Senin, 17 Oktober 2011

Jamban, Jembut dan Ideologi

Kawan,
Banyak yang bilang bahwa sekarang sudah tidak ada ideologi, karena masa-masa pertarungan ideologi sudah habis dengan ambruknya sosialisme pada 1990an, dan kapitalisme menjadi satu-satunya kekuatan politico-ideologis yang berjaya. Eits, tapi tunggu dulu, jangan keburu mengambil kesimpulan. Sebab ternyata, menurut Zizek, bahkan persoalan bentuk jamban dan potongan jembut wanita saja sudah merupakan ranah dimana sebuah perebutan makna ideologi.
"Jembut yang tumbuh liar dan acak-acakan menunjukkan perilaku spontan alami dari kaum hippies; kaum yuppies lebih suka prosedur disipliner ala taman di Prancis (bentuknya adalah cukuran rapi di sisi yang dekat paha, sehingga yang tersisa adalah alur tipis di tengah dengan garis potongan yang rapi); sedangkan untuk perilaku punk, vaginanya dicukur bersih dan dihiasi dengan anting (yang biasanya ditindikkan ke clitoris)"
Postingan ini merupakan saduran atas bab pertama dari The Plaque of Fantasies, terbitan Verso tahun 1997 (2nd edition dengan kata pengantar baru terbit pada 2008). Buku ini, mungkin, merupakan salah satu buku Zizek yang paling terkenal, atau membuat Zizek dikenal secara luas, karena bahasan yang cukup ringan dan mengena soal ideologi, termasuk soal jamban dan jembut itu, termasuk di bagian lampiran, deskripsi mendetail tentang seksualitas, serta semakin menegaskan gaya tulisan Zizek yang sangat khas, misalnya, bisa ndakik-ndakik mbahas tentang filsafatnya Emmanuel Kant, untuk kemudian tanpa peringatan, terjerembab membahas cunnilingus, masih dalam tarikan nafas satu kalimat yang sama, atau seperti contoh diatas, model potongan jembut wanita dan hubungannya dengan triade semiotika dari Levi-Strauss. Termasuk pemakaian istilah Zizek yang lugas dan blak-blakan, misalnya, tahi [shit], bukannya tinja [excrement].
Bagi kawan yang berniat memulai membaca Zizek, sehemat saya, buku ini kayaknya bakal jadi pilihan yang paling baik sebab cukup mudah terbaca dan terpahami diantara sekian corpus Zizek, disamping juga mudah mencarinya, salah satunya disitus yang judulnya cukup provokatif, fuck verso dan mantan gigapedia ini.

Monggo di-Enjoy
Kawan,



Wabah Fantasi

Tujuh Tabir Fantasi

‘Yang sebenarnya ada diluar sana’
Ketika, beberapa tahun silam, terbongkarnya dugaan perilaku ‘immoral’ Michael Jackson (hasrat seksualnya atas bocah laki-laki) menghantam pencitraan lugu ala Peter Pan-nya, melebihi perbedaan (atau pertimbangan) seksual dan rasial, sejumlah pengamat mengajukan sebuah pertanyaan yang lugas: apaan sih yang diributkan? Bukankah apa yang disebut ‘sisi gelap Michael Jackson’ ini sudah dari dulu terpampang didepan mata kita, dalam berbagai klip video yang mengiringi album terbarunya, yang selalu diwarnai dengan kekerasan ritual dan perilaku seksual yang nyeleneh (yang begitu gamblang dalam video Thriller dan Bad)? Bawah-sadar itu adanya diluar, bukan tersembunyi di kegelapan – atau, mengutip slogan serial X Files: Yang sebenarnya ada diluar sana.’
Fokus atas eksternalitas material ini terbukti begitu manjur dalam menganalisa bagaimana fantasi terhubung dengan antagonisme inheren dari sebuah laku ideologis. Bukankah dua desain arsitektur yang berlawanan dari Casa del Fascio (kantor cabang partai Fasis), pastiche neo-imperial garapan Adolfo Coppede (1928) dan rumahkaca transparan yang sangat modern besutan Giuseppe Teragni (1934-36) menampilkan, dengan pembandingan sederhana, kontradiksi ingeren dari proyek ideologis Fasis yang dalam waktu bersamaan memperjuangkan korporatisme organis pra-modern dan mobilisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari semua kekuatan sosial guna melayani laju modernisasi? Contoh yang lebih bagus kita dapati dalam proyek besar gedung2 publik di Uni Soviet pada 1930an, yang diatas gedung bertingkatnya dipajang sebuah patung raksasa dari ideal Manusia Baru: dan dalam rentang beberapa tahun berikutnya, berbagai upaya untuk meratakan gedung perkantoran (yang menjadi tempat sebenarnya untuk bekerja) semakin menjadi-jadi, sehingga menjadikannya semakin menyerupai alas kaki bagi patung raksasa itu – bukankah fitur eksternal, material dari desain arsitektural ini membeber ‘yang sebenarnya’ dari ideologi Stalinis, dimana manusia dilihat hanya sekedar instrumen, dikorbankan sebagai sekedar alas kaki bagi hantu Manusia Baru masa depan, sebuah monster ideologis yang melindas manusia beneran dibawah kakinya? Paradoksnya adalah bahwa jika siapapun di Uni Soviet pada 1930an secara terbuka mengatakan bahwa visi Manusia Baru Sosialis adalah sebuah monster ideologis yang melindas orang sungguhan, mereka pasti akan segera ditangkap. Namun, saat itu justru diperbolehkan, bahkan didorong, untuk menyatakannya melalui desain arsitektural...lagi, ‘yang sebenarnya ada diluar sana’. Jadi yang penting disini adalah tidak hanya bahwa ideologi juga menampilkan yang dianggap sebagai strata extra-ideologis dari kehidupan sehari-hari, namun bahwa materialisasi dari ideologi dalam materialitas eksternal ini menampilkan antagonisme inheren tidak bisa diakui melalui formulasi yang eksplisit oleh ideologi: inilah bawaan ideologi, agar dia bisa berfungsi ‘secara normal’, dia harus menampilkan semacam ‘kesaruan’, dan menampilkan antagonisme inherennya dalam eksternalitas dari eksistensi materialnya.
Eksternalitas ini, yang secara langsung mengandung ideologi, juga kerap ditampilkan sebagai ‘utilitas’. Dengan kata lain: dalam kehidupan sehari-hari, ideologi berlangsung dalam apa yang tampaknya sebagai rujukan yang netral dan murni utilitas – kita harus ingat bahwa dalam ranah simbolis, ‘utilitas’ berfungsi sebagai sebuah kerangka refleksif; yaitu, dia selalu meliputi pengakuan utilitas sebagai sebuah makna (misalnya orang yang hidup di kota besar dan memiliki sebuah Land Rover tidak sekedar tengah menjalani kehidupan yang lugas dan ‘membumi’; justru, dia memiliki mobil semacam itu guna menandakan bahwa dia tengah menjalani hidup dalam perlambang perilaku yang lugas dan ‘membumi’). Jawara tanpa tanding dari analisa semacam itu, tentu saja, adalah Claude Levi-Strauss, yang triade semiotika memasaknya (mentah, panggang dan rebus) menunjukkan bagaimana ternyata makanan juga bisa berfungsi sebagai ‘pakan pikiran’. Kita semua mungkin ingat salah satu adegan dari lakon Phantom of Liberty karya Bunuel dimana relasi antara makan dan be’ol diputar balik: orang duduk di jamban disekeliling meja, ngobrol santai, dan ketika mereka mau makan, dengan sopan mereka akan tanya kepada tuan rumah, “Dimana tempat untuk...itu?” dan menyelinap ke sebuah ruangan kecil di belakang. Nah, untuk melengkapi pandangan Levi-Strauss, kita bisa membayangkan bahwa tahi juga bisa berfungsi sebagai sebuah matiere a-panser: bukankah tiga jenis jamban juga berfungsi sebagai padanan dari triade masaknya Levi-Straussian?
Di jamban tradisional Jerman, lubang dimana tahi hilang setelah disiram air adalah tepat di depan, sehingga tahi-nya bisa kita baui dan periksa apakah ada jejak penyakitnya; sedangkan jenis jamban yang umumnya kita temui di Prancis, sebaliknya, lubangnya terletak jauh di belakang – sehingga, tahi-nya bisa segera lenyap; dan terakhir, jamban anglo-saxon (Inggris atau Amerika) menjadi semacam sintesis, titik tengah antara kedua kutub tersebut – klosetnya penuh air, sehingga tahi-nya bisa mengambang didalamnya – terlihat, namun tidak untuk diperiksa. Tidak heran jika Erica Jong, dalam sebuah pembahasan yang tenar tentang berbagai jenis jamban di Eropa di awal karyanya yang setengah terlupakan, Fear of Flying, dengan nada mengolok-olok menyatakan: ‘Toilet Jerman sebenarnya adalah kunci untuk memahami kengerian dari Third Reich. Orang yang bisa membangun toilet semacam ini tentu saja mampu melakukan apapun’. Disini terang bahwa tidak satupun ragam model tersebut bisa dianggap sebagai murni faktor fungsi: persepsi ideologis tertentu terkait bagaimana subyek seharusnya terhubung dengan pembuangan yang berasal dari dalam tubuh kita jelas terlihat disini – dan lagi, untuk yang ketiga kalinya, ‘yang sebenarnya ada diluar sana’.
Hegel adalah salah satu dari orang pertama yang menafsirkan triade geografis Jerman-Prancis-Inggris sebagai ekspresi dari tiga perilaku eksistensial yang berbeda: sifat yang penuh refleksi dari bangsa Jerman, ketergesaan revolusioner bangsa Prancis, pragmatisme utilitarian Inggris yang moderat; dalam hal sikap politik, triad ini bisa dibaca sebagai Jerman yang konservatis, Prancis yang radikalis-revolusioner dan Inggris yang liberal-moderat; dalam hal aspek sosial yang menonjol, ini adalah metafisika dan puitis-nya Jerman versus Politis-nya Prancis dan ekonomis-nya Inggris. Rujukan terhadap jamban ini tidak hanya memungkinkan kita memahami triad serupa itu dalam domain yang paling pribadi dalam hal melakukan buang air besar, namun juga guna memahami mekanisme dasar dari triade ini dalam tiga perilaku yang berbeda dalam menyikapi masalah buang air; ketertarikan kontemplatif yang ambigu; upaya tergesa-gesa untuk secepat mungkin menyingkirkan ampas yang tidak menyenangkan; pendekatan pragmatis yang memperlakukan ampas sebagai sekedar obyek biasa yang perlu dibuang dengan cara yang wajar. Karena itu gampang saja bagi kalangan akademis untuk mengklaim kala diskusi ilmiah bahwa kita hidup di dunia pasca-ideologi – begitu dia ke kamar kecil setelah diskusi, dia langsung terjerembab dalam ideologi. Keterkaitan ideologis dari rujukan terhadap utilitas semacam ini juga diperkuat oleh karakter dialogis mereka; jamban Anglo-Saxon mendapatkan maknanya hanya melalui relasi diferensialnya terhadap jamban Prancis dan Jerman. Kita menemui beragamnya jenis jamban ini sebab ada semacam ampas traumatis yang masing-masing dari mereka ingin singkirkan – menurut Lacan, salah satu ciri yang membedakan manusia dari binatang adalah justru bahwa dengan manusialah urusan membuang tahi ini jadi sebuah masalah.
Yang sama juga berlangsung dalam beragam cara mencuci piring; di Denmark, misalnya, seperangkat fitur yang detil membedakan dengan cara mencuci piring di Swedia, dan kalau kita cermat segera akan terlihat bahwa perbedaan ini dipakai untuk menunjukkan persepsi dasar dari identitas nasional bangsa Denmark, yang muncul akibat pembedaan dari identitas nasional bangsa Swedia.[1] Dan – untuk menjangkau domain yang lebih privat – bukankah triade semiotika serupa bisa kita temui dalam tiga potongan jembut organ kelamin wanita? Jembut yang tumbuh liar dan acak-acakan menunjukkan perilaku spontan alami dari kaum hippies; kaum yuppies lebih suka prosedur disipliner ala tamannya orang Prancis (bentuknya adalah cukuran rapi di sisi yang dekat paha, sehingga yang tersisa adalah alur tipis di tengah dengan garis potongan yang rapi); dalam perilaku punk, vaginanya dicukur bersih dan dihiasi dengan anting (yang biasanya ditindikkan ke clitoris). Bukankah ini juga versi lain dari triade semiotika Levi-Strussian, jembut acak-acakan ‘mentah’, jembut rapi ‘panggang’ dan jembut gundul ‘rebus’? Kita bisa lihat bagaimana bahkan perilaku yang paling privat terkait tubuh kita sendiri dipakai untuk membuat sebuah sikap ideologis.[2] Nah, bagaimana eksistensi material ideologi ini terkait dengan kesadaran kita? Merujuk pada karya Moliere, Tartuffe, Henri Bergson pernah menyatakan bagaimana Tartuffe itu lucu bukan karena sikap hipokrit-nya, tapi karena dia terjebak dalam kedok hipokrit-nya sendiri:
Dia meleburkan dirinya sendiri dengan begitu baik kedalam peranan sebagai seorang yang hipokrat sehingga dia memainkannya, dengan setulusnya. Itulah dan hanya dengan cara itulah dia menjadi lucu. Tanpa ketulusan yang murni material ini, tanpa perilaku dan ujaran yang, lewat latihan hipokrit yang lama, yang membuat baginya hal itu adalah sebuah cara bertindak yang alami, Tartuffe akan sekedar menjadi pengganggu.[3]
Ungkapan ‘ketulusan yang murni material’ dari Bergson ini persis menyerupai konsep Althuserrian soal Aparatus Ideologis Negara – yaitu ritual eksternal yang mematerialkan ideologi; subyek yang menjaga jarak terhadap ritual ini tidak sadar akan fakta bahwa ritual itu sebenarnya sudah mendominasi dirinya dari dalam. Seperti yang dikatakan Pascal, jika kamu beriman, berlututlah, berlakulah seolah kamu beriman, dan iman akan datang dengan sendirinya. Inilah juga apa yang sebenarnya dimaksud oleh kalangan Marxian sebagai ‘fetisisme komoditas’: dalam kesadaran-dirinya yang eksplisit, seorang kapitalis adalah seorang nominalis yang berakal sehat, namun ‘ketulusan yang murni material’ dari perilakunya menampilkan ‘kerumitan teologis’ dari ranah komoditas.[4] Ritual ideologis eksternal dari ‘ketulusan yang murni material’ inilah, dan bukan keyakinan dan hasrat terdalam dari kedalaman subyek, yang merupakan locus sejati dari fantasi yang menopang sebuah bangunan ideologis.
Penjelasan standar atas bagaimana fantasi bekerja dalam ranah ideologi adalah berupa skenario-fantasi yang mengaburkan kengerian yang sebenarnya dari sebuah situasi: bukannya mempertegas antagonisme yang melintasi masyarakat kita, kita justru bersembuyi dalam konsepsi masayarakat sebagai sebuah Keutuhan organis, yang diikat oleh daya solidaritas dan kerjasama... Namun disini juga, akan jauh lebih produktif untuk mencari makna dari fantasi ini ditempat yang tidak banyak dicari orang: dalam situasi yang marjinal dan, sekali lagi, yang tampaknya murni utilitarian. Coba kita ingat petunjuk keselamatan sebelum terbang di pesawat – bukankah ini ditopang oleh skenario fantasmis akan bagaimana jadinya jika pesawatnya sampai jatuh? Setelah mendarat dengan mulus di air (ajaibnya, selalu dianggap pesawat akan jatuh di air!), setiap penumpang memakai pelampung dan, seolah di pantai wisata, meluncur ke air dan mulai berenang, layaknya sebuah pengalaman liburan pantai dengan arahan dari pelatih renang yang sudah berpengalaman. Bukankah ‘pelunakan’ dari bencana ini (pendaratan yang mulus, pramugari dengan gaya seolah menari dengan anggun mengarahkan ke tanda pintu keluar...) juga adalah ideologi dalam bentuknya yang paling murni? Namun, penjelasan psikoanalitis akan fantasi tidak bisa direduksi kepada sebuah skenario-fantasi yang mengaburkan kengerian sebenarnya dari sebuah situasi; pertama, hal yang cukup jelas yang perlu ditambahkan disini adalah bahwa relasi antara fantasi dan horor dari yang Real yang dia tutupi adalah jauh lebih ambigu dibandingkan yang tampak: fantasi menyembunyikan horor ini, namun pada saat yang sama juga menciptakan apa yang dia ingin sembunyikan ini, dia ‘merepresi’ titik acuan (bukankah gambaran dari Hal yang paling menakutkan, dari monster raksasa dari dasar laut hingga angin topan yang melanda, adalah penciptaan fantasmis par excellence?).[5] Karena itu, kita perlu memperjelas pengertian soal fantasi ini dengan serangkaian ciri.[6]


[1] Lihat Anders Linde-Laursen, ‘Small Differences – Large Issues’, The South Atlantic Quarterly 94:4 (fall 1995), pp. 1123-44.
[2] Kasus yang paling gamblang – yang justru karena alasan itulah, saya tanggalkan – adalah, tentu saja, konotasi ideologis dari berbagai posisi hubungan seksual; yaitu, pernyataan ideologis implisit yang kita buat dengan ‘nge-seks’ dalam posisi tertentu.
[3] Henri Bergson, An Eassay on Laughter, London: Smith, 1937, p.83
[4] Untuk penjelasan lebih detil soal paradoks fetisisme, lihat bab 3 dibawah
[5] Contoh dari rujukan konservatisme soal muasal mengerikan dari kekuasaan (larangannya untuk tidak membahas muasal ini, yang justru menciptakan horor dari ‘kejahatan primordial’ yang didalamnya terbentuk kekuasaan itu) persis menggambarkan fungsi yang sangat ambigu dari Kengerian terkait dengan tabir-fantasi: horor bukan sekedar dan tak diragukan lagi adalah yang Real mengerikan yang ditutupi oleh tabir-fantasi – caranya menarik perhatian kita, menampilkan diri sebagai sesuatu yang ditolak dan, karena itulah, semakin menjadi titik rujukan utama. Kengerian juga bisa berfungsi sebagai tabir itu sendiri, sebagai sesuatu yang dampak menariknya menutupi sesuatu yang ‘lebih mengerikan daripada horor itu sendiri,’void atau antahonisme primordial’. Misalnya, bukankah gambaran setan antisemit terhadap Yahudi, persekongkolan Yahudi, penyebutan akan Horor terbesar yang, justru, adalah tabir fantasmis yang memungkinkan kita untuk menghindari konfrontasi dengan antagonisme sosial?
Logika dari horor yang berfungsi sebagai sebuah tabir yang menutupi void juga bisa dicontohkan oleh daya luar biasa dari motif sebuah kapal yang mengambang sendirian, tanpa seorang kapten atau awak kapal yang menyetirnya. Ini adalah horor terngeri, bukan dongeng hantu didalam mesin, tapi mesin di dalam hantu: tidak ada agen persekongkolan dibaliknya, mesin itu memang berjalan sendiri, sebagai sebuah alat yang kontijen dan buta. Di level sosial, inilah juga yang ditutupi oleh istilah konspirasi Yahudi atau Masonis: horor di masyarakat sebagai mekanisme kontinjen yang tutup mata mengikuti langkahnya, terjebak dalam lingkaran setan dari antagonismenya.
[6] Kita bisa menafikan ciri yang mendapati status biasa: tanggapan atas pertanyaan ‘Siapa, dimana, bagaimana subyek (yang berfantasi) terpatri kedalam narasi fantasmis?’ jauh dari jelas; bahkan ketika subyek itu sendiri muncul dalam narasinya, itu tidak secara otomatis menjadikannya titik identifikasinya – yaitu, dia tidak mungkin niscaya ‘mengaitkan dengan dirinya sendiri’. (di level yang berbeda, yang sama juga berlaku dalam identitas simbolis obyek; cara terbaik untuk memperjelas paradoksnya ini adalah untuk menata ulang kalimat disclaimer standar dari daftar pemain di penghujung film; ‘Kemiripan apapun terhadap peristiwa dan orang murni hal yang tidak disengaja’; gap antara $ dan S, antara void dari subyek dan ciri penanda yang mewakilinya, berarti bahwa ‘setiap kemiripan dari subyek terhadap dirinya adalah hal yang murni tidak disengaja’. Tidak ada kaitan apapun antara (fantasmis) nyata dari subyek dan identitas simbolisnya; keduanya sepenuhnya tidak bisa dibagi). Sehingga fantasi menciptakan beragam ‘posisi subyek dimana dia bebas bergerak dan berfantasi, untuk berganti identifikasinya. Disini, ‘bicara soal (posisi subyek yang beragam dan tercerai berai’, dengan asumsi bahwa posisi subyek ini sepenuhnya berbeda dari void yang ada di diri subyek

1 komentar:

  1. aku tidak mengerti.. mungkin, ada yang salah dengan terjemahannya, atau kau tidak memasukkan pikiranmu yang sederhana untuk menjelaskan teks ini

    BalasHapus