Selasa, 01 November 2011

Zizek dan Bokep (bag 1)

Kawans,
Apa sih yang gak bisa diteori-in Zizek? Kayaknya bener pas ada yang bilang bahwa hampir gak ada bidang kehidupan (sosial dan kultural) manusia yang tak tersentuh oleh ketajaman (atau kadang, ke’cabul’an) analisa Zizek. Melanjutkan postingan soal Jembut, Jamban dan Ideologi, bagian lain dari buku The Plaque of Fantasy juga berisi bagian interlude dengan judul the Sublime to the Ridiculous: The Sexual Act in Cinema, yang mengupas habis soal adegan seksual di film, mulai dari film porno sampai Hollywood dan film noir-nya David Lynch.
Aku inget banget guyonan jaman kuliah dulu tentang tipe cewek diliat dari reaksinya ketika bersenggama layaknya dalam film bokep; ada yang tipe tidak konsisten, dengan ungkapan khas, yesss…noooo…; ada tipe religius dengan ekspresi khas,, oh my goddd… Membaca TPoF ini, aku jadi ngerasa begitu dangkal pemahaman teori sehingga sama sekali gak kebayang bahwa berbagai pose dan ekspresi bintang Be-eF yang sedang beraksi ternyata mengandung banyak pesan teoritis.
Lihat saja kutipan tentang bagaimana analisa Zizek soal posisi dan ekspresi si aktris di film porno ini, begitu cabul…
“…ekspresi wajah si aktris selama persetubuhan, misalnya, mengikuti empat aturan ekspresi: (1) cuek, yang ditandai dengan ndak ngereken [jawa], dengan tampang bosan memandang kosong kedepan, mengunyah permen karet, menguap [jawa: angop]...; (2) perilaku ‘instrumental’, seolah si subyek sedang berada di tengah sebuah pekerjaan berat yang menuntut konsentrasi tinggi: mata menatap tajam, ke area dimana ‘sesuatu’ sedang berlangsung, mulut yang mengatup menandakan upaya untuk berkonsentrasi...; (3) tatapan provokatif ke arah mata si pasangan pria, yang pesannya adalah: ‘Ayo lagi, apa cuman segini aja mampumu?’; (d) klimaks yang ekstatis, dengan mata setengah tertutup.
Tapi dalam tarikan paragraf yang sama, tiba-tiba begitu seriyus, dan dalam banget, menemukan paralel antara ekspresi bintang bokep dengan konsepsi Lacanian empat soal diskursus…
Secara tidak sengaja, tidakkah keempat ekspresi ini juga berkaitan dengan empat diskursus yang dijelaskan oleh Lacan: bukankah perilaku yang pertama, yang acuh-tak-acuh adalah sifat dari si Master? Bukankah perilaku yang kedua, yang ‘instrumental’ juga menandai diskursus Universalitas yang terkandung dalam pengetahuan teknis, savoir-faire [serba tahu]? Bukankah perilaku yang ketiga, yaitu perilaku provokasi histeris dan ngotot, juga merupakan perilaku si Master? Dan akhirnya, bukankah posisi ke empat, klimaks yang ekstatis, juga mewakili apa yang disebut Lacan ‘destitusi subyektif’, identifikasi dengan obyek-penyebab hasrat yang menandai posisi dari seorang analis?
Rasanya, bab ini agak kepanjangan untuk dipampang jadi satu tulisan, karena itulah tak potong jadi dua bagian. Oh ya, biar juga berasa fair bagi kawan2 penyuka bokep, disclaimer dari tulisan Zizek yang ini adalah bahwa anda mungkin akan kehilangan kenikmatan awal yang anda rasakan ketikan nonton bokep abis mbaca tulisan Zizek ini, karena aku ngalamin, habis itu nonton bokep, pasti akan nginget2 posisi apa yang sedang dilakukan bintangnya dalam ranah teoritis Zizek…





Dari yang sublim sampai yang konyol: Adegan Seks dalam Film

Dalam esainya, ‘Humour’, Freud menyebut perbedaan antara bawah-sadar dan superego guna menjelaskan perbedaan antara guyonan dan humor, dua bahan dari sebuah banyolan: sebuah guyonan adalah ‘sumbangan komik terhadap bawah-sadar’, sedangkan humor adalah ‘sumbangan komik melalui agensi superego’.


[1] Hubungan antara guyonan dan bawah-sadar kelihatannya mudah dipahami: dalam guyonan, pemikiran pra-sadar sesaat terjebak kedalam revisi bawah-sadar; namun, bagaimana kita bisa memahami hubungan antara humor dan superego, ‘tuan yang kejam’ dari ego ini yang biasanya dikaitkan dengan lawan dari sifat yang kejam, sadistis dan suka menyalahkan?
‘Netralitas unggul’ dari superego terletak dalam posisi mustahil dari meta-bahasa murni, seolah subyek bisa menarik diri dari situasinya sendiri dan mengamati dirinya dari luaran. Pemisahan ini adalah pemisahan antara superego dan ego: ketika subyek mengambil posisi netral ini, egonya, dengan semua masalah dan emosi yang dikandungnya, tiba-tiba dipahami sebagai sesuatu yang remeh dan ndak-penting, quantite negligeable... Orang Inggris, yang dianggap mempunyai keahlian khusus terhadap perilaku acuh terhadap kesulitan yang dia hadapi sendiri, menonjol dalam urusan humor yang ‘remeh-temeh’; ingat adegan dari film Hitchcok, The Trouble with Harry dimana seorang pria menyeret jasad Harry disepanjang jalan setapak di hutan, dan menjumpai seorang wanita tua yang dengan ramah bertanya ‘Ada masalah apa?’; dan didekat jasad itu, mereka janjian untuk kencan pertama. Jarak inilah yang memisahkan humor dari banyolan, atau dari apa yang sekedar lucu. Dengan kata lain: kebalikan dari seseorang yang terjebak dalam topengnya dan tak bisa terpisah dari topeng itu (seperti halnya cerita tentang seorang lelaki tua yang tengah berjemur, dan demi mengusir bocah-bocah yang berlarian dan bercanda di sekelilingnya, dan bilang kepada bocah-bocah itu: ‘Main ke sana lho, gak tahu ya kalau disana sedang ada bagi-bagi permen gratis...’, dan lantas, setelah mikir-mikir sejenak, bergumam sendiri: ‘Lha, ngapain aku masih disini? Aku juga mau dapat permen’ dan segera mengikuti bocah-bocah itu...), dalam humor, seseorang tetap menjaga jarak yang mungkin tidak diduga – dia berlaku seolah sesuatu yang kita tahu persis memang ada, sebenarnya tidak ada.
Disinilah letak humor dari karya Bunuel, That Obscure Object of Desire: sepasang kekasih tua (Fernando Rey) berlaku seolah dia tidak nyadar jika sebenarnya pasangannya terdiri dari dua wanita (dimainkan oleh dua aktris). Jika memakai tafsir feminis yang biasanya, si pria ini begitu dibutakan oleh gambaran fantasmis-nya akan si wanita sehingga dia tidak mampu mengenali fakta bahwa sebenarnya ada dua orang wanita. Namun, kita mungkin perlu membandingkan ini dengan dua tafsir, yang mungkin lebih produktif: (1) dia tahu bahwa sebenarnya ada dua wanita, namun tetap saja dia berlaku seolah hanya ada satu wanita, sebab fantasinya-lah yang menentukan tindakannya, terlepas dari pengetahuan sadarnya. Yang kita dapati disini adalah paradoks fundamental dari konsepsi Marxian tentang fetisisme komoditas: ‘fetisisme komoditas tidak ditujukan pada teori ekonomi politik (borjuis), tapi pada serangkaian anggapan yang menentukan struktur dari justru yang ‘real’-nya praktek ekonomi dari pertukaran pasar – secara teori, seorang kapitalis berpegang pada nominalisme utilitarian, namun dalam prakteknya (praktek pertukaran) dia menganut ‘kegenitan teologis’ dan berlaku sebagai seorang idealis yang spekulatif... (2) Gimana jika sebenarnya memang hanya ada satu wanita, dan si subyek pria sekedar memproyeksikan kepada si wanita pemisahan dikotomis antara wanita jalang dan sosok keibuan yang setia, yang menentukan persepsi patriarkis pria atas wanita, sehingga, disebabkan karena kerangka fantasmis dari koordinat ideologis, wanita tunggal dan yang sama (keliru)dipahami sebagai dua wanita.
Tidak diragukan lagi tokoh terbesar dari humor dalam film (yang berlawanan dengan guyonan Marx bersaudara) adalah karya Monty Phython.[2] Sebuah episode dari karya mereka, Meaning of Life, sedang berlangsung di sebuah apartemen. Dua orang dari perusahaan ‘transplantasi organ tubuh asli’ memencet bel dan meminta agar si suami mengembalikan organ hatinya. Si suami yang malang lantas menolak; mereka hanya berhak mengambil hatinya jika dia sudah meninggal: tapi kedua orang pegawai itu meyakinkan si suami bahwa toh dia memang akan meninggal kalau hatinya diambil... Kedua orang itu lantas menjalankan urusannya, membetot organ tubuh yang berlumuran darah melalui sayatan dari tubuh si korban dengan santainya. Si istri yang tak tahan melihat adegan itu meninggalkan ruangan dan menuju dapur; salah seorang pria menyusulnya dan menuntut agar si istri juga menyerahkan hatinya. Dia menolak; namun, tiba-tiba seorang pria keluar dari kulkas dan mengantarnya keluar dari dapur di sebuah trotoar menyeberangi jagat raya, bergumam tentang miliaran bintang dan planet, dan penataannya didalam jagat raya. Setelah si istri menyadari betapa kecil dan remehnya masalah yang dia hadapi dibandingkan dengan jagat raya, dia dengan senang hati bersedia mendonorkan organ hati-nya... Bukankah adegan ini secara harfiah bisa disebut Kantian? Bukankah ini mengingatkan kita akan konsep Kantian tentang sublim yang menekankan bagaimana ‘dihadapan besarnya ragam di dunia ini melenyapkan arti penting diriku sebagai mahluk binatang, yang harus mengembalikan bahan penyusun dirinya kepada planet ini (sebagai sekedar noktah di jagat raya), bahan yang untuk sesaat dimungkinkan oleh sebuah daya yang dahsyat’?[3]
Sentimen atas yang sublim ini, tentunya, muncul dari gap antara nullity seseorang sebagai mahluk alami dan daya tak-terbatas dari dimensi spiritualnya. Di masa Victorian-akhir, mekanisme ini bisa menjelaskan dampak ideologis dari sosok tragis ‘Manusia Gajah’, seperti sub-judul dari salah satu buku yang menulis tentang kisahnya (A Study in Human Dignity); adalah distorsi yang mengerikan dan memusingkan dari tubuhnya yang membeber harga diri dari kehidupan internalnya. Dan bukankah logika yang sama juga menjadi faktor yang krusial akan sukses besarnya karya Stephen Hawking, A Brief History of Time? Akankah kegalauannya akan nasib semesta, upayanya untuk ‘membaca pikiran Tuhan,’ akan tetap menarik minat publik jika bukan karena fakta bahwa gagasan itu lahir dari sebuah tubuh yang lumpuh, pincang yang menjalin komunikasi dengan dunia hanya melalui gerakan kecil salah satu jarinya dan bicara melalui suara impersonal yang diatur oleh mesin? Namun, gap yang sama juga bisa menimbulkan dampak kekonyolan: ‘Du Sublime au ridicule, il n’y a qu’un pas!’, ujar si Orang Inggris. ‘Oui, le pas de Calais’, tukas si Orang Prancis. Karya Monty Phython, Meaning of Life adalah semacam pembalasan atas guyonan ini: film ini secara simultan adalah bersifat sublim dan konyol – kekonyolan dalam gaya humor.
Lantas bagaimana kiranya makna seks dalam pembacaan semacam ini? Sepanjang seks adalah sesuatu yang mengganggu, menyasarkan, seks juga menyerukan munculnya pengamat yang netral, dimana seseorang mungkin menganggapnya sesuatu yang remeh dan konyol. Kita cuma perlu mengingat foto publisitas yang terkenal dimana Hitchcock dengan nyantainya bersin, padahal didekatnya Grace Kelly dan Cary Grant sedang berpelukan dengan hangat... Dalam episode lain, soal pendidikan seks, dalam karya Monty Python, Meaning of Life, secara sempurna menggambarkan bukan hanya kemustahilan posisi berjarak yang netral dari tindakan si pelaku sendiri, namun juga fakta bahwa superego adalah perintah untuk menikmati. Ada sebuah cerita tentang hal ini. Seorang guru menanyai murid-muridnya tentang bagaimana cara merangsang vagina; kaget karena tidak tahu jawabannya, para murid menghindari tatapan gurunya dan menjawab pertanyaan itu dengan mengguman, sementara si guru memarahi mereka karena tidak belajar sebelumnya di rumah. Lantas, dengan bantuan istrinya, dia mempraktekkan kepada murid-muridnya bagaimana cara penis masuk ke vagina; bosan dengan pelajaran itu, seorang murid melirik keluar melalui jendela, dan mengundang si guru menanyainya dengan nada sarkas: “Kalau boleh tahu, apa ada yang menarik di luar?”... Perhatian si guru terhadap para murid yang ogah-ogahan ini begitu nyeleneh, sebab ini menampilkan, secara gamblang, kebenaran yang biasanya tersembunyi dari sebuah situasi yang normal: enjoyment itu bukan sebuah kondisi yang begitu saja dan spontan, tapi ditopang oleh dorongan superego – seperti terus menerus ditekankan oleh Lacan, konten sejati dari perintah-superego adalah ‘Enjoy!
Mungkin, cara termudah untuk memahami paradoks superego adalah perintah seperti ‘Suka tidak suka, Enjoy aja sendiri!’ Ambil contoh klasik sosok ayah kebanyakan, yang merencanakan liburan rutin ke rumah Nenek di hari minggu, yang setelah beberapa kali tertunda, merasa kesal, berseru kepada anak-anaknya: ‘Awas kalau kalian ndak Enjoy!’ Pas liburan, memang lumrah merasakan dorongan untuk merasa enjoy; kita ‘harus bersenang-senang – dan akan merasa bersalah kalau tidak menikmatinya’. (Pada masa ‘happy 50s’ pemerintahan Eisenhower, dorongan ini ditingkatkan ke ranah kewajiban patriotis harian – atau seperti dikatakan salah satu pejabat White House: ‘Tidak bersenang-senang hari ini sama saja dengan un-American.’) Orang Jepang mungkin telah menemukan cara yang unik untuk mengatasi kebuntuan superego ini: mereka dengan berani menghadapi paradoks ini dengan secara langsung memasukkan ‘kesenangan’ sebagai bagian dari tugas harian seseorang, sehingga, ketika kegiatan bersenang-senang yang resmi dan rutinnya kelar, dia bisa terbebas dari kewajiban dan akhirnya bebas untuk benar-benar bersenang-senang, beneran nyanyai dan enjoy... Sehingga, disini ideal yang mustahil dicapai adalah prostitusi yang paripurna, dimana kepuasan seksual dan bisnis benar-benar bertemu: dengan melakukannya demi uang (dengan cara yang sepenuhnya tereksternalkan, tanpa secara subyektif terlibat), kita pada saat yang sama memuaskan perintah superego untuk enjoy, sehingga ketika kita selesai menjalankan tugas, kita akhirnya benar-benar terbebaskan, baik dalam hal tekanan untuk mendapat uang guna keperluan hidup, maupun dari kekangan superego.
Pilihan untuk menjelaskan paradoks enjoyment ini didasarkan pada perintah superego, sehingga kebebasan pada akhirnya bukanlah kebebasan untuk enjoy, tapi terbebas dari enjoyment, adalah apa yang memungkinkan kita memasukkan Monty Phython dalam jajaran penulis ‘over-kompromis’ yang mengganggu ideologi yang berlaku dengan cara menerimahnya secara lebih harfiah dibandingkan dengan yang seharusnya.[4] Ketika Malebranche ‘membeber yang sebenarnya’ dari (kebenaran nyeleneh) Kristianitas (bukannya Kristus yang turun ke Dunia untuk membebaskan manusia dari dosa, akibat warisan kegagalan Adam; justru sebaliknya, Adam memang harus gagal agar Kristus bisa turun ke bumi dan menjalankan penebusan), tidakkah sikapnya ini sepenuhnya sebangun dengan prosedur Monty Phython? Tidakkah Monty Phyton, lagi dan lagi, tengah menjelentrehkan paradoks struktural dan korslet yang sama dengan apa yang melambari hasrat kita?
Sehingga, humor adalah salah satu cara bertahan menghadapi dimensi traumatis dari yang Real yang melambari laku seksual. Tentu saja, ketika masa jadul Hayes Code, dari 1930an hingga 1950an, bahkan rujukan ‘wajib’ terhadap laku seksual adalah hal yang terlarang (di kamar, tempat tidur dari suami dan istri harus terpisah; ketika pasangan ditampilkan di kamar, mereka harus memakai piyama lengkap...) Didalam kondisi sensor yang ketat semacam ini, satu-satunya kemungkinan adalah manfaatin, lewat cara yang reflektif, justru lubang yang menandai ketiadaan (dan karena itu, di level yang berbeda, kehadiran) dari laku itu sendiri. Contoh terbaik dari penerapan ala komik dari gap ini bisa kita temui dalam karya Preston Sturges, Miracle in Morgan Creek – keajaiban yang sebenarnya adalah bagaimana film ini bisa lolos sensor. Kisahnya berlangsung di seputar sebuah lubang, sebuah ketiadaan utama (apa yang terjadi di malam ketika Betty Hutton menghadiri pesta perpisahan untuk para serdadu?) – bagian denoument-nya [adegan pamungkasnya] yaitu lahirnya si bayi kembar, jelas menyiratkan telah terjadinya orgy gerudukan (gang bang) dengan enam pria yang menemaninya malam itu. Sehingga, puncak dari kejadian di malam itu (dari saat Betty Hutton kepalanya terbentur lampu, hingga sampai menjelang fajar keesokan harinya ketika dia terbangun di mobil yang tengah mengarah ke rumahnya), adalah apa yang oleh Lacan disebut sebagai aphanisis, penghapusan-diri sebuah subyek ketika dia terlalu dekat dengan fantasinya sendiri.[5] Dengan liberalisasi tahun 1960an, ketika setidaknya rujukan samar-samar kepada laku seksual mulai bisa diterima, kita mendapati tiga pola dari rujukan ini: komikalitas, saru, dan pathos. Ketiga pola ini sesuai dengan tiga jenis obyek yang kita temui dalam skema seminar Lacan Encore.[6]
Pertama, coba kita jelaskan dulu skema-nya itu sendiri. Tiga sudut dari segitiga mewakili tiga dimensi fundamental yang, menurut Lacan, menyusun semesta manusia: yang Real (realitas traumatis yang sejati, yang menolak simbolisasi), yang simbolis (ranah bahasa, dari struktur dan komunikasi simbolis), dan yang imajiner (ranah citra yang dengannya kita mengidentifikasikan diri, dan yang menangkap perhatian kita). ‘J’ dibagian tengah itu adalah segitiga yang melambangkan Jouissance, jurang [abyss] enjoyment yang eksesif/traumatis yang mengancam akan menenggelamkan kita, dan yang merupakan tempat yang  selalu berusaha keras dijauhi oleh subyek (kayak karakter di kisah karya Poe, A Descent into the Maelstrom, yang nyaris saja terseret kedalam maelstrom). Ketiga obyek yang ada di sisi segitiga menjelaskan tentang tiga cara untuk ‘menjinakkan’ atau ‘menormalkan’ Sesuatu yang mengerikan di tengah ini, untuk memahaminya dengan cara yang tidak lagi mengancam : S(A) adalah penanda dari Liyan yang Kosong, dan menandai inkonsistensi inhgeren dari ranah simbolis, fakta bahwa terdapat sesuatu (joussance) yang menolak simbolisasi dan melahirkan gap dan rekahan dalam ranah simbolis; a kecil, objet petit a dalam konsepsi Lacanian, yaitu obyek parsial yang memicu pergerakan metonimis dari hasrat (hidung, kaki, rambut...dalam kesaruan); Phi besar adalah citra yang menarik yang mewakili Sesuatu yang mustahil [impossible Thing] (misalnya, sosok femme fatale dalam ranah film noir).[7]
Matrix dari semua obyek ini menjelaskan tentang tiga pola yang digambarkan dalam laku seksual; komikalitas, nyeleneh dan ekstasi yang konyol. Dalam mode komik, gap yang memisahkan laku seksual dari interaksi sosial sehari-hari kita bisa diterima; dalam yang cabul, fokusnya dialihkan kepada sebuah obyek parsial yang berperan sebagai pengganti dari laku yang mustahil-takterjelaskan itu sendiri (bagi Lacan, contoh utama dari obyek parsial semacam itu adalah tatapan itu sendiri; apa yang pada akhirnya menarik bagi si cabul adalah tatapan yang terpaku oleh Sesuatu traumatis tertentu, yang selalu tidak bisa diterima, layaknya tatapan Medusa); akhirnya, kita bisa mencoba untuk membangun citra yang menarik guna menerima laku dari pathos.
Mari kita, sejenak, kembali ke masalah komikalitas. Laku seksual dan komik: kayaknya kedua konsep ini saling menolak secara radikal – bukankah laku seksual itu mewakili momen perjumpaan yang paling intim, saat dimana subyek yang terlibat tidak pernah mengemban perilaku sebagai pengamat eksternal yang ironis? Namun justru karena alasan itulah, laku seksual mau tidak mau tampak setidaknya tampak konyol bagi mereka yang tidak terlibat di dalamnya; dampak komikal ini muncul dari keterputusan antara intensitas laku itu sendiri dan ketenangan dari kehidupan normal sehari-hari. Bagi tatapan ekstenal yang ‘waras’, berlangsung sesuatu yang mau tidak mau lucu (bahkan bodoh, eksesif) dalam sebuah laku seksual – disini mustahil bagi kita untuk tidak teringat dengan kalimat penolakan Earl of Chesterfield terhadap laku seksual: ‘Kesenangannya sesaat, posisinya konyol dan ongkosnya gila-gilaan.’[8]
Sehingga laku seksual dalam dimensi ekstatisnya bisa dibilang memang tak-terjelaskan. Itu tidak sekedar urusan ekstasi semata yang berada diluar aturan yang tidak akan bisa pernah dipahami oleh tatapan eksternal yang berjarak. Perjumpaan antara aturan (simbolis) dan pathos, secara definisi adalah perjumpaan yang gagal: tidak hanya mengikuti aturan tidak akan pernah menjamin tercapainya dampak yang diinginkan; kadang, cara yang sebaliknya, penyerahan diri secara bulat kepada ekstasi, adalah bahkan lebih kacau. Setiap buku panduan seks yang bagus akan mengajari kita bahwa dalam kasus impotensi, hal terburuk yang bisa dipatuhi oleh seorang pria adalah mengikuti perintah ‘Lupakan semua aturan dan rileks! Santai saja!’; yang akan jauh lebih efektif adalah menanggapinya dengan cara yang murni instrumental, memperlakukannya sebagai sebuah tugas berat yang harus dikerjakan, dan membahaya dari tempat yang berjarak dan pura-pura, bahkan kalau perlu menjabarkannya di kertas layaknya sebuah rencana pertempuran (apakah aku perlu menjilatimu di bawah situ? Berapa jari yang harus ku masukkan? Pas begitu, mulut sama jarimu harus ngapain?...) – lantas, kita mungkin bisa berharap akan tanpa sadar tiba-tiba saja, sudah terlibat, tergerak... Dimensi yang ‘real’ terletak dalam ketidakpastian sikap yang radikal ini: mengikuti aturan mungkin memang bisa merusak resepnya, namun itu mungkin juga akan memperbesar kemungkinan keberhasilannya; sementara menyerahkan diri kita kepada situasi ekstasi mungkin akan manjur, namun itu mungkin juga akan membuat sesuatunya tampak konyol. Dengan kata lain, poinnya adalah bukan bahwa laku seksual itu adalah semacam sesuatu-di-dirinya [Thing-in-itself] ala Kantian yang berada diluar representasi, tapi bahwa laku seksual itu dengan sendirinya selalu-sudah terpecah dari dalam. Dengan kata lain, yang ‘komik’ ini dalam artian tertentu adalah laku seksual ‘itu sendiri’, ‘di-dirinya’, sepanjang tidak ada cara ‘normal’ untuk melakukannya, dan sepanjang cara kita melakukannya secara definisi adalah urusan proses belajar, tentang aturan yang kita tiru dari liyan. Jadi maksud saya adalah bahwa perbedaan [split] antara laku seksual dan representasinya akan mempengaruhi laku itu sendiri – yang karena itulah kenapa selalu mungkin bahwa laku ini, tiba-tiba saja, juga tampak konyol bagi mereka yang melakukannya...
Bukti terbaik dari ketidak-terjelasan ini justru bisa kita dapatkan persis dari pornografi, yang pura-puranya ‘menampilkan semuanya’; ongkos yang harus dibayar oleh maksud ini adalah relasi ‘komplementaritas’ (dalam makna kuantum fisik dari istilah ini) antara narasi dan laku seksualnya: kongruen antara narasi film (terbebernya jalan cerita) dan penyajian langsung dari laku seksual adalah hal yang secara struktural mustahil dilakukan: kalau kita pilih salah satu, maka kita nicaya akan kehilangan yang lain. Paradoks berikutnya dari pornografi, kalau secara logis kita mengikuti ‘komplementaritas’ antara narasi dan laku ini, adalah bahwa genre ini, yang dianggap menggambarkan hal yang paling spontan dari kegiatan manusia, justru mungkin adalah hal yang paling diatur, bahkan sampai detil yang paling intim: ekspresi wajah si aktris selama persetubuhan, misalnya, mengikuti empat aturan ekspresi: (1) cuek, yang ditandai dengan ndak ngereken [jawa], dengan tampang bosan memandang kosong kedepan, mengunyah permen karet, menguap [jawa: angop]...; (2) perilaku ‘instrumental’, seolah si subyek sedang berada di tengah sebuah pekerjaan berat yang menuntut konsentrasi tinggi: mata menatap tajam, ke area dimana ‘sesuatu’ sedang berlangsung, mulut yang mengatup menandakan upaya untuk berkonsentrasi...; (3) tatapan provokatif ke arah mata si pasangan pria, yang pesannya adalah: ‘Ayo lagi, apa cuman segini aja mampumu?’; (d) klimaks yang ekstatis, dengan mata setengah tertutup. Secara tidak sengaja, tidakkah keempat ekspresi ini juga berkaitan dengan empat diskursus yang dijelaskan oleh Lacan: bukankah perilaku yang pertama, yang acuh-tak-acuh adalah sifat dari si Master? Bukankah perilaku yang kedua, yang ‘instrumental’ juga menandai diskursus Universalitas yang terkandung dalam pengetahuan teknis, savoir-faire [serba tahu]? Bukankah perilaku yang ketiga, yaitu perilaku provokasi histeris dan ngotot, juga merupakan perilaku si Master? Dan akhirnya, bukankah posisi ke empat, klimaks yang ekstatis, juga mewakili apa yang disebut Lacan ‘destitusi subyektif’, identifikasi dengan obyek-penyebab hasrat yang menandai posisi dari seorang analis?
Antagonisme yang paling sulit dipertahankan dalam pornografi adalah bahwa dia menampilkan ‘kesatuan dari kebalikan’ dengan cara yang paling radikal: di satu sisi, pornografi meliputi eksternalisasi total dari pengalaman kenikmatan yang paling intim (melakukannya demi uang didepan kamera); di sisi lain, pornografi adalah, dalam hal ‘ketanpa-maluannya’, mungkin adalah genre yang paling utopian dari semua genre yang ada: dia bisa disebut ‘Surgawi’ dalam artian penundaan yang ringkih dan temporer dari pembatas yang memisahkan ranah privat/intim dari ranah publik.[9] Karena alasan inilah maka posisi pornografis adalah hal yang sulit dipertahankan: dia tidak bisa berlangsung terlalu lama, sebab dia bergantung pada semacam penundaan magis dari aturan malu yang menyusun ikatans sosial kita – sebuah ranah bisa dibilang utopis dimana keintiman bisa ditampilkan secara publik, dimana orang bisa bersenggama didepan liyan...
Dua aspek kunci dari pornografi adalah pengulangan dan tampang. Pertama, terdapat dorongan untuk terus mengulangi sebuah adegan yang sama lagi dan lagi, seolah untuk meyakinkan kita sendiri bahwa penundaan yang mustahil dari Liyan yang mengatur realitas (sosial) kita ‘beneran ada diluar sana’. Selain itu, gambar atau adegan yang kita lihat harus secara terbuka ‘menatap balik’ – dan disanalah letak aspek ‘ketanpa-maluan’nya. Inilah kenapa kita akan merasa malu jika menatapnya secara langsung – kita menghindari tatapan yang terpancar dari adegan pornografis; tatapan inilah yang membuat adegan itu cabul dan tanpa-malu, berbeda dengan gambar medis secara close-up dari organ seksual manusia. Gambar porno di tingkat dasar adalah seorang wanita yang memperlihatkan kemaluannya dan dengan tatapan mata yang berani; apa yang dia perlihatkan pada akhirnya adalah kekurangannya, ‘pengebirian’, seperti halnya pengebirian Farinelli (dalam film Corbiau), yang ‘tanpa-malu’ menatap massa yang, merasa malu, mengindari tatapannya – penontonlah, bukan si obyek, yang merasa malu... (Tidakkah kita juga menemui fenomena yang sama dalam adegan sehari-hari ketika seorang cacat atau gelandangan yang merasa puas oleh kegelisahan kita akibat kehadiran mereka, dan tanpa-malu menatap kita pada saat kita merasa malu dan menghindari tatapannya?)
Sehingga, adegan proto-pornografis tampak berlangsung dalam semacam ruang kurva; pasangan yang tengah bersetubuh mencondongkan tubuh mereka agar alat kelamin dan daerah erotis mereka terlihat oleh tatapan kamera, sehingga kadang kita bisa mendapat pemadatan anamorfis yang benar-benar Cubis dari beragam perspektif (si wanita menatap kamera, dan pada saat yang bersamaan menggeser punggungnya dan membuka pahanya, sehingga alat kelaminnya juga terlihat). Mata kamera disini adalah obyek-penyebab yang membelokkan ruang, pihak ketiga yang ‘merusak permainan’ (laku seksual yang ‘alami’ dimana pasangan terbuai secara langsung oleh pasangannya). Tentu saja, ilusinya disini adalah tanpa pihak ketiga ini, kita tidak akan merasakan ‘seks yang sepenuhnya’: salah satu cara menafsirkan konsep Lacan ‘il n’y a pas de rapport sexual’ [gak ada yang namanya hubungan seksual] adalah bahwa justru pihak ketiga yang tampaknya merusak permainan ini justru yang menyempurnakan enjoyment-nya – apa yang akan kita dapati tanpa pihak ketiga ini adalah sebuah adegan datar tanpa jouissance.
Enigma yang sebenarnya dari seksualitas pornografis terletak pada fakta bahwa kehadiran kamera tidak hanya tidak merusak jouissance, tapi justru mewujudkan jouissance itu: struktur paling mendasar dari seksualitas harus selalu terdiri dari semacam pembukaan kearah Pihak Ketiga, kearah ruang kosong yang bisa diisi oleh tatapan penonton (atau kamera) yang menyaksikan adegan itu. Adegan porno yang elementer ini (seorang wanita, berpose secara anamorpis, memperlihatkan alat kelaminnya kepada kamera sekaligus menatapnya) juga menemui penonton dengan (apa yang disebut Lacan) pemisahan antara mata dan tatapan dalam bentuknya yang paling murni: si aktris atau model menatap penonton mewakili mata, sementara lubang vagina yang bolong mewakili tatapan traumatis – dengan kata lain, dari bolongan inilah adegan yang disaksikan penontot ‘balas menatap’ kepadanya. Sehingga, tatapan disini tidak terletak ditempat yang kita duga (di mata yang balas menatap kita dari gambar) tapi dalam obyek/lubang traumatis yang memaku tatapan dan perhatian kita secara intens – tatapan mata si aktris disini, lebih sekedar, mengingatkan kita: ‘Kan, aku mengawasi kamu sedang melihat tatapanku...’


[1] ‘Humour’, dalam The Pelican Freud Library, Vol.14: Art and Literature, Harmondsworth: Penguin, 1985, p.432
[2] Disini saya mengambil penjelasan Alenka Zupancic, ‘The Logic of the Sublime’, The American Journal of Semiotics 9: 2-3, 1992, pp. 51-68
[3] Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, New York: MacMillan, 1956, p.166
[4] Untuk diskusi lebih detil tentang ‘overkompromisme subversif’ ini, lihat Bab 2 diatas
[5] Ketiadaan murni, lubang di tempat tindak seksual, juga bisa ditemukan dalam film Stalinis. Secara kebetulan, kita bisa menemui contoh yang bagus dari perilaku yang sama bahkan di film Hollywood, dalam film North Star (ditulis oleh Lillian Hellman): ketika si pasangan kolkhoz yang berbahagia (Anne Baxter dan Farley Granger) mengimpikan masa depan mereka bersama, mereka mendapati diri mereka dikelilingi oleh sekelompok cucu, bukan anak – generai pertama dari keturunan mereka diam-diam dilewatkan, disensor karena toh itu sudah berarti seks antara orang tua!
[6] Lihat Jacques Lacan, Le Seminare, livre XX: Encore, Paris: Editions du Seuil, 1975.
[7] Triade Phi yang sama, a dan $(A) jelas bisa dilihat dalam tiga film laris musim panas 1996 (Twister, Independence Day, Mission Impossible); di masing-masing film, sebuah obyek memberi bentuk kepada dimensi yang Real. Pusaran tornado di film Twister jelas adalah Phi, obyek mengerikan yang mewakili Sesuatu yang sebenarnya. Di dua kasus lainnya, meskipun tidak sejelas yang pertama, adalah mungkin lebih menarik. Dalam film Independence Day, kontak dengan alien dilakukan melalui virus yang ditanamkan di komputer mereka. Bukankah sebuah virus komputer – pihak ketiga penyusun, sebuah parasit yang membuat komputer tak-berfungsi, adalah sebuah ‘organ tanpa tubuh’ yang menyebabkan tubuh yang disusupi ‘kacau balau’ dan berfungsi secara tidak konsisten – menandakan yang Real dalam domain dunia-maya, yang Real qua $(A); dengan kata lain, bukankah virus komputer ini adalah sosok paripurna dari penanda inkonsistensi (komputer) Liyan, penanda yang menjelaskan intervensi dari Liyan besar dunia maya (aturan software) kehilangan konsistensinya? Yang simptomatis disini adalah istilah ‘virus’ itu sendiri, yang mewakili ancaman tertinggi di dunia maya maupun dalam ‘kehidupan nyata’ (dari virus ebola sampai AIDS).
Film Mission Impossible karya DePalma disini adalah emblematis bagi sensibilitas material baru dari sinema hari ini: di satu sisi, plot yang ultra-kompleks, dengan pembalikan ganda dan triple (agen yang seharusnya membongkar plot dan menyelesaikan kasus justru adalah penghianat yang sebenarnya), dengan beragam gadget teknologi (kaca yang membuat pandangan subyek bisa langsung dikirim, dsb); disisi lain, benar-benar korelatif terhadap plot yang over-kompleks ini, enjoyment yang tegas dari tekstur material – kehadiran permukaan yang mulus dimana setiap detil ragawi manusia atau binatang bisa menyebabkan kekacauan (seperti tikus yang tiba-tiba muncul di lubang udara atau tetesan keringat dalam adegan terkenal pencurian di gedung CIA) – dengan kata lain, semacam tekstur hiperealistis dimana  obyek material dirampas dari materialitas vulgar dari bau busuk dan korupsi, namun pada saat yang sama over-presen dalam kebersihannya, kemulusan fungsi dari modalitas etereal. Tikus di lubang angin dan tetes keringat bukan sekedar tubuh normal, namun secara persis, adalah objet petit a, semacam sisa/pengingat sublim dari reduksi tubuh vulgar dari mesin yang berfungsi dengan mulus. Tetes keringat yang jatuh dari kening Cruise ketika dia bergantung dari atap ruangan komputer CIA yang ultra-rahasia, dan mengancam akan membongkar upayanya terhadap detektor kalau sampai jatuh di lantai, tidak lagi merupakan ampas normal tubuh, tapi semacam penanda material etereal dari kehadirannya, yang benar-benar bersih dan transparan laksana kaca. (Kebalikan dari kehadiran ragawi spektral ini, tubuh dari spesialis komputer CIA yang muntah dan berkeringat adalah tubuh material kotor dari manusia pada umumnya)
[8] Milan Kundera melakukan pembalikan serupa dari sublim bodoh menjadi konyol. Bahkan sejak di novel pertamanya, The Joke, cinta masa muda dari si narator, yang sekarang adalah wanita dewasa, hendak bunuh diri, namun dia mengambil botol yang keliru, sehingga bukannya racun seperti yang dia maksud, dia malah menelan obat pencahar yang kuat – akibat dari tindakan bodohnya adalah dia harus lari ke jamban... Dalam novel terbarunya, La Lenteur, seorang ahli biologi dari Republik Ceko yang turut serta dalam sebuah simposium intenasional di Prancis setelah Sosialisme ambruk ingin memperkenalkan makalahnya dengan selintas ingatannya akan kengerian rejim totaliter: namun, pathos dari sambutannya membuatnya melupakan makalah ilmiahnya itu sendiri – dia turun dari podium setelah hadirin bertepuk tangan riuh mengikuti sambutan politik pendahuluannya yang memuja kebebasan...
[9] Untuk bagian ini, saya berhutang pada James McFarland, Princeton Univesity

2 komentar: