Minggu, 16 Oktober 2011

Hipotesa Komunisme (FaTTaF bag 1)

Kawan, kali ini aku mau nampilin dua sub-bab terjemahan dari buku Zizek, First as Tragedy Then as Farce [Awalnya Tragedi, lantas Dagelan], terbitan Verso, 2009, yaitu Ketertutupan Baru Milik-Komunal dan Sosialisme atau Komunisme dari Bab Hipotesis Komunisme. Ini adalah bagian dari sejumlah buku Zizek (total sudah 7, yang sudah selesai Sublime Object of Ideology, Looking Awry, Living in the End Times dan First as Tragedy Then as Farce, sementara yang setengah jalan adalah The Plaque of Fantasy, The Parallax View, dan In Defence of Lost Causes) yang aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia, dan rencananya tak tampilin di blog ini, per bab.
Tapi aku perlu ngingetin sejak awal bahwa aku percaya dengan prinsip copy-left, sehingga semua materi tentang Zizek yang aku punya berasal dari situs-situs gratisan library.nu [dulu gigapedia],  4shared, scribd dan semacamnya. Tapi aku juga berkeyakinan kalau 'dosa' kejahatan ini akan terhapus kalau aku juga menyebarkannya ulang kepada publik dengan cuma-cuma. Karena itu untuk penerbitan materi ini aku gak dapat ijin dari Zizek maupun Verso, tapi mengingat semangat mereka, kayaknya mereka gak akan keberatan deh. 
Alasan Bab ini menarik, karena memperjelas posisi Zizek, sebenarnya komunis seperti apa sih sosok kontroversial ini.Disini Zizek menjelaskan bahwa hipotesa yang diwariskan oleh Marx ternyata, tidak saja hari ini masih aktual, tapi masih sangat relevan dalam menjelaskan tentang konsekuensi dari kapitalisme yang akan mengarahkan peradaban pada jalan buntu, dan menjadikan manusia menjadi proletar secara global, atau memakai istilah Giorgio Agamben, menjadikan kita semua sebagai Homo Sacer.
Ada empat kontradiksi mendasar yang menurut Zizek hari ini dihadapi oleh sejarah umat manusia yang telah dihasilkan oleh konstelasi politico-ideologis kapitalisme global, dan tidak mungkin diselesaikan oleh sistem itu sendiri, melainkan oleh jenis komunisme, yang juga baru dan berbeda dengan komunisme abad 20, yang oleh Zizek juga sudah berkali-kali ditekankan, adalah sebuah kegagalan total yang besar.
Keempat kontradiksi yang dimaksud Zizek adalah, pertama ancaman bencana ekologis akibat konsumsi energi berbasis karbon yang telah memicu pemanasan global; kedua perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan kebuntuan mekanisme hak atas kekayaan intelektual dan sarana informasi dan komunikasi menjadi berada di luar sana [Clouds] dan dikuasai hanya oleh segelintir orang, ketiga perkembangan teknologi bio-genetika yang menjadikan warisan genetis umat manusia dan lingkungan ekosistem bisa dimanipulasi, dan lagi-lagi, dikuasai oleh hanya segelintir korporasi, dan terakhir, semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem dan menjadikan mereka sebagai bagian dai bukan-bagian, mereka yang hidup diluar pagar gated-community, dan sebagainya.



Bab. 2 

Hipotesis Komunis


Ketertutupan Baru dari Milik-komunal

Ketika tahun 1922, setelah tanpa terduga memenangkan Perang Saudara, dan Bolsewik harus mengembangkan “Kebijakan Ekonomi Baru” [“New Economic Policy” (NEP)], yang memberi lingkup yang lebih luas terhadap ekonomi pasar dan kepemilikan pribadi; Lenin menulis makalah pendek berjudul “Tentang Menaiki Gunung yang Tinggi.” Dia memakai istilah pendaki yang harus kembali ke bawah setelah upaya pertamanya untuk mencapai puncak  tidak berhasil, untuk menjelaskan perlunya langkah mundur di dalam proses revolusioner. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa melakukan langkah ini tanpa harus membahayakan kesetiaan kita terhadap Tujuan yang sebenarnya?
Setelah menjelaskan baik pencapaian maupun kegagalan dari negara Soviet, Lenin menyimpulkan: “Komunis yang tidak bermimpi, yang tidak mengijinkan kekolotan, dan yang menjaga kekuatan dan fleksibilitasnya “untuk memulai dari awal” terus menerus dalam mengerjakan tugas yang sangat sulit, tidak akan terpuruk (dan kemungkinan besar tidak akan gagal).”[i] Inilah Lenin dalam kacamata Beckettian yang paling baik, menggaungkan kalimat dari Worstward Ho: “Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik.” Kesimpulannya – “untuk terus menerus mencoba dari awal” – cukup jelas bahwa maksudnya tidak sekedar memperlambat kemajuan untuk mempertahankan apa yang sudah dicapai, tapi lebih radikal lagi adalah tentang kembali ke titik awal: kita harus “mulai dari awal,” tidak dari puncak yang mungkin sudah kita capai pada upaya sebelumnya.
Memakai istilah Kierkegaardian, proses revolusioner meliputi tidak hanya proses gradual, tapi adalah proses pengulangan, gerakan untuk memulai terus memulai dari awal. Dan disinilah persis kita hari ini, setelah “bencana” 1989, akhir yang pasti dari epik yang sudah dimulai sejak Revolusi Oktober. Karena itu kita perlu menolak kesan keberlanjutan dari apa yang dimaksud gerakan Kiri selama dua abad terakhir. Meskipun momen sublim seperti klimaks Jacobin dari Revolusi Prancis dan Revolusi Oktober tetap menjadi bagian penting dari memori kita, kerangka besarnya harus ditinggalkan, dan semua hal perlu dipikir ulang, mulai dari titik nol. Tentu saja awal ini adalah apa yang disebut oleh Badiou “Hipotesis Komunis”:
Hipotesis Komunis tetap menjadi hipotesis yang benar, seperti yang saya katakan, dan saya tidak melihat pilihan lain. Kalau hipotesis ini harus ditinggalkan, maka tindakan kolektif apapun tidak akan bermakna. Tanpa perspektif komunisme, tanpa pandangan ini, tidak ada dalam masa depan historis dan politisnya hal yang akan menarik bagi filosof. Tiap orang akan bisa mengejar urusannya masing-masing, dan kita tidak akan perlu menyebutnya lagi... Tapi dengan berpegang teguh pada pandangan itu, hipotesis yang baru nanti, tidak berarti fokus utamanya terhadap kepemilikan dan negara seperti selama ini, harus tetap dipertahankan. Bahkan, kalau kita menjadikannya sebagai tugas – bahkan bisa dibilang kewajiban – filsafatnya adalah menyusun bahan baru untuk mewujudkan eksistensi hipotesis ini. Baru dalam arti tindakan politik yang akan dihasilkan oleh hipotesis ini.[ii]
Kita perlu hati-hati untuk tidak membaca pernyataan diatas dengan kacamata Kantian, menganggap komunisme sebagai “pandangan penentu” sehingga menyerupai hantu “sosialisme etis” yang menempatkan kesetaraan sebagai aksioma-norma yang sudah sebelum-nya. Tapi kita harus mempertahankan rujukan yang pasti kepada seperangkat antagonisme sosial yang aktual yang akan menimbulkan kebutuhan akan komunisme – istilah Marx tentang komunisme bukan sebagai cita-cita, tapi sebagai gerakan yang akan mengatasi antagonisme semacam itu, masih sangat relevan.
Namun, kalau kita menganggap komunisme sebagai sebuah “pandangan yang abadi,” ini seolah berarti bahwa situasi yang memunculkannya berarti juga tidak kalah abadinya, dan ini hanya satu langkah menuju pembacaan “dekonstruktif” terhadap komunisme sebagai sebuah mimpi kehadiran, tentang penghilangan semua representasi teralienasi, mimpi yang lahir dari kemustahilannya sendiri. Lantas bagaimana kita keluar dari formalisme ini untuk memformulasikan antagonisme yang akan berlanjut yang akan terus menghasilkan pandangan komunis? Dimana kita bisa mencari bentuk baru dari pandangan ini?
Memang mudah mengejek konsepsi Fukuyama tentang “Akhir dari sejarah,” namun sebagian besar orang hari ini adalah Fukuyamean, menerima kapitalisme liberal-demokratis sebagai formula yang akhirnya ditemukan untuk kemungkinan bentuk masyarakat yang paling baik, sehingga kita hanya bisa mencoba untuk membuatnya lebih adil, lebih toleran dan seterusnya. Muncul pertanyaan yang sederhana namun penting disini: kalau kapitalisme liberal-demokratik memang berfungsi lebih baik dari semua alternatif yang ada, kalau kapitalisme liberal-demokratik, kalaupun bukan yang terbaik, tapi yang bukan yang terburuk dari semua bentuk masyarakat; lantas kenapa kita tidak terima saja hal ini secara dewasa, bahkan menerima ini sepenuh hati? Kenapa perlu berkeras, meskipun peluangnya kecil, terhadap ide komunis? Bukankah kengototan ini adalah bentuk narsisme dari Cita-cita yang kalah? Dan bukankah narsisme semacam ini melandasi perilaku dominan dari akademik Kiri yang berharap seorang pemikir akan memberitahu mereka apa yang harus dilakukan? – mereka begitu ingin untuk terlibat tapi tidak tahu bagaimana caranya, mereka menunggu jawaban dari pemikir lain. Tentu saja perilaku semacam ini adalah keliru, seolah sebuah teori akan memberi formula magic, mampu mengatasi kebuntuan praktis. Satu-satunya jawaban yang tepat disitu adalah bahwa kalau kita benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, maka tidak akan ada yang akan memberitahu kita, sehingga cita-cita itupun tidak diragukan lagi akan benar-benar lenyap.
Kebuntuan ini sebenarnya bukan hal yang baru – masalah mendasar dari Marxisme Barat adalah kurangnya subyek atau agen revolusioner. Kenapa kelas pekerja tidak pernah bisa menuntaskan peralihan dari di-dirinya menjadi bagi-dirinya dan membentuk dirinya sebagai agen revolusioner? Masalahnya ini adalah alasan utama kenapa kita perlu memakai psikoanalisa, guna menjelaskan mekanisme libidinal bawah-sadar yang menghambat bangkitnya kesadaran kelas, mekanisme yang terpatri kedalam kondisi sosial dari kelas-pekerja itu sendiri. Dengan cara inilah kita bisa menyelamatkan kebenaran dari analisis sosio-ekonomi Marxist, sehingga tidak memberi tempat bagi teori “revisionis” tentang bangkitnya kelas-menengah. Dengan alasan yang sama, Marxism edi Barat juga terus menerus mencari agen sosial lain yang bisa berperan sebagai subyek revolusioner, sebagai hal yang tidak banyak dikaji tentang siapa yang bisa menggantikan peran penting kelas-pekerja: petani Dunia Ketiga, mahasiswa, intelektual, kalangan pinggiran…
Kegagalan kelas-pekerja sebagai subyek revolusioner sudah terjadi pada inti dari revolusi Bolsewik: keahlian Lenin adalah kemampuannya untuk mendeteksi “potensi kemarahan” dari para petani yang kecewa. Revolusi Oktober berlangsung dibawah panji-panji “tanah dan perdamaian,” mengajak mayoritas petani, menangkap momen sesaat dari ketidakpuasan radikal mereka. Lenin sudah memakai pola pikir ini satu dekade sebelumnya, yang karena itulah dia benar-benar khawatir dengan kemungkinan keberhasilan reformasi pertanahan Stolypin, yang bertujuan menciptakan kelas petani independen yang baru dan lebih kuat. Dia yakin bahwa kalau sampai berhasil, reformasi ini akan menghilangkan kesempatan untuk revolusi akan hilang dalam waktu yang lama.
Semua revolusi sosialis yang berhasil, dari Kuba sampai Yugoslavia, mengikuti cara ini, memanfaatkan peluang lokal untuk secara kritis dan ekstrem disandingkan dengan tekad untuk pembebasan nasional atau bentuk “modal kemarahan” lain. Tentu saja logika hegemoni partisan akan menunjukkan bahwa inilah logika “normal” dari revolusi, bahwa “massa kritis” bisa tercapai tepat dan hanya melalui serangkaian kesamaan diantara berbagai tuntutan, rangkaian yang selalu sangat tergantung pada situasi yang khusus bahkan unik.
Sebuah revolusi tidak pernah terjadi ketika semua antagonisme terjebak kepada “Yang Besar”, namun bisa terjadi hanya ketika mereka menggabungkan kekuatannya secara sinergis. Tapi disini masalahnya lebih rumit: poinnya bukan hanya bahwa revolusi tidak bisa lagi menaiki kereta Sejarah, mengikuti Kaidahnya; tapi pada dasarnya tidak ada yang namanya Sejarah semacam ini, karena Sejarah adalah sebuah proses terbuka dan sementara. Masalahnya adalah seolah ada Kaidah Sejarah, sebuah garis perkembangan historis yang kurang lebih jelas dan dominan, namun bahwa revolusi hanya bisa terjadi didalam persimpangan, “menentang arus.”
Kaum revolusioner harus menunggu dengan sabar kehadiran momen (yang biasanya sangat singkat) ketika sistem ini jelas mengalami kegagalan atau rusak, harus memanfaatkan peluang kecil untuk merebut kekuasaan – yang momen ini biasanya terjadi di jalanan – dan kemudian memperkuat capaian mereka, membangun aparatus represif, dan sebagaimana; sehingga ketika momen kepanikan berlalu dan situasi sudah pulih, mereka baru menyadari bahwa sudah ada rejim baru, dan terlambat untuk membalik keadaan, karena sekarang kaum revolusioner sudah menguasai keadaan.
Kasus komunis di eks-Yugoslavia sangat mirip dengan ini: selama Perang Dunia II, komunis terus mendominasi perlawanan menghadapi tentara pendudukan Jerman, memonopoli peran dalam perjuangan anti-fasis dengan terus berusaha menghancurkan kekuatan perlawanan alternatif (“borjuis”), sambil secara bersamaan membantah sifat komunis dari kegiatan mereka (mereka yang mencurigai bahwa komunis bermaksud merebut kekuasaan dan merancang sebuah revolusi seusai perang segera dituduh menyebarkan propaganda musuh). Setelah perang selesai, begitu mereka memang merebut kekuasaan, ini dengan cepat berubah dan rejim itu secara terbuka menunjukkan sifat komunisnya yang sebenarnya. Komunis, meskipun sangat popular sampai sekitar 1946, tetap saja hampir secara terang-terangan mencurangi pemilu yang berlangsung tahun itu. Ketika ditanya mengapa mereka perlu melakukan itu – karena toh mereka bisa dengan mudah memenangkan pemilu – jawaban mereka (tentu saja diberikan secara rahasia) bahwa memang itu benar, tapi kemudian mereka akan kalah di pemilu berikutnya empat tahun kemudian, sehingga lebih baik mereka menunjukkan dari awal jenis pemilu seperti apa yang akan mereka tolerir. Singkatnya, mereka menyadari benar peluang yang unik yang membuat mereka berkuasa. Kesadaran akan kegagalan historis dari komunis untuk membangun dan mempertahankan hegemoni yang nyata dan berjangka-panjang berdasar atas dukungan popular, karena itu sejak awal benar-benar diperhatikan.
Sehingga sekali lagi, tidak cukup hanya dengan tetap setia dengan ide komunis; kita harus mencari didalam realitas historis hari ini bentuk antagonisme yang membuat ini ide menjadi urgensi praktisnya. Satu-satunya pertanyaan penting hari ini adalah: apakah kita mendukung dominasi ’alami’ dari kapitalisme, atau kapitalisme global hari ini berisi antagonisme yang cukup kuat untuk menghalangi proses reproduksinya terus menerus? Terdapat empat antagonisme semacam itu disini: ancaman bencana ekologis; kontradiksi dari konsep “kekayaan intelektual”; implikasi sosio-etis dari perkembangan tekno-sains terbaru (khususnya bio-genetis); dan yang terakhir tapi tidak kalah pentingnya, timbulnya bentuk apartheid baru, Tembok baru dan daerah-daerah kumuh dan miskin.
Ada perbedaan kualitatif antara ciri terakhir – gap yang memisahkan antara Kami dan Kalian – dengan tiga yang pertama, yang menunjukkan aspek berbeda dari apa yang disebut Hardt dan Negri sebagai “Milik komunal”, [Commons] substansi umum dari keberadaan sosial kita, privatisasi yang melibatkan tindakan kekerasan yang harus, kalau perlu, dilawan dengan sarana kekerasan:
-          Budaya, bentuk dari modal “kognitif” sosial, khususnya bahasa dan sarana komunikasi dan pendidikan, tapi juga meliputi infrastruktur bersama dari transportasi publik, listrik, sistem komunikasi, dsb;
-          Lingkungan eksternal, yang terancam oleh polusi dan eksploitasi (dari minyak ke hutan tropis dan lingkungan alami itu sandiri
-          Lingkungan internal (warisan biogenetis dari kemanusiaan); dengan teknologi biogenetis terbaru, penciptaan Manusia Baru dalam arti tekstual, yang bisa merubah sifat manusia menjadi mungkin.
Kesamaan perjuangan dari ketiga domain ini adalah kesadaran akan potensi kehancuran, sampai dan termasuk pemusnahan-diri dari kemanusiaan itu sendiri, seandainya logika kapitalisme yang ada sekarang dibiarkan berjalan dengan bebas. Nicholas Stern benar ketika menyebut krisis iklim sebagai “kegagalan pasar yang terbesar dalam sejarah manusia.”[iii] Sehingga ketika Kishan Khoday, salah seorang pimpinan PBB, baru-baru ini menulis: “Ada peningkatan semangat kebersamaan lingkungan global, tekad untuk mengatasi perubahan iklim sebagai masalah bersama yang mempengaruhi seluruh umat manusia,”[iv] kita harus memperhatikan istilah “kebersamaan global” dan “masalah bersama” yaitu, untuk perlunya membentuk organisasi politik global yang, menetralkan dan mengalihkan mekanisme pasar, menggambarkan sebuah perspektif komunis yang tepat.
Rujukan kepada “milik komunal” inilah yang mendukung kebangkitan dari konsep komunisme: ini memungkinkan kita untuk melihat “penutupan” agresif dari milik komunal sebagai proses proletariatisasi dari mereka yang hari ini tersingkirkan dari substansi mereka sendiri. Tentu saja kita tidak harus membuang konsepsi proletariat, atau posisi proletarian; justru sebaliknya, kondisi hari ini menekankan kepada kita perlunya meradikalkan hal ini sampai level eksistensial melebihi imajinasi Marx. Kita perlu konsepsi yang lebih radikal dari subyek proletariat, subyek yang direduksi menjadi cogito Cartesian.
Atas alasan inilah, sebuah politik emansipasi baru tidak lagi akan lahir dari agen sosial tertentu, tapi kombinasi eksplosif dari berbagai agen. Yang menyatukan kita adalah bahwa, berkebalikan dengan gambaran klasik bahwa proletariat adalah mereka yang “tidak akan kehilangan apapun kecuali belenggunya,” tapi kita hari ini terancam kehilangan semuanya: ancamannya adalah bahwa kita akan direduksi menjadi subyek abstrak dari semua konten substansial, dirampas dari substansi simbolik kita, basis genetis kita diamputasi, dan kita hidup di lingkungan yang tidak bisa ditinggali. Ancaman triple terhadap keseluruhan hidup kita hari ini membuat kita semua praktis hari ini adalah proletariat, yang seperti dikatakan oleh Marx didalam Grundrisse, diturunkan menjadi “subyektivitas tanpa-substansi.”
Tantangan etis-politis-nya adalah untuk mengenali diri kita dalam posisi ini – dalam arti tertentu, kita semua adalah ter-eksklusi, baik dari alam maupun dari substansi simbolik kita. hari ini, kita semua berpotensi menjadi homo sacer, dan satu-satunya cara untuk mencegah ini terjadi adalah dengan melakukan tindakan pencegahan. Kalau ini terdengar sangat akhir-jaman, kita hanya perlu menegaskan bahwa kita memang hidup di masa akhir-jaman. Mudah untuk melihat bagaimana ketiga proses proletarianisasi ini menggambarkan sebuah akhir yang akhir-jaman: kehancuran ekologis, reduksi biogenetis manusia menjadi mesin yang bisa dimanipulasi, kontrol digital secara total terhadap kehidupan kita… Disemua level ini, semuanya semakin mendekati titik nol;”akhir dunia sudah dekat.” Berikut deskripsi Ed Ayres:
Kita menghadapi sesuatu yang sungguh-sungguh diluar pengalaman kolektif kita dan tidak benar-benar kita sadari, bahkan meski buktinya sudah sangat banyak. Bagi kita, “sesuatu” itu adalah badai dari perubahan fisik dan biologis didunia yang selama ini mendukung kehidupan kita.[v]
Pada tingkat geologis dan biologis, Ayres menjelaskan empat “tombak” (percepatan perkembangan) yang mendekati titik-nol dimana ekspansi kuantitatif-nya akan mencapai batas dan perubahan kualitatif-nya akan terjadi. “Tombak” itu adalah pertumbuhan penduduk, konsumsi sumberdaya yang terbatas, emisi gas karbon, dan kepunahan spesies secara massal. Untuk mengatasi ancaman ini, ideologi yang dominan adalah mekanisme mobilisasi untuk membuat masyarakat tidak menyadari dan penipuan-diri yang membuat kita tergagap: “pola perilaku umum dari masyarakat yang sedang terancam menjadi semakin tidak-jelas, bukannya lebih fokus kepada krisis, ketika mereka gagal.”
Hal yang sama terjadi dengan krisis ekonomi yang sekarang: pada akhir musim Semi 2009 situasi sudah dinormalkan – kepanikan berakhir, situasi dinyatakan “semakin membaik,” atau paling tidak kerusakan sudah bisa dikendalikan (harga yang harus dibayar dari “pemulihan” ini di negara Dunia Ketiga tentu saja tidak disebut-sebut) – sehingga menghasilkan pesan bahwa krisis yang sebenarnya menjadi terabaikan, dan bahwa kita bisa santai lagi dan melanjutkan perjalanan panjang kita menuju akhir-jaman.
Akhir-jaman ditandai dengan model waktu yang spesifik, jelas bertentangan dengan dua model dominan lain: waktu memutar yang tradisional (waktu ditata dan diatur berdasar prinsip kosmis, mencerminkan tatanan bumi dan langit; bentuk-waktu dimana mikro dan makro-kosmos berjalan secara harmoni), dan waktu linear yang modern yang mencatat kemajuan bertahap atau perkembangan. Waktu Akhir-jaman adalah “waktu dari akhir masa,” waktu darurat, dari “situasi pengecualian” ketika akhir sudah dekat dan kita hanya bisa bersiap-siap menghadapinya.
Paling tidak ada empat versi yang berbeda dari kepercayaan akhir-jaman hari ini: fundamentalisme Kristen, spiritualitas Era-Baru, pasca-humanisme tekno-digital, dan ekologisme sekuler. Meskipun mereka memiliki kesamaam konsepsi dasar bahwa umat manusia mendekati titik-nol dari perubahan ekologis radikal, ontologi masing-masing sangat berbeda: tekno-digital (dimana pemukanya adalah Ray Kurzweil) tetap dalam kerangka naturalisme ilmiah, dan berkutan dengan evolusi sepsis manusia kontur dari transformasi kita menjadi “pasca-manusia.”
Spiritualitas Era-Baru memberi perubahan ini sentuhan lebih lanjut, melihatnya sebagai pergeseran dari satu mode “kesadaran kosmis” kepada yang lain (biasanya pergeseran dari posisi dualis-mekanistis modern menjadi kesatuan yang utuh). Fundamentalis Kristen memaknai akhir-jaman dalam makna Kitab yang ketat, yaitu mereka mencari (dan melihat) di dalam dunia kontemporer tanda-tanda bahwa pertarungan akhir antara Kristus dan Anti-Kristus sudah dekat.
Yang terakhir, ekologisme sekuler mempunyai kesamaan dengan pandangan naturalis tentang pasca-humanisme, tapi menambahi sentuhan negatif – apa yang ada didepan, “titik omega” yang kita dekati, bukan kemajuan menuju level “pasca-manusia” yang lebih tinggi, tapi destruksi-diri yang menghancurkan kemanusiaan. Meskipun pandangan akhir-jaman dari kalangan fundamentalis Kristen dianggap sebagai yang kontennya paling konyol sekaligus berbahaya, namun dia tetap menjadi versi yang paling mendekati logika emansipatoris “milenarian” radikal. Karena itu tugasnya sekarang adalah mengarahkan dia untuk mendekati ekologisme sekuler, sehingga melihat ancaman kepunahan sebagai kesempatan untuk pembaruan emansipatoris radikal.

Sosialisme atau Komunisme?

Namun proletarianisasi akhir-jaman semacam ini ternyata tidak cukup kalau kita ingin memakai istilah “komunis” dengan tepat. Ketertutupan yang terus berlanjut terhadap milik komunal terkait dengan, hubungan antara manusia dengan kondisi obyektif dari proses kehidupan mereka maupun hubungan antar masing-masing orang: milik komunal mengalami privatisasi dengan mengorbankan mayoritas yang ter-proletar-kan. Namun ada gap antara kedua jenis hubungan ini: milik komunal juga bisa dipulihkan kepada kemanusiaan kolektif tanpa komunisme, di dalam rejim otoriter-komunitarian; dan karenanya mengalami ter-desubstansialkan, subyek yang “tanpa-akar”, dirampas kontennya, dan bisa juga bisa dilawan dengan cara yang cenderung mengarah ke komunitarianisme, dimana subyek menemukan tempatnya yang semestinya di dalam komunitas substansial yang baru.
Tepat dalam kerangka inilah tulisan anti-sosialis Negri, GoodBye Mr. Socialism, menjadi benar: komunisme perlu dibedakan dengan sosialisme, yang dalam hal egalitarian kolektif, menawarkan sebuah komunitas organis (Nazisme adalah sosialisme nasionalis, bukan komunisme nasionalis). Dengan kata lain, meskipun mungkin ada anti-semitisme sosialis, tidak mungkin ada bentuk komunisnya. (kalau ini terjadi, seperti pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Stalin, ini adalah indikator dari kurangnya kesetiaan terhadap aksi revolusioner.) Eric Hobsbawm baru-baru ini menulis artikel berjudul, “Socialism Failed, Capitalism Is Bankrupt. What Comes Next?” [Sosialisme Gagal, Kapitalisme Bangkrut. Selanjutnya Apa?]
Jawabannya adalah: Komunisme. Sosialisme ingin menyelesaikan ketiga antagonisme pertama tanpa menangani yang keempat – tanpa universalitas tunggal dari proletariat. Satu-satunya cara untuk sistem kapitalis global untuk bertahan dari antagonisme jangka-panjang-nya sambil pada saat yang sama menghindari solusi komunis, adalah menemukan kembali semacam sosialisme – dalam kedok komunitarianisme, atau populisme, atau kapitalisme dengan nilai Asia, atau konfigurasi lainnya. Karena itu masa depannya adalah komunis...atau Sosialis.
Sebagaimana dikatakan Michael Hardt, kalau kapitalisme mendukung kepemilikan pribadi dan sosialisme mendukung kepemilikan negara, komunisme mendukung penyelesaian masalah kepemilikan ini dalam kerangka milik komunal.[vi] Sosialisme adalah apa yang disebut Marx sebagai “komunisme vulgar,” dimana kita hanya akan mendapatkan apa yang akan disebut Hegel sebagai negasi abstrak dari kepemilikan, yaitu, negasi dari kepemilikan dalam kerangka kepemilikan itu sendiri – “universalisasi kepemilikan pribadi.”
Sehingga judul dari liputan utama Newsweek pada 16 February, 2009: “Sekarang kita semua adalah Sosialis” dan sub-judulnya “dalam banyak hal, ekonomi kita sudah menyerupai Eropa,” bisa dibenarkan, kalau kita pahami dengan tepat: bahkan di AS, benteng dari liberalisme ekonomi, kapitalisme harus menemukan ulang sosialisme untuk menyelamatkan dirinya sendiri.[vii]
Ironi dari fakta proses semakin “menyerupai Eropa” yang semakin diperkuat oleh prediksi bahwa “kita [di AS] akan menjadi lebih Prancis” mau tidak mau akan mengejutkan pembaca. Padahal, Sarkozy terpilih sebagai presiden dengan platform kampanye untuk menghapus tradisi sosialisme negara-kesejahteraan di Eropa dan bergabung dengan model liberal Anglo-Saxon – dan kini model yang hendak dia tiru sekarang justru malah kembali ke model yang dia tolak: pola yang katanya jelek dari bentuk intervensi negara di dalam ekonomi. “Model sosial” Eropa yang banyak dikecam dan disindir sebagai hal yang inefisien dan ketinggalan jaman di dalam kondisi kapitalisme pasca-modern, sudah membalaskan dendamnya.
Tapi ini bukan alasan untuk gembira: sosialisme tidak lagi dilihat sebagai “fase rendahan” dari komunisme, tapi menjadi pesaingnya yang sejati, ancaman terbesarnya. (Mungkin sudah waktunya untuk ingat bahwa disepanjang abad 20, demokrasi sosial adalah instrumen untuk memobilisasi perlawanan terhadap ancaman komunisme terhadap kapitalisme). Sehingga judul tulisan Negri seharusnya dilengkapi menjadi: GoodBye Mr. Socialism…and Welcome, Comrade Communism! [Selamat Tinggal Tuan Sosialisme…dan Selamat Datang, Kamerad Komunisme!]
Disini kesetiaan komunis terhadap posisi proletarian meliputi penolakan ambigius terhadap ideologi apapun yang berimplikasi kembali kepada semacam bentuk penyatuan substansial apapun. Pada 28 November 2008, presiden Bolivia Evo Morales, mengeluarkan surat terbuka berjudul “Perubahan Iklim, Selamatkan Bumi dari Kapitalisme.” Berikut adalah kalimat pembukanya:
Saudara/i: Hari ini, (ibu) Bumi kita sedang sakit…Semua bermula dengan revolusi industri pada 1750, yang melahirkan sistem kapitalis. Selama dua setengah abad, yang-namanya negara “maju” telah memakai sebagian besar bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh proses selama lima juta tahun…Persaingan dan pencarian keuntungan tanpa batas dari sistem kapitalis merusak planet kita. Dibawah Kapitalisme kita bukan lagi manusia, tapi konsumen. Dibawah Kapitalisme, Bumi tidak lagi ada, tapi dilihat sebagai bahan mentah. Kapitalisme adalah sumber dari asimetri dan ketidak-seimbangan di dunia ini.[viii]
Arah politik yang ditempuh oleh pemeritah Morales di Bolivia adalah bentuk terkini dari perjuangan progresif kontemporer. Namun, kalimat yang dikutip diatas jelas menunjukkan keterbatasan ideologisnya (yang selalu tidak terhindar ketika mau praktis). Morales bergantung pada cara yang simplisistik dalam menarasikan Kejatuhan yang terjadi di momen historis yang pasti: “Semua bermula dengan revolusi industri pada 1750…” – dan bisa diduga bahwa Kejatuhan ini meliputi kehilangan akar kita di Bumi: “Dibawah Kapitalisme, Bumi tidak lagi ada. Kapitalisme adalah sumber dari asimetri dan ketidak-seimbangan di dunia ini” – artinya tujuan kita seharusnya adalah memulihkan keseimbangan dan simetri yang “alami”. Sehingga yang diserang dan ditolak adalah hal yang justru akan memunculkan subyektivitas modern dan yang menghancurkan kosmologi seksis tradisional dari (ibu) bumi (dan bapa) di surga, bersama dengan ide yang melihat bahwa akar kita terletak didalam tatanan substansial dari dunia yang “maternal”.
Karena itu, kesetiaan terhadap pandangan komunis berarti bahwa, mengutip Arthur Rimbaud, il faut etre absolument moderne – kita harus tetap modern dan menolak semua generalisasi yang berlebihan dimana kritik terhadap idelogi kapitalisme berganti menjadi kritik terhadap “nalar instrumental” atau “peradaban teknologis modern.” Inilah kenapa kita harus berkeras terhadap perbedaan kualitatif antara antagonisme keempat – gap yang membedakan antara mereka yang Ter-eksklusi dan yang Ter-inklusi – dengan tiga yang lain: hanya rujukan kepada yang Ter-eksklusi inilah kita bisa membenarkan pemakaian istilah komunisme. Tidak ada yang lebih “pribadi” daripada sebuah komunitas negara yang melihat bahwa yang Ter-eksklusi merupakan ancaman dan mencoba segala upaya untuk menjaga jarak dengan mereka.
Sehingga dari rangakaian keempat antagonisme itu, yang terjadi antara yang ter-inklusi dan ter-eksklusi adalah yang paling penting. Tanpa hal ini, yang lain akan kehilangan sisi subversif-nya – isu ekologi hanya akan direduksi hanya sebagai masalah pembangunan berkelanjutan, kekayaan intelektual sebagai masalah legal yang kompleks, biogenetik sebagai masalah etis. Kita masih akan bisa benar-benar berjuang untuk menjaga lingkungan, membela konsep yang lebih luas dari kekayaan intelektual, atau menentang hak atas penggandaan gen, tanpa harus mengatasi konfrontasi antara yang ter-inklusi dan ter-eksklusi. Bahkan, kita bisa merumuskan aspek tertentu dari pertarungan ini dalam konteks dimana yang ter-inklusi terancam oleh yang ter-eksklusi.
Dengan cara demikian, kita tidak akan bisa mencapai universalitas “sejati”, hanya masalah “pribadi” dalam arti Kantian. Korporasi seperti Whole Foods dan Starbucks tetap diminati oleh para liberal meskipun kedua perusahaan ini juga terlibat dalam kegiatan anti-serikat pekerja; caranya adalah mereka menjual produknya dengan tipuan progresif. Kita membeli kopi yang dibeli dengan harga diatas nilai-pasar, naik mobil yang hibrid, membeli dari perusahaan yang menjamin kesejahteraan karyawan dan pelanggan mereka, dan seterusnya. Singkatnya, tanpa antagonisme antara yang Ter-inklusi dan Ter-eksklusi, kita akan melihat sebuah dunia dimana Bill Gates adalah tokoh kemanusiaan terbesar yang memerangi kemiskinan dan penyakit, dan Rupert Murdoch adalah pembela lingkungan terhebat karena mengeluarkan ratusan juta dolar melalui kerajaan medianya.
Ada satu lagi perbedaan kunci antara tiga antagonisme pertama dan yang keempat: tiga yang pertama praktis hanya tentang pertanyaan keselamatan (ekonomi, antropologis, bahkan fisik) dari kemanusiaan, namun yang keempat pada akhirnya akan mempertanyakan tentang keadilan. Kalau kemanusiaan tidak mengatasi keterpurukan ekologisnya, kita mungkin akan musnah; tapi kita bisa membayangkan sebuah masyarakat yang mungkin bisa menyelesaikan ketiga antagonisme pertama melalui aturan otoriter yang tidak hanya mempertahankan namun juga memperkuat hirarki, pembagian dan eksklusi sosial yang terjadi. Dalam istilah Lacan, disini kita mengahapi gap yang membedakan rangkaian penanda normal (S1) dan Penanda-Master (S2), yaitu dengan perjuangan untuk hegemoni: kutub yang mana dari antagonisme antara ter-inklusi dan ter-eksklusi akan “menghegemoni” tiga yang lain?
Kita tidak bisa lagi bersandar pada logika lama Marxist akan “kepastian historis” yang mengklaim bahwa tiga masalah pertama hanya bisa diatasi kalau kita memenangkan pertarungan “kelas” utama antara yang ter-inklusi dan ter-eksklusi – logika bahwa “hanya dengan mengatasi perbedaan kelas maka kita bisa mengatasi keterpurukan ekologis kita”. Ada ciri umum yang sama-sama dimiliki oleh keempat antagonisme: proses proletarianisasi, yaitu reduksi dari agen manusia menjadi subyek murni yang kehilangan substansinya.
Namun proletarianisasi berbeda dengan cara yang berbeda. Pada tiga kasus pertama, dia menghilangkan substansial dari konten dari agen, meliputi fakta formal yang mengeluarkan subyek tertentu dari ruang sosio-politis. Kita perlu menggarisbawahi struktuR 3+1 ini, yaitu refleksi dari ketegangan eksternal antara subyek dan substansi dalam kehidupan bersama manusia. Ada subyek yang, secara langsung mewadahi posisi proletarian dari subyektivitas tanpa-substansi. Karena inilah kenapa taruhan Komunis adalah bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi masalah “eksternal” (pengambilalihan kembali substansi teralienasi) adalah mentransformasikan secara radikal subyektif-internal dari hubungan sosial.
Sehingga penting untuk tetap gigih terhadap ide emansipatoris komunis-egaliter kerangka Marxian: ada kelompok sosial yang, terkait dengan kekurangan mereka dalam tempat yang pasti dalam tatanan “pribadi” dari hirarki sosial, secara langsung berarti universalitas; mereka adalah apa yang disebut oleh Ranciere “bagian dari bukan-bagian” bangunan sosial. Semua politik yang benar-benar emansipatoris dihasilkan oleh korslet antara universalitas dan “penalaran secara publik” dan universalitas adalah “bagian dari bukan-bagian” – ini sudah menjadi mimpi komunis Marx muda: menyatukan universalitas dari filsafat dengan universalitas dari proletariat.
Dari Yunani Kuno, kita mendapat nama dari masuknya dari yang ter-eksklusi ini kedalam ruang sosio-politik: yaitu demokrasi. Pertanyaan kita hari ini adalah apakah demokrasi masih nama yang tepat untuk ledakan egalitarian ini. Dua posisi ekstremnya disini adalah: disatu sisi, penghilangan karakter dari demokrasi sebagai semata bentuk ilusi dari penampakan kebalikannya (dominasi kelas), di sisi lain klaim bahwa demokrasi kita, demokrasi yang benar-benar ada, adalah distorsi dari demokrasi sejati – dalam arti yang dimaksudkan oleh tanggapan Gandhi yang terkenal kepada Wartawan Inggris yang bertanya kepadanya tentang peradaban Barat: “Ide yang bagus. Mungkin kita bisa mempraktekkannya!
Jelas disini bahwa perdebatan yang terjadi antara kedua kutub ini adalah terlalu abstrak: yang perlu kita hadapi adalah pertanyaan tentang bagaimana demokrasi terkait dengan dimensi universalitas yang terkandung di dalam yang ter-eksklusi. Fokus terhadap tembok yang memisahkan antara yang ter-eksklusi dan yang ter-inklusi mungkin mudah disalahpahami sebagai kembali secara diam-diam kepada topik multi-kultural-liberal-toleran tentang “toleransi” (“tidak ada yang boleh ditinggal, semua kelompok minoritas, gaya hidup dsb, harus dilibatkan”) dengan mengorbankan konsep Marxist antagonisme sosial.
Ini juga akan mungkin dikritik dari perspektif kebalikannya yaitu “pasca-modern” yang menandai regresi teoritis kepada oposisi naïf yang ter-eksklusi/Ter-Inklusi yang mengabaikan aparatus “mikro-politik” yang kompleks dari kontrol dan regulasi sosial seperti yang dianalisa oleh Foucault. Peter Hallward juga mengajukan kritik yang sama ketika menanggapi konsep Badiou tentang yang tak-terlihat, tentang “tidak berarti apa-apa,” tentang elemen gejala-negatif dari kondisi sosisal (“bagian dari bukan-bagian-nya Ranciere):
Kerja politik praktis seringkali berkaitan dengan orang atau situasi yang tidak begitu tak-terlihat [invisible] atau tidak-kelihatan [unseen] sampai sebegitu kurang dilihat [under-seen] atau keliru-dilihat [mis-seen]; mereka tidak begitu tidak berarti apa-apa sampai sebegitu sangat sedikit. Mereka tidak sekedar ter-eksklusi sampai begitu ditindas atau dieksploitasi. Perbedaannya disini tidak sekedar nuansa. Seperti pandangan beberapa generasi pemikir emansipatoris sekarang, bentuk modern dari kekuasaan khususnya berusaha tidak membuang atau membatasi, tapi lebih pada memfasilitasi, memandu atau mengembangkan perilaku dan norma kondusif bagi status quo; model kekuasaan yang tampaknya mengilhami karya terbaru Badiou, sebaliknya, bentuknya masih kelihatan seperti sebelum masa Foucault, bahkan mungkin Gramsci.[ix]
Dalam pilihan antara “Badiou versus Foucault” ini, mau tidak mau kita harus melihat dimensi yang diabaikan oleh pendekatan Foucauldian, sebuah dimensi dimana konsep yang tak-terlihat Badiou difokuskan. Artinya, dalam konsepsi Foucauldian tentang kekuatan produktif, kekuatan yang tidak bekerja secara ter-eksklusioner, tapi dengan cara yang memungkinkan/ mengatur, maka ada ruang bagi konsepsi Badiou tentang poin dari inkonsistensi (atau torsi “gejala-negatif”) dari situasi, bahwa elemen dari sebuah situasi dimana tidak ada tempat yang tepat (di)dalam situasi – bukan alasan tak-sengaja tapi karena dislokasi/eksklusi-nya adalah penyusun dari situasi itu sendiri. Ambil contoh proletariat: tentu saja kelas-pekerja adalah “terlihat” dalam berbagai cara dalam dunia kapitalis (sebagaimana mereka yang secara bebas menjual tenaga mereka dipasar; sebagai pembantu yang setia dan disiplin dari manajer kapitalis, dsb).
Namun, tidak satupun bentuk keterlihatan ini yang menutupi peran gejala-negatif dari proletariat sebagai “bagian dari bukan-bagian” dari lingkungan kapitalis. Karena itu, konsep “yang tak-terlihat” dari Badiou adalah pembalikan dari keterlihatan dalam ruang ideologis hegemonis, dia adalah yang tetap tak-terlihat sehingga yang terlihat akan bisa terlihat. Atau dengan kata lain yang lebih tradisional; yang tidak bisa dipahami oleh pendekatan Foucauldian adalah konsep elemen gejala-negatif dua-wajah, dimana wajah yang satu adalah kebetulan [accident] marginal dari situasi, dan yang lain adalah (berarti) yang sebenarnya [truth] dari situasi itu. Dengan cara yang sama, yang “ter-eksklusi” adalah, tentu saja terlihat, dalam arti, secara paradoks ter-eksklusi itu sendiri adalah cara ter-inklusi mereka: tempat mereka “yang layak” di dalam bangunan sosial adalah ter-eksklusi (dari ruang publik) itu.
Karena itulah Lacan menilai bahwa Marx telah menemukan konsepsi (Freudian) dari gejala-negatif: karena baik bagi Marx maupun Freud, cara untuk menuju kebenaran dari sebuah sistem (masyarakat atau psikis) akan mengarahkan kepada apa yang tampak sebagai distorsi “patologis” marginal dan yang tidak disengaja dari sistem itu: keseleo lidah, mimpi, gejala-negatif, krisis ekonomi. Karena itu, Bawah-sadar Freudian adalah “tak-terlihat” dengan cara yang persis sama, yang karena itulah tidak mendapat tempat didalam konsepsi Foucault. Inilah kenapa penolakan Foucault tentang apa yang dia sebut Freudian “hipotesis represi” – konsepnya tentang diskursus kekuatan pengatur yang menghasilkan seksualitas justru dalam proses penjelasan dan pengaturan itu – tidak memahami maksud(Freudian)-nya.
Freud dan Lacan sadar betul bahwa tidak ada represi tanpa kembalinya yang direpresi; mereka sadar bahwa diskursus represif menghasilkan apa yang dia tekan. Namun, apa yang ditekan oleh diskursus ini bukanlah apa yang tampaknya dia tekan, bukan apa yang dia anggap sebagai X yang mengancam yang dia coba kontrol. Sosok “seksualitas” yang dia anggap sebagai ancaman untuk dikontrol – misalnya sosok seorang wanita, yang seksualitas tidak terkontrol-nya adalah ancaman terhadap tatanan maskulin – adalah hal yang mistifikasi fantasmatis. Lebih pada bahwa apa yang “ditekan” oleh diskursus ini (antara lain) adalah kontaminasi dirinya sendiri oleh apa yang coba dia kontrol – misalnya, cara pengorbanan seksualitas meng-seksualkan pengorbanan itu sendiri, atau cara dimana upaya untuk mengontrol seksualitas meng-seksualkan kegiatan mengontrol ini sendiri: bukan obyek yang kita coba kontrol, tapi cara kita berpartisipasi didalamnya.
Kaum Liberal yang mengakui masalah dari mereka yang ter-eksklusi dari proses sosio-politis merumuskan tujuan mereka sebagai pelibatan dari mereka yang suaranya tidak terdengar: semua posisi harus didengar, semua kepentingan harus dipertimbangkan, hak asasi dari semua orang dijamin, semua cara hidup, budaya dan ritual harus dihormati, dan seterusnya. Obsesi dari diskursus demokratis ini adalah perlindungan bagi semua jenis minoritas: kultural, religius, seksual, e tutti quanti [dan sebagainya]. Rumus dari demokrasi adalah negoisasi dan kompromi yang sabar. Yang hilang disini adalah posisi proletarian, posisi dari universalitas yang terwujud di dalam yang ter-eksklusi.
Inilah kenapa, kalau dilihat lebih dekat, menjadi jelas bahwa apa yang mulai dilakukan Hugo Chavez di Venezuela sangat berbeda dengan bentuk liberal standar dari pelibatan: Chavez tidak melibatkan yang ter-eksklusi didalam kerangka liberal-demokrat yang sudah ada; tapi sebaliknya dia mengambil penghuni kawasan kumuh “ter-eksklusi” sebagai basisnya dan lalu mengorganisir ulang ruang dan bentuk organisasi politik sehingga akan “sesuai” dengan yang ter-eksklusi. Meskipun tampak abstrak, perbedaan - antara “demokrasi borjuis” dan “kediktatoran proletariat” – ini adalah hal yang penting.
Satu abad yang lalu, Vilfredo Pareto adalah yang pertama yang menjelaskan apa yang-disebut aturan 80/20 dari kehidupan sosial (dan yang tidak sosial): 80 persen tanah dikuasai oleh 20 persen penduduk, 80 persen keuntungan dihasilkan oleh 20 persen karyawan, 80 persen keputusan diambil dalam 20 persen rapat, 80 persen tautan web merujuk ke 20 persen halaman web, begitu seterusnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah analis sosial dan ekonom, ledakan produktivitas ekonomi hari ini menghadapkan kita kepada kepada contoh ekstrim dari aturan ini: ekonomi kita mengarah pada hanya 20 persen buruh diperlukan untuk melakukan semua pekerjaan, maka 80 persen orang pada dasarnya tidak relevan dan tidak ada gunanya, sehingga akan menjadi pengangguran. Dan ketika logika ini mencapai puncaknya, bukankah masuk akal untuk mengajukan pertanyaan negasinya: bukankah sistem yang membuat 80 persen dari jumlah manusia menjadi tidak relevan dan tidak ada gunanya, berarti sistem itu sendiri tidak relevan dan tidak berguna? 
Pernah Toni Negri ketika diwawancarai oleh Le Monde sambil jalan-jalan di pinggiran kota Venezia-Mestre dengan si wartawan, melewati antrian buruh diluar pabrik tekstil. Sambil menunjuk ke arah para buruh, dia berkata: “Ini Gila, seperti film Fellini!”[x] Bagi Negri, bara buruh ini menandai semua hal yang salah dengan sosialisme serikat-kerja tradisional yang berfokus pada pekerjaan korporat yang terjamin, sebuah sosialisme tanpa ampun yang dibuat kadaluarsa oleh dinamika dari kapitalisme “pasca-modern” dan posisi hegemonic dari buruh kognitif.
Menurut Negri, bukannya bereaksi terhadap “semangat baru kapitalisme” ini dengan cara sosial-demokratis tradisional dan melihatnya sebagai ancaman, kita justru harus  menerimanya sepenuhnya, guna melihat di dalamnya – di dalam dinamika buruh kognitif dengan semua bentuk non-hirarkis dan non-sentralisasi-nya – benih-benih komunisme. Tapi kalau kita mengikuti logika ini sampai akhir, menjadi sulit untuk tidak sependapat dengan argumen neoliberal sinis bahwa, hari ini tugas utama dari serikat pekerja adalah melatih ulang buruh untuk diserap kedalam ekonomi baru yang terdigitalkan.
Tapi bagaimana dengan visi yang sebaliknya? Selama dinamika dari kapitalisme baru ini membuat semakin banyak buruh yang tidak berguna, bagaimana dengan proyek untuk menyatukan kembali “zombie” kapitalisme global, semua yang tertinggal oleh “kemajuan” neo-kapitalis, semua yang dianggap tidak berguna dan kadaluarsa, semua yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi baru? Tentu saja taruhannya adalah bahwa kita mungkin perlu menciptakan korslet langsung antara yang tersisa dari sejarah ini dengan aspek paling progresif dari sejarah.


[i] V.I.Lenin, "Notes of a publicist: on ascending a high mountain . . . : “ in Collected Works, Vol.33, Moscow: Progress Publishers 1965, hal. 204 11.
[ii] Alain Badiou, The Meaning of Sarkozy, London: Verso 2008, hal. 115.
[iii] Dikutip dari majalah Time, 24 Desember  2007, hal. 2.
[iv] Dikutip dari ibid.
[v] Ed Ayres, "Why are we not astonished;” World Watch, Vol. 12, Mei 1999.
[vi] Dalam presentasinya pada konferensi "The Idea of Communism:” Birkbeck College. London. 13-15 Maret 2009.
[vii] Jun Meacham and Evan Thomas. "We are all socialists now;” Newsweek. Februari 16, 2009.
[viii]Evo Morales, "Climate change: save the planet from capitalism;” tersedia online di http://climateandcapitalism.com.
[ix] Peter Hallward, "Order and event:” New Left Review 53 (September Oktober 2008), hal. 104.
[x] "Nous sommes deja des hommes nouveaux;” Le Monde, 13 Juli 2007.

2 komentar:

  1. Terjemahan Bung, bagus. Kenapa tidak terjemahan semua saja biar jadi buku.

    BalasHapus
  2. ngak ada lagi tulisannya yg baru tentang zizek??????

    BalasHapus