Minggu, 13 November 2011

Manifesto Subyek Cartesian - TS (pengantar)

Sesosok Hantu Tengah Membayangi Dunia Akademis Barat..., yaitu hantu subyek Cartesian. Semua kelompok akademis telah membentuk aliansi suci untuk mengusir hantu ini. Kelompok Obskurantis New Age dengan kalangan dekonstruksionis postmodern; kalangan teoritisi komunikasi Habermasian dengan pendukung pemikiran Being Heideggerian; para ilmuwan sains kognitif dengan kalangan Ekologis Radikal; kalangan (post)Marxist kritis dengan kaum feminis. Dimana ada orientasi akademis yang tidak mengalami dituduh oleh lawannya sebagai masih belum sepenuhnya meninggalkan warisan Cartesian? Dan mana ada kelompok yang tidak melontarkan tuduhan mendukung subyektivitas Cartesian terhadap lawannya yang mengkritik secara lebih ‘radikal, maupun lawannya yang reaksioner?

Kamerads,
Familier dengan tata kalimat diatas? Ya, mengambil gaya bahasa Manifesto Komunis, kalimat itu adalah kalimat pembuka dalam buku The Ticklish Subject (Verso, 1999), buku Zizek yang, bagi saya, merupakan titik balik posisi politik Zizek, dari pemikir Kiri jadul dan Idealisme Jerman yang medhok, ‘pengusung’ cultural studies dengan ketajamannya memakai konsepsi Lacanian untuk meneropong budaya populer, menjadi seorang pemikir yang radikal dan emoh dengan berbagai macam tabu intelektual (termasuk politik totalitarian!) Tidak tanggung-tanggung, Zizek dengan manifesto ‘Pemulihan Cartesian’ ini menantang semua orang sekampung, yaitu hampir semua aliran pemikiran yang bertajuk ‘pemikiran kritis’, sekaligus menegaskan pemisahan dan pemihakannya dengan sejumlah pemikir radikal lainnya.
Ernesto Laclau (yang bisa dibilang telah berjasa memberi Zizek tiket untuk penerbitan pertamanya dalam bahasa Inggris), juga Jacques Ranciere dan Etienne Balibar (dua orang pemikir neo-Marxist ternama), juga Alain Badiou (sejawat sesama santri psikoanalisa Milnerian) dan tidak ketinggalan, Judith Butler (pengusung subyek ‘post-seksual’ dan ‘nabi’nya multikulturalisme, hence cultural studies), disikatnya tanpa ampun. Sebuah posisi yang sangat beresiko, memang, karena para pemikir ini seharusnya bisa menjadi para sekutu alaminya diranah pemikir Kiri (dan kecuali Alain Badiou, akhirnya Zizek memang ‘berpisah jalan’ dengan sejumlah pemikir yang digasak Zizek disini).
Belakangan, pada tahun 2000, terbit buku berjudul, Contingency, Hegemony, Universality, yang juga ditulis bersama dengan Judith Butler (pemikir yang dalam buku ini juga disikat Zizek dalam hal posisi post-strukturalisnya) sebagai sebuah buku yang menampilkan perdebatan terbuka antar ketiga pemikir ini, dan secara berseloroh oleh Zizek disebut sebagai sebuah karya orgy. Perpisahan ini baru bisa ‘dirujukkan’ kembali pada tahun 2010 setelah kesemua pemikir diatas bersama Zizek secara keroyokan menulis buku The Idea of Communism.

Pengantar Ticklish Subject:
Sesosok Hantu Tengah Membayangi Dunia Akademis Barat...

...yaitu hantu subyek Cartesian. Semua kelompok akademis telah membentuk aliansi suci untuk mengusir hantu ini. Kelompok Obskurantis New Age (yang ingin mengatasi ‘paradigma Cartesian’ kearah sebuah pendekatan baru yang holistik) dengan kalangan dekonstruksionis postmodern (yang melihat bahwa subyek Cartesian adalah sekedar fiksi diskursif, efek dari mekanisme tekstual yang ter-desentralkan); kalangan teoritisi komunikasi Habermasian (yang menekankan pada pergeseran dari subyektivitas monologis Cartesian kepada intersubyektivitas diskursif) dengan pendukung pemikiran Being Heideggerian (yang menekankan pada ‘pelintasan’ horison subyektivitas modern yang berujung pada nihilisme yang tengah berkecamuk hari ini); para ilmuwan kognitif (yang mencoba untuk membuktikan secara empiris bahwa tidak ada yang unik dari Diri (Self), hanya sekedar pandemonium dari berbagai daya yang saling bertarung) dengan kalangan Ekologis Radikal [Deep Ecologist] (yang menyalahkan materialisme mekanis Cartesian karena telah menyediakan landasan filosofis bagi eksploitasi brutal terhadap lingkungan); kalangan (post)Marxist kritis (yang menekankan bahwa kebebasan ilusif dari subyek berpikir borjuis berakar pada pembagian kelas) dengan kaum feminis (yang menekankan bahwa apa yang mestinya adalah cogito tanpa-jenis kelamin [sexless] adalah sebenarnya sebuah formasi patriarkis laki-laki). Dimana ada orientasi akademis yang tidak dituduh oleh lawannya sebagai masih belum sepenuhnya meninggalkan warisan Cartesian? Dan mana ada kelompok yang tidak melontarkan tuduhan mendukung subyektivitas Cartesian terhadap lawannya yang mengkritik secara lebih ‘radikal, maupun lawannya yang reaksioner?
Ada dua hal yang bisa ditarik dari sini:
  1. Subyektivitas Cartesian terus diakui oleh semua kalangan akademis sebagai tradisi intelektual yang kokoh dan masih terus aktif.
  2. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi pendukung subyektivitas Cartesian untuk, dihadapan seluruh dunia, menjabarkan pandangan, tujuan, dan  kecenderungan mereka, dan menghadapi cerita tentang tetap dihidupkannya Hantu subyektivitas Cartesian ini justru dengan sebuah manifesto politik subyektivitas Cartesian itu sendiri.
Sehingga buku ini bermaksud untuk memulihkan subyek Cartesian, yang penolakan atasnya hari ini telah memicu sebuah pakta diam-diam dari semua kelompok yang terlibat dari kalangan akademis; sekalipun semua orientasi kelompok ini resminya saling bertarung dengan sengit (Habermasian versus dekonstruksionis, ilmuwan kognitif versus Obskurantis New Age...), mereka semua bersatu dalam hal penolakannya terhadap subyek Cartesian. Tentu saja poinnya adalah bukan kembali kepada cogito terselubung dimana konsep ini telah mendominasi pemikiran modern (subyek berpikir yang swa-transparan) tapi untuk memberi penjelasan terhadap kebalikannya yang terlupakan, kernel yang eksesif dan diingkari dari cogito, yang jauh dari gambaran pasif berupa Diri yang transparan. Ketiga bagian buku ini berfokus pada tiga bidang utama dimana subyektivitas saat ini tengah dipertaruhkan: tradisi Idealisme Jerman, filsafat politik post-Althusserian, pergeseran ‘dekonstruksionis’ dari Subyek kepada problema posisi-subyek yang multiple dan subyektivisasi/pen-subyek-an.[1] Setiap bagian akan dimulai dengan bab tentang penulis penting yang karyanyay mewakili contoh utama dari kritik terhadap subyektivitas Cartesian: bab berikutnya akan membahas tentang kelemahan dari konsepsi fundamental yang melandasi bab sebelumnya (subyektivitas dalam Idealisme Jerman; subyektivisasi politik; ‘kompleks Oedipus’ sebagai penjelasan psikoanalitis terhadap kemunculan subyek).[2]
Bagian I akan dimulai detil konfrontasi dengan upaya Heidegger untuk melintasi horison subyektivitas Cartesian modern. Lagi dan lagi, logika inheren dari proyek filosofisnya telah memaksa filsuf otentik yang membahas soal subyektivitas untuk mengartikulasikan momen ‘kegilaan’ eksesif tertentu yang inheren dalam cogito, yang lantas segera mereka coba untuk normalkan kembali (Kantian ‘Setan diabolik’ [diabolical Evil], Hegelian ‘malamnya dunia’ [night of the world], dan sebagainya). Yang jadi masalah dengan Heidegger adalah bahwa konsepsinya soal subyektivitas modern tidak memberi penjelasan terhadap ekses inheren ini – penjelasannya sekedar tidak ‘mencakup’ aspek dari cogito yang oleh Lacan dikatakan bahwa cogito adalah subyek dari bawah-sadar. Kekurangan fatal Heidegger ini jelas terlihat dalam kegagalannya memahami Kant ketika dia membahas tentang imajinasi transendental. Heidegger gagal memahami dimensi kunci dari imajinasi: aspek disruptif, anti-sintetis-nya, yang merupakan istilah lain dari abyss-nya kebebasan: kegagalan ini juga memberi penjelasan baru tentang pertanyaan lama soal keterlibatan Heidegger dengan Nazi. Nah, setelah pembahasan ini, bab kedua berupaya menjelaskan status subyektivitas dalam karya Hegel, berfokus pada kaitan antara konsepsi filosofis tentang refleksivitas dan peralihan refleksif yang menjadi ciri dari subyek (histeris) dari bawah-sadar.
Bagian II berisi pembahasan sistematis atas empat filsuf yang, dengan satu dan lain cara, memakai Althusser sebagai titik tolaknya, namun belakangan, melalui kritik terhadap Althusser, membangun teori subyektivitas politik mereka sendiri: teori hegemoni Laclau, teori egaliberte Balibar, teori mesentente Ranciere, dan teori subyektivitas sebagai kesetiaan terhadap Kebenaran-Event dari Badiou. Bab pertama akan berfokus pada upaya Badiou untuk merumuskan sebuah ‘politik kebenaran’ yang bisa menafikan posisi kelompok dekonstruksionis dan/atau postmodernis hari ini, dengan penekanan khusus pada terobosan-nya dalam membaca ulang St. Paul. Meskipun saya solider dengan upaya Badiou untuk meneguhkan dimensi universalitas sebagai kebalikan yang sebenarnya dari globalisme kapitalis, saya menolak kritiknya terhadap Lacan – yaitu, tesisnya bahwa psikoanalisa tidak menyediakan fomdasi bagi sebuah praktek politik baru. Bab berikutnyay akan menganalisa cara-cara dimana keempat penulis ini menyikapi posisi dominan dari kalangan ‘post-politik’ liberal-demokratis, yang merupakan model politik dari kapitalisme global hari ini, dimana setiap penulis menawarkan versi subyektivisasi politik masing-masing.
Bagian III membahas tentang kecenderungan dari pemikiran politik ‘postmodern’ hari ini yang, demi melawan hantu dari Subyek (transendental) ini, mencoba menekankan proliferasi membebaskan dari bentuk multiple subyektivitas – feminin, gay, etnis... Menurut orientasi ini, kita perlu meninggalkan tujuan mustahil berupa transformasi sosial global dan, justru, memfokuskan perhatian terhadap beragam bentuk penekanan subyektivitas partikular kita sendiri dalam ranah postmodern kita yang kompleks dan berserak, dimana pengakuan kultural menjadi hal yang lebih penting daripada perjuangan sosio-ekonomis – dengan kata lain, dimana cultural studies telah menggantikan kritik ekonomi politik. Versi yang paling mewakili dan persuasif dari teori ini, yang ekspresi praktisnya berwuju pada ‘politik identitas’ multikulturalis, adalah teori formasi gender secara performatif dari Judith Butler. Sehingga, bab pertama dari bab ini akan membahas secara detil perdebatan dengan karya Butler, berfokus pada aspek dari karyanya yang memungkinkan sebuah dialog produktif dengan psikoanalisis Lacanian (konsepsinya soal ‘keterkaitan erat’ [passionate attachment] dan peralihan refleksif yang menjadi penyusun dari subyektivitas). Bab terakhir akan secara langsung membahas tentang isu kunci dari ‘Oedipus hari ini’: apakah apa yang disebut model subyektivisasi Oedipus hari ini (kemunculan subyek melalui integrasi dengan pelarangan simbolis yang mewujud dalam Hukum paternal) benar-benar tengah mengalami penurunan? Dan kalau benar, penggantinya apa? Dengan sebuah pembahasan umum atas pendukung ‘modernisasi kedua (Giddens, Beck), saya mengajukan aktualitas yang berkelanjutan dari ‘dialektika Pencerahan’: jauh dari sekedar membebaskan kita dari hambatan tradisi patriarki, pergeseran yang tanpa-preseden dalam model operasi dari tatanan simbolis yang hari ini tengah kita saksikan, sebenarnya mengandung resiko dan bahayanya sendiri.
Meskipun buku ini pada dasarnya adalah sebuah buku filosofis, namun niat awal dan utamanya adalah sebuah intervensi politik, membahas tentang pertanyaan yang mendesak tentang bagaimana kita seharusnya merumuskan ulang sebuah proyek politik Kiri, Anti-Kapitalis baru di masa kita hari ini, yaitu masa kapitalisme global dan pelengkap ideologisnya, multikulturalisme liberal-demokratis. Salah satu foto terpenting tahun 1997 tidak diragukan lagi adalah foto salah seorang anggota suku terasing di Kalimantan yang tengah membawa air di kantung plastik guna memadamkan kebakaran hutan yang melahap habitat tempat hidup mereka, kekonyolan usaha sia-sia mereka disempurnakan dengan horor yang muncul demi melihat seluruh aspek kehidupan-duniawi mereka musnah. Menurut berita di koran, asap pekat akibat kebakaran hutan itu menyelimuti seluruh wilayah bagian utara Indonesia, Malaysia dan bagian selatan Filipina, dan mengganggu keseimbangan, siklus normal dari alam itu sendiri (akibat kegelapan yang berkepanjangan, lebah tidak mampu menjalankan perannya dalam proses reproduksi biologis tanaman). Disini kita mendapati sebuah yang Real tanpa-syarat dari Kapital global menyeruak inti realitas dari lingkungan alam – disini perlu rujukan terhadap Kapital global, karena kebakaran itu tidak sekedar akibat dari ‘keserakahan’ pedagang kayu dan petani lokal (maupun pejabat negara Indonesia yang korup telah membiarkannya), tapi juga karena fakta bahwa dampak dari badai El Nino, kekeringan yang berkepanjangan mengganggu siklus hujan secara reguler yang bisa diharapkan bisa mengurangi kebakaran semacam itu, dan dampak El Nino adalah sesuatu yang dirasakan secara global.
Sehingga, katastropi ini menyediakan rangka bagi yang Real dari jaman kita saat ini; serbuan Kapital yang secara brutal menafikan dan menghancurkan semua kehidupan-duniawi yang partikular, mengancam justru keselamatan umat manusia sendiri. Namun, apa sebenarnya implikasi dari katastropi ini? Apakah kita sekedar berhadapan dengan logika Kapital, atau apakah logika ini hanya sekedar serangan dominan dari perilaku produktivis modern berwujud dominasi teknologi atas dan eksploitasi dari lingkungan alam? Atau, lebih jauh lagi, apakah eksploitasi teknologi ini adalah ekspresi paripurna, realisasi dari potensi terdalam dari subyektivitas Cartesian modern itu sendiri? Jawaban saya atas dilema ini adalah pembelaan ‘Tidak Bersalah’ bagi subyek Cartesian!.

Dalam upayanya yang secara hati-hati mengedit manuskrip saya bagi Verso, Gillian Beaumont sering (secara intelektual) menangkap basah saya: tatapannya sering memberi penekanan pada alur pemikiran, ketidak-konsistenan argumentasi yang bodoh, atribusi dan referensi yang salah yang secara umum menunjukkan kekurangan pendidikan saya, belum lagi keanehan gaya tulisan... bagaimana saya bisa tidak merasa malu, dan karena itu membencinya? Disisi lain, dia juga sangat berhak untuk membenci saya. Saya terus menerus menghujani dia dengan koreksi di saat-saat terakhir dan merubah manuskrip, sehingga saya dengan mudah membayangkan dia sebenarnya punya boneka voodoo diri saya, dan setiap malam menusukinya dengan jarum yang sangat besar. Rasa saling membenci ini, seperti masa Hollywood klasik jadul biasa dibilang orang, menandai sebuah awal dari perkawanan yang indah, karena itu buku ini saya dedikasikan buat dirinya.




[1] Untuk perdebatan kritis dengan pengusung penolakan terhadap subyektivitas Cartesian dalam bidang sains kognitif, lihat Slavoj Zizek, “The Cartesian Subject versus the Cartesian Theatre’, in Cogito and the Unconsciousness, ed. Slavoj Zizek, Durham NCL: Duke University Press 1998
[2] Menariknya, ketiga bagian ini juga sejalan dengan triade geografis dari tradisi Jerman/Prancis/Anglo-Amerika: Idealisme Jerman, Filsafat politik Prancis, Cultural Studies Anglo-Amerika.

2 komentar:

  1. sebuah posting tentang Idea of Communism ada di
    http://criticaltheory-download-ebooks.blogspot.com/2011/09/idea-of-communismresources-and.html

    BalasHapus
  2. Apa yang membuat Zizek tertarik untuk mengkaji subjek? Padahal Heidegger sempat mengolok-olok para filsuf sejak Platon hingga Descartes yang hanya mengkaji "pengada" bukannya "ada" itu sendiri?

    Sila main ke blog jelataku: adiksikopi.blogspot.com

    BalasHapus