita sekedar ‘digantikan oleh yang lain dalam perluasan dan pembukaan masa lalu,’ ada keuntungan ‘patologis’ rahasia di dalam pergantian ini, hasilnya adalah ‘surplus-kenikmatan’.
Dan disinilah ideologi masuk: penarikan diri kedalam realitas yang intim berlangsung dengan latar hamatzav, ‘Situasi’. Tidak heran jika, akhir-akhir ini, hasrat yang sama terhadap realitas alternatif ini telah menjadi bagian dari psikis nasional Israel: berkaitan dengan “Situasi” menghasilkan atmosfir kegelisahan, rasa klaustropobia yang dalam, menarik diri kedalam kenyamanan ruangan. Meskipun seorang penulis Israel tidak secara langsung membahas atmosfer politik yang mengelilinginya, masalah ini tetap meresap, diam-diam dan memutar. Fungsi ideologis yang layak dari penarikan ini menjadi jelas – pesannya yang mendasar adalah: “Kita hanya orang biasa yang hanya ingin kedamaian dan kehidupan normal.” Perilaku yang sama membentuk bagian dari mitologi IDF [Israeli Defense Forces, Tentara Pertahanan Israel]: media Israel gemar menyoroti ketidaksempurnaan dan trauma psikis dari tentara Israel, menyajikan mereka bukan sebagai mesin militer yang sempurna, tapi sebagai orang biasa yang, terjebak kedalam kerumitan sejarah dan peperangan, seperti halnya dengan kebanyakan orang lain bisa melakukan kesalahan atau tersesat.
Operasi ideologis semacam ini juga menjadi resep kesuksesan dua film Israel terbaru tentang perang Lebanon 1982: dokumenter dari Ari Folman berjudul Waltz with Bashir dan karya Samuel Maoz berjudul Lebanon. Lebanon mengambil kenangan Maoz sendiri sebagai tentara muda, menjelaskan kengerian perang dan klaustropobia dengan mengambil gambar sebagian besar dari aksinya dari dalam tank. Film ini mengikuti empat prajurit yang miskin pengalaman yang ditugaskan di dalam tank untuk ‘menyapu’ musuh di sebuah kota di Lebanon yang sudah dibombardir oleh Angkatan Udara Israel. Diwawancarai di Venice Festival pada tahun 2009, Yoav Donat, actor yang memerankan sang sutradara sewaktu menjadi prajurit muda seperempat abad yang lalu menyatakan: “Ini bukan film yang akan membuat anda berpikir ‘saya baru saja menonton film.’ Ini adalah film yang membuat anda merasa baru saja kembali dari perang.” Dengan cara yang sama, Waltz with Bashir menceritakan kengerian dari konflik 1982 dari sudut pandang prajurit Israel. Maoz berkata bahwa filmnya bukan untuk mengutuk kebijakan Israel, tapi pengalaman pribadi-nya dari apa yang sudah dia alami: “Kesalahan yang saya buat adalah menyebut film ini ‘Lebanon’ karena perang Lebanon secara esensi tidak ada bedanya dengan perang lainnya dan bagi saya upaya apapun untuk menjadi politis akan meratakan film itu.”[3] Inilah ideologi dalam bentuknya yang paling nyata: fokus terhadap pengalaman traumatis pelaku akan memungkinkan kita menghilangkan keseluruhan latar belakang etis-politis dari konflik itu, meliputi pertanyaan seperti apa yang dilakukan tentara Israel jauh di wilayah Lebanon? (Di Lebanon, keterbatasan spasial di dalam tank secara harfiah menyebabkan penghapusan ini). Humanisasi semacam ini karena itu berperan untuk mengaburkan pertanyaan utamanya: perlunya analisa politik yang tajam terhadap apa yang sudah dilakukan terkait dangan kegiatan politik-militer oleh Israel. Perjuangan politik-militer kita justru bukan Sejarah pekat yang secara brutal mengganggu kehidupan kita – mereka adalah medan dimana kita selalu sudah terlibat, bahkan kalau itu dalam bentuk mengabaikan.
Haruskah kita heran ketika menemukan mekanisme ideologis yang sama di dalam karya Leonardo Padura, Mario Conde, tentang prosedur polisi yang berlatar di Havana hari ini? Pada kesan pertama, novel ini menyediakan pandangan yang begitu kritis terhadap situasi di Kuba (kemiskinan, korupsi, kesinisan rakyat) yang mau tidak mau membuat kita kaget ketika tahu bahwa tidak hanya Padura ternyata benar-benar tinggal di Havana, tapi dia juga sosok terpandang yang menerima penghargaan prestius dari negara. Karakter utamanya – meskipun kecewa, tertekan, melarikan diri kepada alkohol dan memimpikan realitas historis yang alternatif, menyesali kehilangan kesempatan mereka, dan tentu saja depolitisasi, dan sepenuhnya mengacuhkan ideologi sosialis resmi – tetap saja pada dasarnya menerima situasimereka. Sehingga pesan mendasar dari novel ini adalah bahwa kita seharusnya secara heroic menerima situasi apa adanya, bukannya mencoba untuk melarikan diri ke surga palsu di Miami. Penerimaan ini membentuk latar dari semua ungkapan kritis dan deskripsi yang suram: meskipun benar-benar kebingungan, karakternya adalah dari sini dan akan tetap tinggal disini, penderitaan ini adalah dunia mereka, dan mereka berjuang untuk mencari kehidupan yang bermakna di dalam kerangka itu bukannya melawannya dengan cara yang radikal. Kembali di jaman Perang Dingin, kritikus Kiri sering menunjukkan ambiguitas antara posisi John le Carre terhadap masyarakatnya sendiri; penggambaran kritisnya tentang sinisime oportunis, maneuver yang kejam dan penghianatan moral tetap saja memilik pra-anggapan sebuah posisi yang pada dasarnya positif – kompleksitas moral dari kehidupan agen rahasia adalah bukti bahwa kita hidup di masyarakat ‘terbuka; yang mengijinkan penyampaian kompleksitas semacam itu. Mutatis Mutandis, bukankah yang sama persis juga berlaku bagi Padura? Fakta bahwa dia mampu menulis seperti itu di masyarakat Kuba hanya meneguhkan legitimasi-nya.
Ada garis yang sangat tipis yang memisahkan ’humanisasi’ dari kemunculan istilah berbohong sebagai prinsip sosial: yang penting dalam lingkup yang ter-humanis-kan adalah pengalaman intim yang otentik, bukan kebenaran. Pada akhir film Christopher Nolan, The Dark Knight, film yang juga meng-humanis-kan karakter superhero-nya, ditampilkan sebagai sosok yang penuh keraguan dan kelemahan, Jaksa Harvey Dent, penegak hukum yang terobsesi untuk membasmi mafia yang akhirnya menjadi rusak dan melakukan sejumlah pembunuhan, meninggal. Batman dan teman polisi-nya, Gordon, menyadari akan kerugian moral yang akan dialami kota itu ketika mereka nantinya tahu tentang kejahatan Dent. Sehingga Batman membujuk Gordon untuk menjaga citra Dent dengan membuat Batman bertanggungjawab atas pembunuhan itu; Gordon menghancurkan Bat-Signal dan dilakukan perburuan terhadap Batman. Kebutuhan untuk menciptakan kebohongan dalam rangka menjaga moral publik ini adalah pesan utama dari film: hanya kebohongan yang bisa menebus kita. Tidak heran jika, secara paradoks, satu-satunya karakter yang jujur di dalam film adalah Joker, penjahat utamanya.[4] Tujuan dari serangan teroris-nya terhadap Kota Gotham adalah jelas: serangan itu hanya akan berhenti hanya ketika Batman melepas topengnya dan membuka identitas dia yang sebenarnya; untuk mencegah pengakuan ini dan demi melindungi Batman, Dent menyatakan kepada pers bahwa dia adalah Batman – kebohongan lain. Guna menjebak Joker, Gordon memalsukan kematiannya sendiri – lagi, kebohongan.
Logika dari topeng Batman (atau Superman atau Spiderman) diberi sentuhan komikal di dalam The Mask yang diperankan oleh Jim Carrey: justru Topeng itu sendiri yang merubah orang biasa menjadi superhero. Kaitan antara Topeng dan seksualitas diperjelas di dalam film Superman kedua: bercinta dengan wanita adalah tidak-kompatibel dengan kekuatan dari Topeng, yaitu harga yang harus dibayar Superman akibat keinginan cintanya adalah menjadi manusia biasa. Sehingga Topeng menjadi ’obyek parsial’ a-seksual yang memungkinkan subyek untuk tetap di dalam lingkup pra-Oedipal-anal-oral dimana tidak ada kematian atau rasa bersalah, hanya kesenangan dan pertarungan tanpa akhir – tidak heran karakter Jim Carrey di dalam The Mask bergitu terobsesi dengan kartun: dunia kartun adalah lingkup yang tidak pernah mati dari plastisitas yang tidak terbatas dimana setiap kali karakter ituhancur, secara ajaib menyatukan kembali dirinya dan pertarungan dimulai kembali.
Lantas, apa sebenarnya yang sosok Joker, yang ingin membuka kebenaran dibalik Topeng, yakin bahwa pembukaan ini akan menghancurkan tatanan sosial, wakili? Dia adalah manusia tanpa topeng tapi, justru sebaliknya, manusia yang sepenuhnya mengidentikkan dirinya dengan topengnya, manusia yang dia adalah topengnya – tidak ada apa-apa, tidak ada ’orang biasa’, dibaliknya.[5] Inilah kenapa Joker tidak mempunyai cerita-latar dan kehilangan motivasi yang jelas; dia menceritakan kepada orang yang berbeda versi cerita yang berbeda tentang lukanya, mengejek pandangan bahwa ada semacam trauma yang mendalam yang mendorong tindakannya.[6] Lantas, bagaimana relasi antara Batman dan Joker? Apakah Joker adalah perwujudan dorongan kematian Batman? Apakah Batman adalah daya penghancur Joker yang dimanfaatka untuk melayani masyarakat?
Paralel lebih lanjut bisa ditarik antara The Dark Knight dan cerita dari Edgar Allen Poe, The Masque of the Red Death. Di sebuah kastil yang terpencil dimana para pejabat menyelamatkan diri dari ancaman wabah (“Red Death”) yang melanda negara itu, Pangeran Prospero mengadakan pesta dansa bertopeng. Pada tengah malam, Prosporo menyadari sosok di dalam baju bersimbah darah, jubah hitam yang menyerupai tudung pemakaman, dengan topeng seperti-tengkorak meniru korban dari Red Death. Merasa sangat terhina, Prospero menuntut untuk mengetahui identitas dari tamu misterius itu, ketika sosok itu berpaling kepadanya, si Pangeran langsung mati. Para hadirin yang marah menyudutkan orang asing itu dan membuka topengnya, hanya mendapati bahwa kostum itu ternyata kosong – sosok itu ditampilkan sebagai personifikasi dari Red Drive itu sendiri yang menghancurkan semua kehidupan di dalam kastil. Seperti halnya Joker dan semua revolusioner, Red Death juga ingin topengnya di buang dan kebenaran dibuka kepada publik – kita juga bisa menganggap bahwa, di Rusia pada 1917, Red Death sudah menembus kastil Romanov dan memicu kejatuhannya.[7]
Bukankah kepopuleran The Dark Knight yang luar biasa juga menunjukkan fakta bahwa film ini sudah menyentuh syaraf dari konstelasi ideologico-politis kita: ketidaksukaan dari kebenaran? Dalam hal ini, film ini praktis merupakan versi baru dari dua karya cerita western klasik dari John Ford (Fort Apache dan The Man Who Shot Liberty Valance) yang menunjukkan bagaimana, dalam rangka menertibkan Wild West, kebohongan harus diangkat menjadi kebenaran – singkatnya, bagaimana peradaban kita didasarkan pada kebohongan. Pertanyaan yang perlu diangkat disini adalah: mengapa, justru pada saat ini, muncul pembaruan kebutuhan akan kebohongan untuk menjaga sistem sosial?
Pelajaran yang menyedihkan dari Remakes
The Dark Knight adalah tanda dari regresi ideologis global dimana kita bisa tergoda untuk memakai judul dari karya Georg Lukacs yang paling Stalinist: Destruksi dari nalar (emansipatoris). Regresi ini mencapai puncaknya dengan I Am Legend, blockbuster terbaru yang diperankan oleh Will Smith tentang manusia terakhir yang masih hidup. Daya tarik film ini hanya pada nilai komparatif-nya: salah satu cara terbaik untuk mendeteksi pergeseran di dalam konstelasi ideologis adalah untuk membandingkan remake sebelumnya dari cerita yang sama. Ada tiga (atau, sebenarnya empat, dengan cerita aslinya) versi dari I Am Legend: novel Richard Matheson dari 1954; versi pertama film-nya, The Last Man on Earth (judul Italia: L’Ultimo uomo della Terra, 1964, Ubaldo Ragonadan Sidney Salkow), dengan Vincent Prince: versi kedua, The Omega Man (1971, Boris Sagal), dengan Charlton Heston; dan yang terakhir, I Am Legend (2007, Francis Lawrence), dengan Will Smith. Versi pertama film, bisa dibilang adalah yang paling bagus, dan pada dasarnya masih setia dengan versi novelnya. Konsep dasarnya cukup dikenal – sebagaimana promosinya pada remake tahun 2007: “Manusia terakhir….tidak sendiririan.” Cerita ini adalah fantasi lain dari menyaksikan ketidakhadiran kita sendiri: Neville, korban selamat satu-satunya dari bencana dari bencana yang sudah membunuh semua orang kecuali dirinya, berkeliaran di sebuah jalanan kota yang kosong – dan segera menemukan bahwa dia tidak sendirian, bahwa makluk yang mengalami mutasi menjadi mayat-hidup [living dead] (semacam vampir) menguntit dia. Tidak ada paradoks dari slogan: meskipun dia adalah manusia terakhir yang hidup tapi dia tidak sendiri – yang tersisa bersama dia adalah mayat-hidup. Dalam istilah Lacan, mereka adalah a yang menambahkan dirinya kepada saya dari manusia terakhir. Seiring dengan jalannya cerita, diketahui bahwa sejumlah orang yang tertular telah menemukan cara untuk menahan penyakit itu agar tidak menyebar; namun orang yang ‘masih hidup’ itu tampak tidak ada bedanya dengan vampir yang sebenarnya pada siang hari, ketika mereka sama-sama tidak bergerak ketika tidur. Mereka mengirim seorang wanita bernama Ruth untuk memata-matai Neville, dan kebanyakan interaksi mereka berfokus pada pertarungan internal Nevill antara paranoia dia yang mendalam dan harapannya. Akhirnya, Neville melakukan test darah terhadap Ruth, membongkar siapa sejatinya dia, sebelum dia memukul Neville hingga pingsan dan melarikan diri. Beberapa bulan kemudian, para mayat hidup menyerang Neville dan membayang hidup-hidup sehingga dia bisa dieksekusi di depan semua orang di depan masyarakat yang baru itu. Sebelum eksekusi, Ruth memberi dia amplop berisi pil sehingga dia tidak akan merasa sakit ketika di eksekusi. Neville akhirnya menyadari bahwa para mayat-hidup itu menganggap dia sebagai monster: seperti halnya vampire dianggap sebagai monster legendary yang memburu manusia untuk dihisap darahnya, Neville menjadi figur mistis yang membunuh baik vampire maupun mayat-hidup ketika mereka tengah tertidur. Dia adalah legenda seperti halnya dulu dengan vampir. Perbedaan utama dari versi pertama film ini dengan novelnya adalah perubahan di akhir cerita: di versi novel, si tokoh utama (disini namanya Morgan) mengembangkan obat untuk Ruth di lab-nya; beberapa jam kemudian, saat malam menjelang, dia diserang oleh para mayat-hidup, dimana dia kabur, namun akhirnya ditembak mati di sebuah gereja dimana istrinya dikuburkan.
Versi kedua dari film, The Omega Man, mengambil latar di Los Angeles, dimana sekelompok pemberontak albino yang menamakan diri mereka “Keluarga” berhasil selamat dari serangan wabah, yang menjadikan mereka mutan albino yang sensitif terhadap cahaya yang terang, dan mempengaruhi pikiran mereka dengan delusi psikotis akan kebesaran. Meskipun memberontak, para anggotanya satu persatu mulai meninggal, tampaknya karena mutasi dari wabah itu. Keluarga dipimpin oleh Matthias, bekas penyiar televisi terkenal di Los Angeles; dia dan pengikutnya percaya bahwa ilmu modern, dan bukannya kelemahan dari kemanusiaan, yang menyebabkan nasib buruk mereka. Mereka telah menarik diri ke gaya hidup retro, menerapkan gambaran dan teknologi abad pertengahan, lengkap dengan jubah hitam panjang, obor, busur dan panah. Dalam pandangan mereka, Neville, simbol terakhir dari sains dan ’pemakai roda’, harus mati. Adegan terakhir menunjukkan sisa korban manusia yang selamat pergi dari situ dengan memakai mobil setelah Neville yang sedang sekarat memberi mereka satu botol serum darah, yang berguna untuk memulihkan kemanusiaan.
Pada versi terakhir, yang berlangsung di Manhattan, seorang wanita yang muncul menemui Neville (disini bernama Anna, ditemani seorang bocah bernama Ethan dan datang dari suatu tempat di Selatan – Maryland dan Sao Paolo disebut) mengatakan padanya bahwa Tuhan telah mengirim dia untuk mengajak Neville ke koloni dari korban selamat di Vermont. Neville menolak untuk mempercayai dia, mengatakan bahwa tidak mungkin ada Tuhan di dunia yang didera penderitaan dan kematian massal seperti itu. Ketika para mayat-hidup menyerang rumahnya saat malam datang dan menembus pertahanannya, Neville, Anna dan Ethan mundur kedalam laboratorium ruang bawah tanah, mengunci diri mereka di dalam lab dimana disana ada seorang wanita yang sudah tertular sedang dipakai oleh Neville sebagai eksperimen. Mendapati bahwa penanganan yang terakhir ternyata berhasil menyembuhkan si wanita, Nevill menyadari bahwa dia harus mencari cara untuk membagikan serum temuannya kepada para korban yang lain sebelum mereka semua terbunuh. Setelah mengambil darah dari si pasien dan memberikannya kepada Anna, dia mendorong Anna dan Ethan ke sebuah lubang lama dan mengorbankan dirinya dengan memakai granat tangan, membunuh semua mayat-hidup yang menyerang mereka bersamanya. Anna dan Ethan melarikan diri ke Vermont dan mencapai koloni para korban selamat yang dijaga ketat. Dalam suara latar penutup, Anna menyatakan bahwa obat dari Neville memungkinkan kemanusiaan untuk selamat dan membangun kembali kehidupan, dan menyatakan dia sebagai legenda, sosok seperti Kristus yang mengorbankan dirinya untuk menebus kemanusiaan.
Regresi ideologis gradual disini bisa kita saksikan dalam bentuk klinis-nya yang paling murni. Perubahan utama (antara versi film pertama dan kedua) mengalami perubahan radikal dalam makna dari judulnya: paradoks aslinya (si tokoh utama sekarang menjadi legenda bagi para vampire, sebagaimana dulunya vampir bagi manusia) hilang, sehingga pada versi terakhir, si toko utama adalah legenda dari manusia yang selamat di Vermont. Yang dihancurkan di dalam perubahan ini adalah pengalaman ’multikultural’ otentis yang dimaksudkan oleh makna dari judul aslinya, realisasi dari tradisi kita sendiri tidak lebih baik dari pada apa yang tampak kepada kita sebagai tradisi eksentrik dari yang lain, realisasi yang dirumuskan dengan bagus oleh Descartes yang, di dalam karyanya Discourse of Method, menulis bagaimana, dalam salah satu perjalanan yang dia lakukan, dia mengenali bahwa ’semua yang sentimennya sangat berbeda dengan kita tidak selalu barbar atau liar, tapi mungkin memiliki nalar yang sama hebat atau bahkan lebih hebat dari kita.” Ironinya adalah bahwa dimensi ini lenyap justru di masa kita sekarang, dimana toleransi multikultural telah diangkat sebagai ideologi resmi.[8]
Mari kita ikuti regresi ini langkah demi langkah. Versi pertama film dikaburkan oleh kesimpulannya: bukannya meninggal karena dibakar sebagai legenda, kematian tokoh utama menggambarkan akar-nya di dalam komunitasnya yang hilang (gereja, keluarga). Wawasan ’multikultural’ yang kuat dalam kesementaraan latar belakang kita karena itu disini diperlemah. Pesan terakhirnya bukan lagi pertukaran posisi (kita adalah legenda seperti halnya vampir dulu legenda bagi kita), yang membuat abyss dari ketidak-berakaran kita bisa kita terima, tapi keterikatan kita yang tidak bisa dihilangkan terhadap akar tradisi kita. Versi kedua dari film ini melengkapi penghilangan dari topik legenda ini dengan mengganti fokus kepada para korban manusia yang selamat menjadi bisa bertahan karena penemuan obat penyembuh wabah itu oleh tokoh utama. Penggantian ini menyusun ulang film ini sehingga memenuhi topik standar dalam hal ancaman terhadap kemanusiaan dan lolosnya dia di menit terakhir. Namun sebagai elemen positif, paling tidak kita mendapat sedikit dosis anti-fundamentalisme liberal dan saintisme tercerahkan, menolak hermeunitis obskurantis yang mencari ’makna mendalam’ dari bencana. Versi terakhir menjadi gong penutup, membalik keadaan dan secara terbuka memilih fundamentalisme religius. Dari awal sudah ada indikasi dari koordinat geo-politik dari kisah ini: oposisi antara New York yang penuh dosa dengan Vermont yang layaknya surga lingkungan yang murni, masyarakat berpagar yang dilindungi oleh tembok dan penjaga keamanan, yang semakin diperparah dengan bergabungnya pendatang baru dari daerah Selatan yang fundamentalis yang selamat melewati New York yang berantakan. Pergeseran yang serupa juga terjadi terkait dengan agama: klimaks ideologis pertama dari film ini adalah momen keraguan seperti-Job dari Neville (Tidak mungkin ada Tuhan melihat besarnya bencana yang terjadi) yang berbeda dengan kepercayaan fundamentalis dari Anna bahwa dia adalah instrumen dari Tuhan yang dikirim ke Vermont dalam sebuah misi yang maknanya masih belum jelas baginya. Pada momen terakhir film, sesaat sebelum kematiannya, Neville berubah pikiran dan mengadopsi perspektif fundamentalis Anna dengan memakai identifikasi Kristologis: Anna dikirim kepadanya sehingga dia bisa memberi Anna serum yang akan dia bawa ke Vermont. Dosanya akibat keraguan yang dia rasakan karena itu ditebus dan kita mendapat situasi yang persis kebalikan dari versi asli buku: Neville menjadi legenda, tapi legenda bagi kemanusiaan baru yang kelahirannya menjadi mungkin akibat temuan dan pengorbanannya.
Kasus yang lebih menarik adalah dua versi dari 3:10 to Yuma, versi asli dari Delmer Daves (1957) dan remake dari James Manigold (2007). Hubugan antara keduanya paling tepat digambarkan oleh perubahan judul dalam bahasa Jerman dari film itu (yang sesuai aturan harus memakai judul baru untuk peredaran lokal) yang menyebut versi pertama Zachl bis drei und bete – hitung sampai tiga dan berdoa [Count to Three and Pray], dan remake-nya Tadeszug nach Yuma – Kereta-Kematian ke Yuma [Death-Train to Yuma]. 3:10 to Yuma berkisah tentang seorang petani miskin (bernama Evans) yang, demi $200 yang sangat dia perlukan untuk menyelamatkan ternaknya dari kekeringan, menerima tawaran pekerjaan untuk mengawal seorang bandit (Wade), yang kepalanya dihargai mahal, dari hotel dimana dia ditahan ke stasiun kereta yang akan membawanya ke Yuma. Disini kita dapati cerita klasik tentang kerumitan etika; di sepanjang film, tampaknya bahwa petani itu sendiri yang mengalami kerumitan, terbuka dari godaan dalam gaya dari High Noon yang lebih terkenal (yang tidak layak). Semua yang sudah berjanji untuk membantu meninggalkan dia ketika mereka menemukan bahwa hotelnya sudah dikepung oleh anggota geng yang bertekad untuk membebaskan bos merekal; bahndit yang dipenjara sendiri beberapa kali mengancam dan mencoba menyuap si petani. Namun pada adegan terakhir, secara retropektif merubah secara keseluruhan persepsi kita tentang film ini: dekat dengan kereta, yang sudah meninggalkan stasiun, Wade dan Evans akhirnya berhadap-hadapan sementara seluruh anggota geng menunggu saat yang tepat untuk menembak petani itu dan membebaskan bos mereka.
Pada momen yang tegang ini, ketika situasi tampak buruk bagi Evans, Wade tiba-tiba berpaling kepadany dan berkata: ”Percaya padaku, ayo kita melompat ke gerbong lain!” Singkatnya, yang benar-benar mengalami kebimbangan adalah bandit itu sendiri, agen godaan yang tampak jelas: pada akhirnya setelah mengatasi integritas dari si petani, dia mengorbankan dirinya sendiri bagi Evans.
Di dalam remake dari James Manigold 2007, putra Evans yang sudah beranjak remaja menemani ayahnya untuk membantu menuntaskan misinya; keberanian Evans membuat reputasinya dimata putranya menjadi pulih. Pada momen terakhir, ketika mereka mencapai kereta, anggota geng Wade menembak mati Evans: Wade dibebaskan, tapi dia menyerahkan pistolnya kepada anggota gengnya dan membolehkan Will untuk menggiring dia ke dalam kereta. Pergeseran penekanan terkat dengan cerita aslinya disini dobel. Pertama, pergeseran itu berfokus pada duel antara test ketahanan moral antaraWade dan Evans menjadi hubungan ayah dan anak; si ayah takut untuk tampak lemah, sehingga keseluruhan upayanya dilakukan guna memulihkan otoritas paternal-nya di mata anaknya – mengikuti formula Oedipal, cara terbaik untuk melakukan itu adalah meninggal dan kembali dalam bentuk Nama, otoritas simbolik, sehingga memungkinkan si anak untuk mengambil tempatnya yang seati. Jauh dari sosok yang integritas etisnya di uji, Wade sekarang direduksi menjadi peran sebagai ’mediator menghilang’ dalam transferensi otoritas paternal. Ada satu aspek yang tampak menentang analisis ini: apakah perubahan hati Wade tidak terlalu ditekankan di dalam remake – dia tidak hanya membantu Evans, dia bahkan menyerhkan pistolnya kepada anak buahnya dan melenyapkan mereka? Tapi dimensi tindakan etis yang mendahului perubahan ini disini di tumpulkan oleh over-penekanannya: apa yang di dalam versi aslinya merupakan keputusan sementara, sebuah tindakan yang ’sesuatu didiriku yang lebih dari diriku’ sekarang menjadi benar-benar sadar merubah posisinya yang tidak lagi mentransformasi identitas subyektif dari agen yang terlibat, dan karena itu kehilangan karakternya sebagai sebuah tindakan.[9]
[1] Kita semua tahu ‘permainan imitasi’ yang terkenal dari Alan Turing, didesain untuk menguji apakah sebuah mesin bisa berpikir: kita berkomunikasi dengan dua tampilan komputer, menanyakan pertanyaan apapun yang mungkin terpikir; dibalik salah satu tampilan, ada manusia yang mengetik jawabannya, sementara dibalik tampilan yang lain, ada mesin. Kalau, berdasar jawaban yang kita dapat, kita tidak bisa membedakan mesin dan manusia, maka, menurut Turing, kegagalan kita membuktikan bahwa mesin bisa berpikir. Tapi apa yang kurang begitu diketahui adalah, dalam formulasi awalnya, tes itu bukan untuk membedakan manusia dari mesin, tapi antara pria dan wanita. Kenapa penggantian yang aneh dari perbedaan seksual menjadi perbedaan antara manusia dan mesin ini dilakukan? Apakah ini hanya akibat dari eksentrik-nya Turing atau karena homoseksualitas-nya? Menurut sejumlah pengamat, poinnya justru untuk mempertentangkan kedua eksperimen: keberhasilan imitasi dari tanggapan wanita oleh pria (atau sebaliknya) tidak akan membuktikan apapun, karena identitas gender tidak tergantung pada urutan dari simbol, sementara imitasi yang berhasil dari manusia oleh mesin akan membuktikan bahwa mesin ini bisa berpikir, karena ’berpikir’ akhirnya adalah cara yang tepat untuk mengurutkan simbol. Tapi bagaimana jika solusi dari enigma ini ternyata jauh lebih sederhana tapi radikal? Bagaimana jika perbedaan seksual tidak sekedar fakta biologis, tapi sebagai yang Real dari antagonisme yang menentukan kemanusiaan, sehingga begitu perbedaan seksual dihapuskan, maka manusia praktis menjadi tidak-terbedakan dari mesin?
[2] Dengan cara yang sama, terkait dengan debat yang terus berlanjut tentang pelayanan kesehatan di AS, kita perlu membedakan antara tingkat ‘terbentuk’ dari pengeliruan empiris (seperti tuduhan absurd bahwa reformasi pelayanan kesehatan dari Obama akan mengarah pada pembentukan ’komisi kematian’), dan tingkat ’pembentuk’ dari ancaman terhadap kebebasan memilih yang memberitahu keseluruhan medan dari serangan terhadap Obama. Belum lagi pembedaan Benjaminian antara kekerasan terbentuk (tindakan kekerasan empiris di dalam masyarakat) dan kekerasan pembentuk (kekerasan yang terkandung di dalam kerangka institusional masyarakat itu sendiri).
[3] Silvia Aleini, ”Israeli film relives Lebanon war from inside tank,” Reuters, 8 September 2009.
[4] Disini saya bergantung kepada tulisan yang luar biasa dari Andrej Nikolaidis, Odresujoca laz, Ljubjanski darvisk, 28 Agustus 2008 (dalam bahasa Slovenia). Nikolaidis, generasi muda penulis Montenegrin, dituntut oleh Emir Kusturica yang secara skandal dituntut karena menulis teks yang mengkritik dukungan Kusturica terhadap nasionalisme Serbia yang agresif.
[5] Kita perlu ingat cerita serupa tentang Lacan: mereka yang kenal dia secara personal, mengamati bagaimana perilaku dia sebagai pribadi, ketika dia tidak sedang menjaga imej public-nya, kaget begitu mengetahui bahwa dia adalah sosok yang persis sama seperti yang terlihat di depan publik, dengan semua perilaku sopan yang menggelikan.
[6] Saya berhutang kepada Bernard Keenan untuk ide ini.
[7] Ada film Soviet awal (karya Vladimir Gardin berjudul, A Spectre Haunts Europe, dari 1922) yang secara langsung menggambarkan Revolusi Oktober memakai istilah dalam cerita Poe.
[8] Dalam rangka memperkuat toleransi antara warga Albania dan Serbia di Kosovo, pasukan PBB mengontrol poster yang didistribusikan kepada penduduk dengan sebuah foto dua ekor anjing dan kucing, duduk berdampingan dengan bersahabat, dilengkapi dengan pesan: "Kalau mereka bisa hidup dengan damai bersama, kalian juga bisa!“ Kalau pernah ada contoh rasisme multikultural, inilah salah satunya: sebagaimana kita tahu, dalam realitasnya, kucing dan anjing tidak saling mentoleransi, dengan pengecualian di sirkus atau tempat lain dimana mereka dilatih untuk itu – sehingga orang Albania dan Serbia secara implisit diperlakukan sebagai dua spesies hewan yang berbeda yang sudah dilatih dengan sesuai untuk mentolerir kedekatan mereka satu sama lain.
[9] Untuk memperparah keadaan, dua detil lebih lanjut merusak momen terakhir dari film. Ketika anggota geng Wade menembak mati Evans dan lalu memberi Wade senjatanya, Wade sekilas melirik ke gagang pistol, melihat pahatan Salib di satu sisi dan kemudian berganti posisi, dengan dingin dan cepat membunuh semua anggota gengnya, seolah campur tangan Ilahi mendorong dia untuk menghianati para penyelamatnya. Kemudian di detik terakhir, ketika kereta itu menuju Yuma tanpa Wade di dalamnya, dia bersiul kepada kudanya diluar stasiun kereta, yang lantas mulai mengejar kereta – petunjuk jelas bahwa Wade jelas-jelas sudah merencanakan untuk kabur, dan semua akan berakhir dengan baik untuknya.
Gila Winarko
BalasHapus